Sabtu, 12 Oktober 2013

Bandung Lautan Api Versi Tegal



Tanggal 23 Juli 1947, Cirebon diduduki agresor Belanda, mungkin besok Belanda menyerbu kota Tegal.  Rakyat Tegal memutuskan untuk membumi hanguskan kotanya sendiri, daripada direbut musuh dan digunakan untuk pangkalan militer. Taktik bumi hangus dijalankan dengan pertimbangan bahwa dalam perang terbuka sulit untuk mengalahkan Belanda yang senjatanya jauh lebih unggul. Tentara Belanda mempunyai pengalaman perang yang jauh lebih banyak, bahkan mereka termasuk pemenang Perang Dunia ke-2. Belanda akan kehilangan semangat tempur jika mengetahui bahwa kota yang akan direbut hanya tinggal puing-puingnya saja. Meski Belanda berhasil menduduki suatu kota, mereka akan kesulitan beraktivitas karena tidak ada bangunan tempat istirahat, tidak ada makanan, tidak ada listrik, tidak ada air, jembatan hancur, jalan sulit dilalui dan jalur komunikasi terputus.

Tanggal 23 Juli 1947, mengingat gerakan Agresi Militer Belanda yang semakin dekat, pejuang Tegal bersama rakyat membakar dan menghancurkan kotanya sendiri. Mereka tidak rela jika rumahnya didiami oleh Belanda. Mereka tidak mau jika jalan di kotanya dilalui oleh Belanda. Mereka tidak ingin jika jaringan listrik di Tegal dimanfaatkan oleh Belanda. Mereka tidak sudi jika pabrik gula dan penimbunan minyak jatuh ke tangan Belanda. Mereka hanya mau memberikan puing-puing kota Tegal kepada tentara penjajah itu. Pembakaran kota Tegal menunjukkan bahwa rakyat kota ini menolak kedatangan penjajah Belanda.

Kalau bukan dalam suasana perang, pastilah hari ke-4 puasa tahun 1947 (atau tanggal  23/7/1947) di Tegal merupakan ramadhan yang paling meriah. Yang disulut bukan petasan, melainkan bom ! Yang dibakar bukan kembang api, melainkan gedung. Yang dipukul bukan bedug, melainkan pohon besar ! Gemuruh suara ledakan bom, kebakaran dan tumbangnya pohon-pohon besar meramaikan suasana ramadhan. Ya, rakyat Tegal membakar dan menghancurkan kotanya sendiri. Jembatan Kali Pemali diledakkan. Seorang pejuang yang bertugas meledakan jembatan tersebut, Letnan Sueb, gugur terkena pecahan bom karena semborono.  Semua jembatan menuju Tegal berhasil dihancurkan kecuali jembatan di Kali Ketiwon yang rusak ringan saja. Pohon-pohon ditumbangkan rakyat untuk barikade. Gudang-gudang di pelabuhan, pabrik gula Banjaratma dan lain-lain dihancurkan, pabrik Texin, jawatan listrik negara, bengkel kereta api dan pabrik-pabrik dibakar. Terakhir tempat penimbunan minyak di Slerok dibakar hingga menimbulkan ledakan hebat yang menyebabkan warga Slerok, bersama barisan-barisan pejuang, mengungsi.  “Tegal telah menjadi lautan api, kelak kami akan kembali untuk merebutmu,” demikian janji pejuang-pejuang kita.

Sebelum meninggalkan kota Tegal, pada tanggal 23 Juli 1947 pejuang dibantu warga membumi hanguskan dan menghancurkan fasilitas-fasilitas penting di kota tersebut. Jembatan, jalan, pabrik, gedung penting, saluran listrik, penimbunan minyak, pabrik, dihancurkan sendiri. Tidakkah sayang (istilah Tegalnya “eman-eman”) penghancuran fasilitas penting tsb ? Sebenarnya sayang, tetapi terpaksa daripada nanti dimanfaatkan Belanda untuk melancarkan operasi militer terhadap pejuang kita. Belanda mengira akan tinggal lama di Tegal sehingga semua yang rusak diperbaiki. Dua setengah tahun kemudian ketika Belanda angkat kaki dari Tegal, kota itu bisa dikatakan selesai diperbaiki oleh penjajah tersebut, Demikianlah, pejuang meninggalkan kota Tegal dalam kondisi rusak tetapi merebutnya kembali dalam kondisi bagus.


Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar