Kamis, 14 Agustus 2014

Merebut Kembali Kota Tegal

Dulu, pada tanggal 26 Juli 1947, pejuang membakar kota Tegal sebelum kota itu direbut Belanda. Pejuang meninggalkan kota Tegal setelah berjanji akan merebut kembali kota tersebut. Kini pada tanggal 4 Januari 1950 – setelah bergerilya selama dua setengah tahun, pejuang memenuhi janjinya : semua pejuang masuk ke dalam kota.

Belanda menyadari bahwa meskipun mereka dapat menduduki kota Tegal melalui Agresi Militer I, namun mereka tidak dapat mempertahankannya dari serangan pejuang. Dalam setiap pertempuran Belanda sangat sering kalah. Korban jiwa di pihak Belanda sudah sangat banyak. Maka sebelum mereka habis di medan perang, Belanda melepaskan kekuasaannya atas kota Tegal. Demikianlah, pejuang-pejuang Tegal memasuki kotanya tanpa perlawanan dari pihak musuh..

Tegal (dan seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua Barat) telah benar-benar merdeka. Perang sudah berakhir. Ribuan pejuang Tegal berbaris dari markasnya di hutan dan di gunung, turun ke jalan-jalan, masuk kembali ke kota kelahirannya. Mereka disambut meriah warga Tegal yang berdiri di sepanjang jalan. Merah Putih berkibar di seluruh penjuru kota, lagu-lagu perjuangan dan pekik merdeka tak henti dikumandangkan. Selamat datang, Pahlawan ! Sekali merdeka tetap merdeka !

Luapan kegembiraan, isak tangis dan haru bercampur menjadi satu mewarnai kembalinya pejuang-pejuang Tegal. Mereka gembira karena berhasil lepas dari cengkeraman penjajah, meskipun harus dibayar mahal dengan nyawa pahlawan yang gugur di medan perang. Isak tangis terdengar di antara keluarga yang kehilangan orang yang dicintainya, yang gugur sebagai kusuma bangsa dan kini menjadi pahlawan yang terlupakan.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Serangan Fajar di Kaligua

Pejuang-pejuang dari Batalyon III kembali ke Tegal pada bulan Januari 1949 setelah melakukan perjalanan panjang (longmarch) yang melelahkan dan berbahaya. Beberapa hari yang lalu mereka bersama anggota-anggota keluarganya disergap tentara Belanda dalam perjalanan longmarch tsb. (baca : Keluarga Pejuang Terjebak di Tengah Perang). Kesal dengan tindakan tentara Belanda yang menyergap pejuang padahal di tengah-tengah mereka ada wanita dan anak-anak, mereka berencana menyerang gudang senjata Belanda di Kaligua, Kabupaten Tegal. Lokasi gudang senjata ini sangat rahasia, tidak ada pejuang yang tahu. Masalah ini dipecahkan oleh kesediaan dua pemuda desa yang bersedia mencari lokasi gudang senjata ini. Rencana segera disusun : kompi 1, 2 dan 3 menyerang gudang senjata, sedangkan kompi 4 bersembunyi di dekat tanjakan jalan yang menghubungkan Kaligua dengan Bumiayu.

Jam 11 malam pejuang berangkat dengan dipandu oleh dua pemuda desa. Medan yang berbukit-bukit membuat perjalanan menjadi sulit, apalagi malam itu gerimis. Beberapa kali pejuang kita terpeleset ketika mendaki bukit akibat tanah yang becek. Rasa lelah dan pakaian kotor tidak mereka perdulikan. Apalah artinya semua itu dibandingkan dengan kemerdekaan ? Menjelang fajar semua pejuang telah menempati posisi masing-masing. Jam 4 pagi serangan fajar dimulai.

Sebenarnya Belanda sudah mengetahui kembalinya pejuang-pejuang Tegal dari longmarch, namun Belanda tidak mengira bahwa pejuang-pejuang yang masih kelelahan itu berani menyerang secepat ini. Apalagi Belanda yakin bahwa lokasi gudang senjata Kaligua tidak diketahui pejuang. Begitu pejuang-pejuang kita menyerang, Belanda segera menelepon markas besarnya di Bumiayu. Bala bantuan tentara Belanda dalam jumlah banyak segera dikerahkan ke Kaligua.

Fajar yang masih gelap di Kaligua di hari itu dipecahkan oleh suara tembakan dan ledakan. Belanda menghambur-hamburkan peluru senapan mesinnya ke segala arah. Granat dilemparkan ke lokasi-lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian pejuang. Persediaan amunisi Belanda sangat banyak, mereka tidak takut kehabisan peluru dan granat. Sebaliknya dengan pejuang kita yang pelurunya terbatas. Pejuang hanya menembak sasaran yang sudah jelas. Rupanya banyak pejuang kita yang jitu dalam menembak. Puluhan tentara Belanda tewas diterjang peluru pejuang. Paniklah Belanda, namun mereka mendapat berita gembira bahwa sebentar lagi bala bantuan dalam jumlah besar segera tiba dari Bumiayu.

Ketika pertempuran sengit pecah di gudang senjata Kaligua, iring-iringan kendaraan militer Belanda melaju cepat dari arah Bumiayu. Di sebuah tanjakan terjal yang menuju ke Kaligua, truk paling depan berhenti sehingga semua kendaraan di belakangnya juga berhenti. Tanjakan yang terjal ditambah kondisi jalan yang licin akibat gerimis menyulitkan gerak maju kendaraan-kendaraan militer. Raungan keras mesin truk tidak mampu menaklukan tanjakan tersebut. Pada saat itulah pejuang-pejuang dari kompi 4, yang sudah lama bersembunyi di tempat itu, beraksi.

Truk yang penuh tentara Belanda dan tidak bergerak menjadi sasaran empuk granat pejuang. Tentara Belanda dengan panik berloncatan keluar dari truk untuk menghindari granat, tetapi mereka kemudian menjadi sasaran empuk peluru pejuang. Sebenarnya, jumlah tentara Belanda jauh lebih banyak daripada pejuang, persenjataannya pun jauh lebih banyak dan lebih canggih daripada milik pejuang. Namun kondisi medan perang lebih menguntungkan pejuang kita. Tak ada jalan untuk selamat bagi tentara Belanda selain pulang kembali ke Bumiayu. Bala bantuan tentara Belanda itu tidak dapat menolong kawan-kawannya di gudang senjata Kaligua, bahkan menolong dirinya sendiri pun mereka kewalahan. Rasa takut dan geram mengiringi kepulangan bala bantuan tentara Belanda itu. Sebelum pulang, Belanda menelepon markas besarnya untuk mengirim pesawar tempur ke Kaligua.

Dua pesawat tempur Belanda terbang menuju lokasi pertempuran. Pilot-pilotnya berniat menghabisi semua pejuang untuk membalas kematian banyak tentara Belanda. Dalam hitungan menit kedua pesawat tempur itu sudah tiba di atas gudang senjata Kaligua. Pesawat-pesawat tempur itu memuntahkan ribuan peluru ke lokasi sekitar gudang senjata. Bom-bom dijatuhkan di tempat-tempat yang diduga menjadi lokasi pejuang. Hebat sekali serangan mereka, siapa saja yang ada di sekitar gudang senjata bisa dipastikan tewas. Tetapi serangan gencar kedua pesawat tempur ini sia-sia, hanya membuang amunisi saja. Ketika kedua pesawat tempur ini tiba di Kaligua, perang telah selesai. Pejuang kita sudah menyingkir jauh pada saat pesawat-pesawat tempur ini mengamuk.

Serangan fajar di Kaligua memberikan kemenangan yang gilang-gemilang bagi pejuang kita. Dalam perang ini di pihak pejuang tidak ada yang gugur, hanya satu orang yang terluka yaitu seorang pemuda penunjuk jalan yang tertembak pahanya. Pemuda desa ini hanya diberi tugas sebagai penunjuk jalan, tidak boleh ikut bertempur karena tidak memiliki senjata. Namun semangat patriotismenya yang tinggi mendorong pemuda ini maju ke garis depan meski hanya berbekal senjata tradisional. Pejuang bertanya-tanya : berapa jumlah tentara Belanda yang tewas dalam perang ini ? Pertanyaan tersebut baru diketahui pejuang dua hari kemudian. Belanda melaporkan bahwa 97 tentaranya tewas akibat serangan fajar di Kaligua.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Keluarga Pejuang Terjebak di Tengah Perang

Sesuai Perjanjian Renville, semua pejuang harus meninggalkan wilayah Tegal. Ketika Belanda melanggar perjanjian Renville, pejuang-pejuang kita kembali ke kotanya. Mereka melakukan perjalanan panjang bersama keluarga. Peristiwa ini dikenal dengan nama “longmarch” atau “hijrah”. Suatu hari di bulan Januari 1949 serombongan manusia yang kelelahan tampak berjalan pelan-pelan menuju Tegal. Mereka adalah pasukan batalyon III Tegal bersama keluarganya yang akan kembali ke kampung halaman. Sampai sejauh ini mereka belum tahu kalau maut tengah mengintai mereka....

“Berhenti !” ujar pemimpin rombongan. Perintahnya segera diteruskan ke semua orang. Anak-anak, wanita dan orang tua di dalam rombongan tersebut menyambut perintah berhenti dengan duduk untuk melepaskan lelah. Wajah mereka tidak dapat menyembunyikan perasaan takut. Benar saja, di depan sana tentara Belanda dalam jumlah besar dan bersenjata lengkap menghadang perjalanan pasukan hujrah. Sebenarnya hal ini sama sekali bukan masalah bagi pejuang seandainya tidak ada keluarga di tengah-tengah mereka. Akankah anak-anak dan wanita tak berdosa terjebak di tengah-tengah hujan peluru tentara Belanda ? Apa yang akan dilakukan tentara Belanda terhadap anak-anak dan wanita seandainya pejuang kalah dalam pertempuran itu ?

Atas perintah komandan, seorang pejuang memimpin anak-amak, wanita dan orang tua menjauhi kedudukan tentara Belanda. Setelah mengamankan anggota-angota keluarga, pejuang kita bergerak maju. Pertempuran berhadap-hadapan terjadi antara tentara Belanda yang masih segar-bugar melawan pejuang-pejuang Tegal yang kelelahan. Belanda dengan persenjataan canggih berhasil mendesak pejuang. Gerakan mundur pejuang bukanlah asal-asalan karena mereka menjauhkan tentara Belanda dari tempat persembunyian keluarga pejuang. Inilah pertempuran yang pertama kali antara pejuang Tegal melawan Belanda setelah Perang Kemerdekaan II.

Tentara Belanda terus mendesak pejuang-pejuang kita. Namun keunggulan Belanda hanya berlangsung sebentar. Tiba-tiba dari samping kanan dan kiri Belanda muncul sejumlah pejuang. Mereka menjepit Belanda dari tiga jurusan. Sebenarnya, sebelum perang dimulai pejuang Tegal dibagi menjadi tiga kelompok. Kompi I dan Kompi II diperintahkan langsung menghadapi Belanda, sedangkan Kompi III dan IV bergerak memutar. Ketika Kompi I dan II terdesak, Kompi III dan IV muncul dari samping kanan dan kiri tentara Belanda. Sekarang Belanda terdesak. Dengan rasa malu bercampur takut, tentara Belanda lari kocar-kacir meninggalkan medan perang. Seandainya tidak ada anak-anak dan wanita, ingin rasanya pejuangpejuang Tegal menghabisi tentara Belanda yang urang ajar itu. Cukuplah kemenangan tersebut memperkuat mental pejuang-pejuang Tegal. Meskipun pertempuran berlangsung sengit namun di pihak pejuang hanya gugur satu orang saja. Kopral Cholil gugur tertembak peluru jarak dekat seorang tentara Belanda keturunan Ambon. Semoga arwahnya diterima sebagai syuhada di sisi-Nya.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Hari Terpanjang di Tegal

Akibat Perjanjian Renville maka tidak ada pejuang di wilayah Tegal. Baru sekarang penjajah Belanda merasa aman. Selanjutnya Belanda mengadakan operasi besar-besaran di dalam kota dengan tujuan menangkap warga sipil yang tidak mendukung penjajah. Hari itu, Senin, tanggal 8 September 1948 merupakan hari terpanjang di kota Tegal. Hampir selama 24 jam ribuan warga sipil – dalam kondisi mengantuk, lelah dan lapar - dikumpulkan dan diinterogasi dengan cara-cara teror.

Hari terpanjang ini dimulai pukul 2 malam, hari Senin, 8 September 1948. Setiap jalan, bahkan setiap gang, dijaga tentara Belanda. Semua warga sipil laki-laki yang berusia 15 tahun ke atas diperintahkan keluar dari rumah dan digiring ke markas Belanda. Pedagang pinggir jalan, kusir dokar dan penunggang sepeda juga ditangkap. Barang dagangan dan dokar harus ditinggal begitu saja. Banyak warga yang hanya berkerudung sarung karena tidak diberi kesempatan untuk memakai baju. Belanda main pukul dan main tembak siapa saja yang berusaha lari. Mereka kemudian kumpulkan di markas polisi Belanda dan diinterogasi dengan cara-cara teror. Yang dicurigai dipenjara, sedang yang “bersih” dilepaskan setelah badannya diberi stempel-bakar bertuliskan MID. Interogasi baru selesai pada tengah malam ketika hari hampir menjadi Selasa dan selama itu mereka dibiarkan kelaparan, kehausan dan kelelahan.

Di antara mereka yang dilepaskan masih menghadapi masalah baru : banyak barang dagangan, dokar dan sepeda hilang. Siapa pencurinya ? Pada saat operasi pembersihan seperti itu mana ada warga sipil yang berani mencuri ? Resikonya sangat besar mengingat banyaknya tentara Belanda yang gampang main tembak. Pencurinya siapa lagi kalau bukan tentara Belanda dan antek-anteknya ! (Penjajah Belanda suka merampas bahan makanan milik rakyat, baca : Operasi Militer Menangkap “Teroris”).

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Sepasang Mata Bola

Berdasarkan Perjanjian Renville maka pejuang-pejuang Tegal harus meninggalkan daerah tersebut, sebuah peristiwa yang dikenal sebagai “hijrah”. Bagi Belanda, hijrah berarti bernafas lega karena orang-orang yang mereka takuti sudah pergi. Bagi pejuang, hijrah dimanfaatkan untuk mengkonsolidasi pasukan yang selama ini bercerai-berai. Ribuan pejuang Tegal meninggalkan kampung halaman, ada yang berjalan kaki, ada pula yang diangkut dengan truk Belanda. Sebagian pasukan hijrah naik kereta api menuju ibu kota Republik Indonesia, Jogjakarta. Kedatangan pejuang di kota ini mengilhami Ismail Marzuki dalam mengarang lagu “Sepasang Mata Bola” :
Hampir malam di Jogja, ketika keretaku tiba.
Remang-remang cuaca, terkejut aku tiba-tiba.
Dua mata memandang, seakan-akan dia berkata
Lindungi aku (bumi pertiwi) pahlawan, daripada si angkara murka (penjajah Belanda).

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Peringatan HUT RI Pada Jarak 9 Km dari Markas Belanda

Dasar wong Tegal tak kenal takut, mereka memilih tempat untuk upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-2 (tahun 1947) di lokasi yang berjarak hanya 9 km dari markas Belanda. Padahal kerumunan orang di tempat terbuka merupakan sasaran empuk pesawat tempur Belanda. Rupanya Belanda takut juga, jangan-jangan pejuang sudah menyiapkan jebakan jika diserang.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Menyerbu Markas Belanda di Pemalang

Pejuang kita di Pemalang biasanya main kucing-kucingan dengan Belanda : serang dan lari. Hasilnya lumayan : banyak tentara Belanda yang mati, sementara pejuang yang gugur hanya satu orang. Kali ini pejuang Pemalang tidak main kucing-kucingan : menyerang markas militer Belanda dan tak akan lari. Tanggal 15/11/1947, tepat pukul 00.00 markas Belanda diserang pejuang. Pertempuran berlangsung sampai fajar; di sini pejuang berhasil merampas beberapa pucuk senjata musuh, 25 tentara Belanda tewas sedangkan di pihak pejuang yang gugur hanya 1 orang, yaitu Sersan Rorong. Beliau adalah komandan pejuang yang menyerbu markas Belanda.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Rambo Beraksi di Brebes

Bila membaca sejarah perang kemerdekaan di Tegal dan Brebes, kita akan menemui seorang tokoh pejuang. Namanya Murdjan Komara, hobinya menghadang patroli Belanda. Sebagian anak buahnya ada yang merupakan bekas maling dan Murdjan Komara akan membunuhnya bila berani mencuri dari rakyat. Ia sangat membenci penghianat bangsa, di antaranya adalah pamannya sendiri dan seorang asisten wedana Brebes. Bagaikan Rambo ia beraksi menyusup ke rumah kedua pengkhianat itu dan membunuh mereka. Jangan pernah jadi pengkhianat bangsa, demikian pesannya.

Menara air minum merupakan bangunan tertinggi di Brebes pada jaman perang kemerdekaan. Di atas puncaknya, Belanda mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru ukuran besar. Bendera penjajah ini berkibar dengan sombongnya di ketinggian yang bisa dilihat oleh banyak penduduk Brebes. Sebagai obyek vital, menara air minum tersebut dijaga tentara Belanda. Suatu pagi tentara Belanda marah dan terpaksa memberondong bendera tersebut hingga robek-robek. Apa yang terjadi ? Bendera sombong itu telah kehilangan warna birunya; yang berkibar dengan gagah di atas sana adalah Merah-Putih ! Malam sebelumnya, pejuang kita Murdjan Komara beraksi bagaikan Rambo menyusup ke kompleks menara, melumpuhkan tentara Belanda dan merobek bagian bendera yang berwarna biru.

Ulah Murdjan Komara memusingkan tentara Belanda yang menjajah Brebes. Belanda mengeluarkan sayembara yang isinya hadiah uang 12 ribu gulden bagi siapa saja yang bisa menangkapnya, hidup atau mati. Sayembara ini disambut antusias oleh seorang polisi Belanda asal Indonesia, Djamhari. Polisi ini mengerahkan anak buahnya untuk menangkap Murdjan Komara. Sebaliknya, Murdjan Komara berusaha menculik Djamhari. Usaha menculik Djamhari gagal karena ia selalu tidur di markas tentara Belanda yang dijaga ketat. Suatu siang mata-mata Belanda mengabarkan bahwa Murdjan Komara sedang makan di sebuah warung di daerah pendudukan Belanda. Djamhari tidak menyia-nyiakan kesempatan ini; bersama puluhan anak buahnya ia mengepung warung tersebut. Apakah ini akhir riwayat Rambo kita ?

Murdjan Komara yang sedang makan di warung dikepung polisi Belanda. Sekali lagi, Murdjan Komara menunjukkan aksi Rambo-nya dan berhasil lolos. Dalam pergumulan, dompet Murdjan Komara terjatuh. Belanda menyita dompet tersebut, siapa tahu ada informasi penting tentang lokasi persembunyian Murdjan Komara. Benar saja, sebuah surat penting yang ditanda tangani Murdjan Komara ditemukan dalam dompet itu. Namun Belanda terkejut karena surat itu berisi ucapan terima kasih atas pengiriman beberapa dus peluru bantuan dari Djamhari kepada pejuang Indonesia. Akibatnya, Djamhari dihukum tembak mati oleh militer Belanda.

Perstiwa pengepungan tsb sebenarnya sudah direncanakan oleh Murdjan Komara. Ia menuls surat palsu yang sengaja dijatuhkan. Berkat surat palsu itu ia bisa mengakhiri riwayat hidup Djamhari, si pengkhanat.

Banyak jasa yang dibuat Murdjan Komara dalam perjuangan kemerdekaan negeri kita. Namun, ia terjerumus ke dalam komunis PKI. Sewaktu G 30 S PKI meletus, tamatlah riwayat Rambo asal Brebes itu. Sayang seribu sayang.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Kapten Sudibyo Beraksi di Sarang Musuh

Suatu hari di penghujung tahun 1947 Kapten Sudibyo memerintahkan sejumlah kecil pejuang untuk membakar gardu listrik di Desa Kejambon, Tegal. “Usahakan selama mungkin menahan tentara Belanda di sana !” perintah Kapten Sudibyo. Pada malam harinya, sesuai waktu yang telah disepakati, mereka membakar gardu listrik. Aksi mereka tergolong nekat mengingat lokasinya yang dekat dengan markas tentara Belanda di Sekolah Kepandaian Putri (sekarang SMKK, jalan Kapten Ismail). Belanda marah. Siapa orangnya yang berani membuat onar di dekat markas ?, demikian pikiran Belanda. Sejumlah besar tentara Belanda diberangkatkan dari markas untuk mengepung pejuang.

Pembakaran gardu listrik di Desa Kejambon oleh pejuang membuat Belanda marah. Akibatnya, pejuang-pejuang yang hanya beberapa orang itu harus mempertaruhkan nyawa. Makin banyak tentara Belanda yang berdatangan sehingga pengepungan menjadi makin ketat. Sulit bagi pejuang untuk lolos. Mereka berdoa agar diberi selamat sehingga bisa punya kesempatan untuk berjuang lagi. Doa mereka terkabul, pengepungan bubar. Tentara Belanda yang sudah marah itu bertambah marah demi mendengar berita bahwa mereka telah terkecoh. Pembakaran gardu listrik adalah taktik pejuang agar Belanda meninggalkan markasnya. Buru-buru Belanda kembali untuk menyelamatkan markasnya yang sedang diserang Kapten Sudibyo dan kawan-kawan.

Ketika tentara Belanda kembali ke markas militernya, perang telah selesai. Mereka mendapati banyak kawan-kawannya tewas, markas rusak di sana-sini dan sejumlah besar senjata hilang. Dalam perang ini di pihak pejuang hanya gugur satu orang saja, yaitu prajurit Kurdi. Serangan ini berhasil mengangkat moril masyarakat Tegal yang ada di dalam kota. Sementara Belanda mulai berpikir : tidak ada tempat yang aman untuk berlindung, bahkan bersembunyi di dalam markas tentara pun bisa diserang pejuang.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Kamis, 26 Juni 2014

Akibat Meremehkan Pejuang

Pasukan pejuang pimpinan Lettu Suryadi sangat ditakuti tentara Belanda. Hal ini membuat penasaran sejumlah tentara Belanda. Apanya yang hebat, sih ? Demikian pikiran Belanda tsb. Sebanyak lebih dari 20 orang tentara Belanda pemberani berkumpul untuk menyusun rencana jitu guna menghabisi pasukan Suryadi. “Kita ke markas pejuang jangan pakai kendaraan karena suara mesinnya sudah terdengar dari jauh. Pejuang akan kabur sebelum kendaraan kita tiba”. Demikian keputusan tentara Belanda dan ternyata benar : tanpa diketahui oleh pejuang pada suatu pagi di bulan Oktober 1947 pasukan Suryadi dikepung tentara Belanda tsb. Dengan persenjataan canggih tentara Belanda melakukan serangan mendadak hingga membuat pasukan Suryadi kocar-kacir dan melarikan diri. Belanda girang atas keberhasilan serangan tersebut. “Cuma segini kehebatan pejuang yang ditakuti kawan-kawan kita ?” sindir Belanda.

Meski tercerai-berai namun pasukan Suryadi dengan cepat berkumpul lagi. Hal ini di luar dugaan Belanda mengingat sarana komunikasi pejuang sangat terbatas. Rupanya pejuang kita ini sangat pintar, jauh-jauh hari ia memerintahkan anak buahnya begini : jika markas pertama jatuh ke tangan Belanda, kita segera berkumpul di markas kedua; jika markas kedua jatuh, kita secepatnya berkumpul di markas ketiga, dan seterusnya. Kepintaran Lettu Suryadi tidak hanya sampai di sini saja. Otaknya yg encer bekerja keras mengolah informasi sekitar kejadian yg baru saja dialaminya itu.

Setelah mengumpulkan semua anak buahnya yang tercerai-berai akibat disergap tentara Belanda, Lettu Suryadi berpikir keras. Mengapa kedatangan tentara Belanda tidak diketahui pejuang ? Pasti Belanda berjalan kaki sehingga pejuang tidak mendengar suara kendaraan. Kalau berjalan kaki, rute mana yang akan diambil tentara Belanda itu untuk pulang ? Antara markas Belanda dan markas pejuang ada sungai Cinanas yg cukup lebar, tentara Belanda itu pasti menyeberanginya. Jika berjalan kaki, di mana tentara Belanda akan menyeberangi sungai Cinanas?
Tidak butuh waktu lama bagi Lettu Suryadi untuk menentukan lokasi penyeberangan tentara Belanda. Ia memerintahkan anak buahnya untuk segera menuju lokasi tsb. “Cepat sembunyi sebelum tentara Belanda datang ! Jangan menyerang sebelum ada aba-aba dariku !” perintahnya....(bersambung)

Berkat kecerdasannya, Lettu Suryadi bisa memperkirakan lokasi penyebarangan tentara Belanda. Perkiraannya tepat, tentara Belanda yang belum lama ini menyergapnya tiba di tepi sungai. Belanda-Belanda itu tidak mengira bahwa pasukan pejuang yang baru saja dibuatnya kocar-kacir kini sedang mengintai. Tanpa curiga tentara Belanda menyeberangi sungai, bahkan dengan bersenda gurau. Mereka pikir telah berhasil menghancurkan pasukan Suryadi. Ketika rombongan tentara penjajah itu ada di tengah sungai, pejuang kita menyerangnya. Paniklah Belanda : mau tiarap tidak bisa karena di tengah sungai; mau maju atau mundur sulit karena jauh dari tepian; mau berlindung tidak ada tempat perlindungan karena air semua. Jalan satu-satunya bagi Belanda untuk menyelamatkan diri adalah menjadikan temannya sebagai perisai : pegangi erat-erat tubuh temannya sambil bergerak mundur, biarkan peluru menembus tubuh temannya itu asalkan dirinya selamat.

Pertempuran di Sungai Cinanas membuktikan mengapa pasukan pejuang pimpinan Lettu Suryadi sangat ditakuti Belanda. Pasukan ini semula disergap Belanda dan kocar-kacir namun dengan cepat membuat serangan balasan. Itulah akibat meremehkan kemampuan pejuang kita. Hasil pertempuran ini membuat Belanda marah besar : 15 tentara Belanda tewas, 7 di antaranya ditinggal lari oleh kawan-kawannya. Belanda baru berani kembali untuk mengambil ke-7 jenazah tentaranya itu dua hari kemudian dalam keadaan sudah busuk. Warga sekitar lokasi pertempuran yang semula pro-Belanda kini mendukung pejuang-pejuang Indonesia.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Siasat Licik Belanda

Kekalahan Belanda dalam perang di Bumijawa (lihat “Surat dari Jendral Sudirman”) membuat Letkol Moh. Susman, komandan Markas Pimpinan Perlawanan Rakyat (MPPR) Tegal, menjadi orang nomor satu yang diincar penjajah itu. Gagal membunuh Susman, Belanda memburu keluarganya. Mata-mata Belanda melaporkan bahwa Letkol Susman memiliki keluarga di desa Balapulang, Tegal. Anggota keluarga tsb ada 6 orang, dan semuanya wanita. Kayaknya mudah ditangkap nih, mungkin begitu pikiran Belanda. Kalau wanita-wanita tsb sudah ditangkap maka akan dijadikan sandera agar Letkol Susman menyerah. Belanda mengerahkan tentaranya untuk menduduki Balapulang dan menangkap ke-6 wanita tsb. Tidak sulit merebut Balapulang, juga tidak sulit mengepung rumah keluarga Letkol. Susman, tetapi Belanda gagal menangkap satu pun dari wanita-wanita itu. Perburuan pun dimulai.

Belanda memburu enam orang wanita keluarga Letkol Susman, pemimpin pejuang Tegal. Keenam wanita itu melakukan perjalanan panjang dan sembunyi-sembunyi menuju ke Bumijawa, markas pejuang Tegal. Bantuan warga desa sangat menolong mereka ketika Belanda menghadangnya. Hal ini membuat Belanda putus asa dan menghalalkan kelicikan guna mencelakai wanita-wanita yang tak ada kaitannya dengan peperangan itu. Belanda menyebarkan gosip bahwa ada enam orang wanita mata-mata Belanda dengan tugas utama mencari lokasi persembunyian Letkol Susman.
Demikianlah, pada suatu hari ada berita kilat bahwa Belanda menyebarkan 6 orang wanita sebagai mata-mata. Secara kebetulan pula, patroli pejuang menangkap 6 orang wanita. Kecurigaan bahwa mereka mata-mata makin kuat karena ke-6 wanita tersebut mencari-cari Letkol. Susman.

Jika ada pertanyaan berapa jumlah personil pejuang kita ? Belanda lebih tahu jawabannya dari pada pejuang itu sendiri. Berapa jumlah senjata yang dimiliki pejuang ? Belanda lebih tahu dari pada pejuang itu sendiri. Apa jenis-jenis senjata yang dimiliki pejuang ? Belanda lebih tahu dari pada pejuang itu sendiri. Itu semua hasil kerja mata-mata Belanda. Mata-mata Belanda sangat dbenci oleh pejuang dan rakyat Indonesia saat itu hingga melahirkan fenomena “jaman bersiap”. Jika rakyat mencurigai seseorang sebagai mata-mata Belanda, maka mereka akan berteriak : “siap !”. Sebagai balasannya, saat itu juga dari segala penjuru akan segera terdengar teriakan serupa. Teriakan ini menjadi aba-aba semua warga untuk mengepung orang yg dicurigai itu. Orang itu diinterogasi dan digeledah, jika ditemukan bukti sedikit saja yang menunjukkan hubungan orang itu dengan Belanda, maka habislah sudah. Ia menjadi bulan-bulanan warga hingga mati mengenaskan. Aksi main hakim sendiri ini bisa dipicu oleh hal-hal sepele, misal orang yg dicurigai itu menyimpan uang gulden atau pada pakainnya ada unsur warna merah-putih-biru (bendera Belanda). Banyak orang tak bersalah, baik pria maupun wanita, menjadi korban “jaman bersiap” itu. Bagaimana nasib enam orang wanita keluarga Letkol Susman yang tertangkap pejuang dan dituduh mata-mata Belanda itu ?

Keenam wanita yang dituduh mata-mata Belanda menjalani interogasi yang menegangkan. Mereka mengaku sebagai keluarga Letkol Susman, sayang tidak bisa memberikan bukti. Parahnya, tak ada yang mengenal mereka. Letkol Susman sendiri tidak diketahui keberadaannya. Mereka dituduh mata-mata penjajah berdasarkan informasi bahwa Belanda menyebarkan 6 orang wanita sebagai mata-mata untuk mencari lokasi markas Letkol. Susman. Informasi itu cocok : jumlahnya 6 orang, semua wanita dan mencari-cari Letkol. Susman. Pejuang yang sangat membenci mata-mata hampir tak dapat menahan emosi menghadapi perdebatan yang bertele-tele. Bagaikan mimpi menyeramkan, wanita-wanita itu frustasi. Mereka tidak tahu mana yang lebih buruk : ditangkap Belanda atau ditangkap pejuang yang menuduhnya mata-mata. Pada detik-detik yang menegangkan itu muncul seorang staf markas pejuang. Orang yang baru datang ini heran mengapa anggota-anggota keluarga Susman diperlakukan dengan kasar. Ketegangan mencair setelah staf tersebut meyakinkan bahwa benar ke-6 wanita itu adalah keluarga Letkol Susman. Wanita-wanita itu bernafas lega. Mimpi buruk telah berakhir. Siasat licik Belanda gagal total.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Asesoris Unik Senapan Pejuang

Kaum wanita tidak mau berpangku tangan melihat kaum pria berjuang mempertahankan kemerdekaan. Mereka menyediakan makanan untuk pejuang. Bila ada di dekat desa, pejuang tak perlu mengkhawatirkan masalah konsumsi. Ibu-ibu dengan senang hati menyiapkan makanan yang bahkan mereka sendiri jarang memakannya karena mahal. Seringkali pejuang harus menyingkir jauh-jauh dari desa dan masuk ke tengah hutan. Kalau sudah begini, sulit mencari makanan yg bergizi namun praktis. Masalah ini dipecahkan oleh ide cerdas kaum ibu : ketupat, salah satu makanan kesukaan orang Tegal. Jadi jangan heran bila senapan pejuang kita dihiasi asesoris unik. Ketupat bergelantungan di ujung senapan, bila lapar ambil satu bungkus. Praktis, tinggal buka dan “lep”. Bergizi : kaya karbohidrat sumber energi untuk bertempur

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Tebak-Tebakan : Siapa Gelandangan Itu ?

Markas pejuang melarang pemuda yang fisiknya kurang untuk maju ke medan perang. Jadi petani saja, nanti berasnya bisa disediakan untuk pejuang. Menyediakan makanan untuk pejuang sama pentingnya dengan maju perang. Demikian bujukan pimpinan markas pejuang kepada pemuda-pemuda tsb. Pada hari-hari biasa, mereka memang menjadi petani. Tetapi ketika jiwa patriotismenya terpanggil mereka berubah menjadi......gelandangan dekil. Dengan berselimut sarung lusuh gelandangan itu berkeliaran sampai ke kota Tegal yang diduduki Belanda. Entah darimana dan bagaimana caranya, si gelandangan memperoleh banyak peluru yang kemudian disembunyikan dibalik sarung dekilnya. Peluru-peluru ini kemudian diserahkan kepada pejuang kita. Maut mengancam mereka jika ketahuan patroli atau pos-pos penjagaan Belanda

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Tebak-Tebakan : Apa Yang Dijual Pedagang Itu ?

Dengan jatuhnya kota Tegal ke tangan penjajah Belanda (26 Juli 1947) maka Rumah Sakit Kardinah menjadi tempat merawat tentaranya yang luka. Pastilah Kardinah penuh dengan orang Belanda mengingat pejuang kita rajin sekali menyerang mereka. Sebagai obyek vital, rumah sakit ini dijaga ketat oleh tentara Belanda. Ketatnya penjagaan tidak menyiutkan nyali seorang pedagang pikulan. Ia berasal dari luar kota, berdagang sampai ke daerah yang dikuasai Belanda, bahkan masuk ke Rumah Sakit Kardinah. Ia menawarkan makanan kepada karyawan Kardinah. Setelah merasa tak ada lagi pembeli, ia kembali ke luar kota, tentunya dengan melewati pos penjagaan Belanda. Coba tebak apa yang dijualnya ? Makanan ? Benar, tapi itu ketika ia masuk Kardinah. Ketika keluar dari rumah sakit ini jawaban tsb kurang tepat. Mengapa ? Karena sekarang pikulannya banyak berisi obat-obatan. Sumbangan dari karyawan-karyawan Kardinah untuk pejuang, jelasnya. Seandainya ketahuan Belanda, jangan ditanya bagaimana nasib si pedagang dan karyawan-karyawan Kardinah itu

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Jasa Soegidjarwoto Dalam Bidang Kesehatan Pejuang Tegal

Di masa perang mempertahankan kemerdekaan, tenaga medis sangat dibutuhkan. Untuk daerah gerilya Tegal, Letda W. Soegidjarwoto merupakan satu-satunya tenaga yang aktif di bidang kesehatan. Dengan peralatan yang sangat sederhana beliau berhasil mendirikan rumah sakit darurat untuk merawat pejuang yang terluka. Meskipun serba kekurangan fasilitas, beliau berhasil memanfaatkan pelepah pisang kering untuk membalut luka. Dua balai pengobatan yang berhasil didirikan adalah yang terletak di Desa Karanggoleng, dipimpn sendiri oleh beliau, dan di Desa Dukuhliwung yang dipimpin oleh Moh. Sidik.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Operasi Militer Belanda Menangkap "Teroris"

Pasukan Belanda menyerbu sebuah desa untuk menangkap pejuang-pejuang yang dianggap sebagai teroris. Kepala desa memprotes tindakan Belanda. Di sini tidak ada pejuang, teroris, ekstrimis atau apa pun namanya, protes kepala desa. Operasi militer dilanjutkan tanpa memperdulikan protes tsb. Mereka melakukan penangkapan besar-besaran. Semua tawanan diangkut dengan truk. “Siapa saja warga saya yang ditangkap ?” tanya kepala desa. “Lihat saja sendiri di atas truk,” jawab Belanda. Inilah “teroris-teroris” yang berhasil ditangkap Belanda : sejumlah besar ayam dan bebek, beserta telur-telurnya, juga sapi, kerbau dan kambing. “Bilang saja mau merampas makanan, jangan pakai dalih mau menangkap teroris segala.” gerutu kepala desa.

Sabtu, 01 Maret 2014

Ketika Kebrutalan Berdalih Membela Diri

Suatu hari di bulan September 1947, tentara pendudukan Belanda melakukan operasi besar-besaran untuk menangkap ekstrimis/teroris (teroris yg dimaksud adalah pejuang). Mereka mengerahkan 87 truk penuh tentara untuk memblokade desa-desa di Kabupaten Tegal : Kesuben, Balaraden, Kambangan, Lebakgowak dll. Blokade diperkuat dengan kereta api. Ratusan militer Belanda mengobrak-abrik kampung mencari pejuang. Ratusan bahkan ribuan warga desa dikumpulkan sebagai tawanan. Di bawah ancaman senjata, warga desa dipaksa menunjukkan siapa di antara orang-orang yang dikumpulkan itu yang menjadi pejuang.
 

Ribuan warga desa, beberapa di antaranya merupakan pejuang, ditangkap oleh militer Belanda. Seorang pejuang diseret Belanda namun dilindungi oleh warga desa. “Meneer, dia bukan pejuang. Dia petani. Lihat saja kulitnya yang hitam legam karena dijemur terik matahari. Kalau dibunuh nanti desa kita kekurangan petani”, mungkin demikian salah satu alasan warga desa untuk menyelamatkan pejuang itu. Ketika seorang pejuang yang kulitnya tidak hitam hendak dibunuh, seorang kakek renta protes. “Meneer, ia pedagang. Kalau dibunuh nanti kami sulit memperoleh barang kebutuhan sehari-hari. Kalau ingin membunuh, tembak saja aku. Aku sudah tua, tidak berguna.” Bingunglah Belanda, berjam-jam tidak menemukan pejuang yang membaur dan dilindungi rakyat.
 

Sebenarnya Belanda sudah putus asa karena tidak menemukan pejuang di antara warga desa yang dipaksa kumpul itu. Sayang seorang lurah desa berkhianat. Ia memberi tahu siapa-siapa di antara warga desa yang sedang dikumpulkan itu yang diduga pejuang. Akibatnya, 18 pejuang ditangkap Belanda dan disuruh berjajar di jalan simpang tiga desa dan kemudian diberondong dengan senjata otomatis. Belanda tidak merasa melanggar HAM selama menjajah Indonesia. Bahkan kasus pembunuhan 18 orang terduga pejuang ini pun – menurut mereka – bukan pelanggaran HAM karena dilakukan untuk membela diri. Kalau Belanda membunuh orang Indonesia, itu namanya membela diri. Kalau pejuang Indonesia menembak tentara Belanda, itu namanya pelanggaran HAM.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.


Mati Satu Lari Semua

Ini kisah patroli Belanda. Biasalah, mereka pakai kendaraan biar aman. Tidak ada tentara Belanda yang mau berjalan paling depan saat patroli. Ya iya lah, yg berjalan paling depan itulah yang mati paling dulu. Entah kena ranjau atau kena peluru pejuang kita. Tak mengherankan jika tentara Belanda yang mendapat tugas berjalan paling depan minta naik motor. Begitu terdengar suara letusan senapan, ia bisa ngebut dengan motornya agar terhindar dari peluru. Begitulah, pada September 1947 jam 5 pagi seorang tentara Belanda naik motor di depan iring-iringan kendaraan Belanda. Ketika melewati jalan raya Banjaranyar, Tegal, terdengar letusan senjata. Belanda pengendara motor tsb segera tancap gas untuk menghindari peluru. Usahanya sia-sia karena penembaknya benar-benar jitu. Si Belanda tergeletak di samping motornya. Melihat kawannya mati, militer Belanda yang jumlahnya banyak segera lari begitu saja meninggalkan jenazah kawannya itu.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.


Ketika Kebiadaban Berdalih Perang Yang Adil

Tanggal 12 September 1947 merupakan hari yang naas bagi warga desa Tigasari, Kabupaten Tegal. Pasukan Belanda dalam jumlah besar mengepung desa itu dengan tujuan menghabisi gerombolan pengacau keamanan pimpinan Sudirmo. Yang dimaksud “gerombolan pengacau keamanan” adalah pejuang Indonesia. (Regu pejuang pimpinan Sudirmo ini berhasil disergap Belanda namun lolos semua dengan cara yang heroik. Kisahnya bisa dibaca dalam tulisan berjudul “Penyergapan Sia-Sia”). Belanda frustasi karena tidak menemukan apa yang dicarinya. Mereka tidak tahu bahwa Sudirmo dkk telah lama meninggalkan desa itu. Sebagai pelampiasan kemarahan, Belanda menangkap 31 warga desa. Seperti membunuh nyamuk, Belanda memberondong orang-orang tak berdosa itu dengan senapan otomatis. Dari 31 orang hanya satu yang selamat, yaitu Rusdi, yang menjatuhkan diri sebelum peluru mengenai tubuhnya. Apakah tindakan Belanda tsb melanggar HAM ?
 

Hanya karena gagal mencari pejuang, penjajah Belanda membunuh secara biadab 31 orang warga sipil. Belanda tidak mengakui bahwa tindakan tsb melanggar HAM dengan alasan karena merupakan perang yang adil. Perang yang adil itu bagaimana ? Kalau Belanda menang berarti perangnya adil, jadi tidak melanggar HAM. Kalau Belanda kalah berarti perangnya tidak adil, jadi Belanda adalah korban pelanggaran HAM.
Ada juga yang berpendapat bahwa tindakan Belanda tsb tidak bisa disalahkan. Yang salah adalah pejuang karena bersembunyi di tengah-tengah warga. Kalau mau perang ya yang ksatria dong, jangan habis nyerang lalu sembunyi di ketiak warga desa. Jangan salahkan Belanda yang bermaksud menembak pejuang tapi yang kena warga desa. Demikian alasan pendukung penjajah. Lalu pejuang harus bersembunyi di mana ? Bersembunyilah di satu tempat sedemikian hingga dengan sekali bom pejuang mati semua !

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.