Sabtu, 12 Oktober 2013

Selamat Tinggal, Tegal !



Dalam Agresi Militer Belanda, semua kota dengan mudah dikuasai. Hanya ada sedikit kota, misalnya Surabaya, yang harus digempur dengan bantuan kapal perang dan pesawat tempur. Cukuplah pasukan darat. Namun pasukan infantri Belanda, meski dalam jumlah besar dengan didukung senjata modern dan kendaraan lapis baja, gagal memasuki kota Tegal. Kegagalan Belanda menyerang Tegal dari darat membuat mereka mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur. Pada tanggal 25 Juli 1947 kota Tegal dihujani tembakan meriam dari laut oleh dua kapal perang Belanda. Bombardir meriam terhadap pelabuhan Tegal tidak memberikan hasil yang memuaskan. Belanda gagal mendaratkan pasukannya ke pantai Tegal. Sudah dibantu kapal perang, masih gagal juga.

Pasukan infantri Belanda gagal merebut kota Tegal pada tanggal 25 Juli 1947 sehingga mereka minta bantuan angkatan udara yg kemudian mengerahkan satu pesawat pengebom dan tiga pesawat tempur. Dari udara, pesawat pengebom menjatuhkan bom-bom maut di atas kota Tegal. Berbekal ilmu perang yang diajarkan Jepang, pejuang-pejuang kita bisa menyelamatkan diri. Belanda tidak perduli jika bom-bom tsb mengenai warga sipil. Tiga pesawat tempur Belanda seperti tak berguna. Karena sulit menentukan posisi pejuang, pesawat-pesawat itu menghambur-hamburkan peluru secara ngawur saja, Saat itulah seorang warga sipil, yg sudah puluhan tahun dihidupi oleh bumi Tegal, berkhianat dengan memberi tanda lokasi kedudukan pejuang kita. Pesawat Belanda menyambut tanda itu dengan memuntahkan peluru maut ke tempat tersebut.  Untunglah pesawat tempur Belanda  berhasil diusir oleh regu anti serangan udara. Dua regu pejuang anti serangan udara ini ditempatkan di Slerok dan di dekat SMA 2 Tegal sekarang. Sampai sejauh ini pejuang kita masih sanggup mempertahankan kota Tegal dari gempuran dahsyat  tentara Belanda.

Setelah seharian menyerang kota Tegal namun gagal, pada tanggal 26/7/1947 tentara Belanda mengerahkan pasukan besar-besaran dengan bantuan sebuah pesawat pengebom dan 3 pesawat pemburu serta tambahan satu kapal perang lagi (total ada 3 kapal perang). Karena pertahanan markas ALRI Tegal sulit ditembus, Belanda menyerang pantai yang jauh dari tempat itu. Maka pantai Muarareja menjadi sasaran meriam kapal perang Belanda.  Entah sengaja entah tidak, peluru meriam ini banyak ditembakkan ke tambak-tambak bandeng di Muarareja. Setelah merasa aman, kapal perang tsb mendaratkan puluhan tank dan kendaraan militer ke pantai Muarareja. Pejuang Tegal tidak menghambat gerakan musuh ini karena taktik perangnya telah diubah menjadi strategi “kota terbuka”.

Meskipun Belanda sudah meningkatkan serangannya atas kota Tegal, tidak ada tanda-tanda pejuang mau menyerah. Namun pejuang mengkhawatirkan keselamatan warga sipil. Masih banyak warga sipil yang belum sempat mengungsi. Bom-bom yang dijatuhkan oleh pesawat tempur Belanda dan peluru yang dihambur-hamburkan oleh senapan mesin musuh menimbulkan korban jiwa di pihak rakyat yang tak berdosa. Apa gunanya menang perang bila banyak jatuh korban ? Oleh karena itu markas pejuang Tegal mengirim surat kepada pimpinan tentara Belanda yang isinya menyatakan Tegal sebagai kota terbuka. Dengan demikian berlaku hukum internasional yang menjamin keamanan warga sipil, sementara pejuang Tegal harus meninggalkan kota tsb sedangkan Belanda bebas memasukinya. Demikianlah, pada hari Sabtu tanggal 26 Juli 1947 (bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan) jam setengah empat sore kota Tegal, yg sudah dibumi hanguskan pejuang, jatuh ke tangan Belanda.

Sekalipun Belanda berhasil menguasai kota Tegal, namun mereka tidak berani jauh-jauh dari markas. Patroli adalah tugas yang sangat berbahaya karena merupakan sasaran empuk bagi  pejuang. Bersembunyi dalam tank tidak menjamin keselamatan nyawa karena bisa saja seorang pemuda tahu-tahu sudah ada di dekat kendaraan lapis baja itu dan melemparkan granat ke dalamnya. Bahkan pernah ada laporan seorang (gila menurut Belanda) nekat menyerang tank dengan parang ! Pejuang Tegal membuat Belanda frustasi. Tiap hari ada saja tentara Belanda yang harus diantar ke “kerkoff” (kompleks pemakaman Belanda, terletak di Jalan Hang Tuah, Tegalsari, sekarang menjadi kuburan Cina dengan nama tetap “kerkof”). Tak mengherankan jika Belanda hanya sanggup menguasai kota ini selama 2,5 tahun saja. Kelak pada tanggal 4 Jan 1950 semua pejuang Tegal masuk kembali ke kotanya dengan disambut kibaran Merah Putih di seluruh penjuru wilayah. Tak terlukiskan kegembiraan warga Tegal  yang berdiri di sepanjang jalan.menyambut kedatangan pahlawan-pahlawannya.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar