Tanggal 23 Juli
1947, Cirebon diduduki agresor Belanda, mungkin besok Belanda menyerbu kota
Tegal. Rakyat Tegal memutuskan untuk
membumi hanguskan kotanya sendiri, daripada direbut musuh dan digunakan untuk
pangkalan militer. Taktik bumi hangus dijalankan dengan pertimbangan bahwa
dalam perang terbuka sulit untuk mengalahkan Belanda yang senjatanya jauh lebih
unggul. Tentara Belanda mempunyai pengalaman perang yang jauh lebih banyak,
bahkan mereka termasuk pemenang Perang Dunia ke-2. Belanda akan kehilangan
semangat tempur jika mengetahui bahwa kota yang akan direbut hanya tinggal
puing-puingnya saja. Meski Belanda berhasil menduduki suatu kota, mereka akan
kesulitan beraktivitas karena tidak ada bangunan tempat istirahat, tidak ada
makanan, tidak ada listrik, tidak ada air, jembatan hancur, jalan sulit dilalui
dan jalur komunikasi terputus.
Tanggal 23 Juli
1947, mengingat gerakan Agresi Militer Belanda yang semakin dekat, pejuang
Tegal bersama rakyat membakar dan menghancurkan kotanya sendiri. Mereka tidak
rela jika rumahnya didiami oleh Belanda. Mereka tidak mau jika jalan di kotanya
dilalui oleh Belanda. Mereka tidak ingin jika jaringan listrik di Tegal
dimanfaatkan oleh Belanda. Mereka tidak sudi jika pabrik gula dan penimbunan minyak
jatuh ke tangan Belanda. Mereka hanya mau memberikan puing-puing kota Tegal
kepada tentara penjajah itu. Pembakaran kota Tegal menunjukkan bahwa rakyat
kota ini menolak kedatangan penjajah Belanda.
Kalau bukan dalam
suasana perang, pastilah hari ke-4 puasa tahun 1947 (atau tanggal 23/7/1947) di Tegal merupakan ramadhan yang
paling meriah. Yang disulut bukan petasan, melainkan bom ! Yang dibakar bukan
kembang api, melainkan gedung. Yang dipukul bukan bedug, melainkan pohon besar
! Gemuruh suara ledakan bom, kebakaran dan tumbangnya pohon-pohon besar meramaikan
suasana ramadhan. Ya, rakyat Tegal membakar dan menghancurkan kotanya sendiri. Jembatan
Kali Pemali diledakkan. Seorang pejuang yang bertugas meledakan jembatan
tersebut, Letnan Sueb, gugur terkena pecahan bom karena semborono. Semua jembatan menuju Tegal berhasil
dihancurkan kecuali jembatan di Kali Ketiwon yang rusak ringan saja.
Pohon-pohon ditumbangkan rakyat untuk barikade. Gudang-gudang di pelabuhan,
pabrik gula Banjaratma dan lain-lain dihancurkan, pabrik Texin, jawatan listrik
negara, bengkel kereta api dan pabrik-pabrik dibakar. Terakhir tempat
penimbunan minyak di Slerok dibakar hingga menimbulkan ledakan hebat yang
menyebabkan warga Slerok, bersama barisan-barisan pejuang, mengungsi. “Tegal telah menjadi lautan api, kelak kami
akan kembali untuk merebutmu,” demikian janji pejuang-pejuang kita.
Sebelum
meninggalkan kota Tegal, pada tanggal 23 Juli 1947 pejuang dibantu warga
membumi hanguskan dan menghancurkan fasilitas-fasilitas penting di kota
tersebut. Jembatan, jalan, pabrik, gedung penting, saluran listrik, penimbunan
minyak, pabrik, dihancurkan sendiri. Tidakkah sayang (istilah Tegalnya
“eman-eman”) penghancuran fasilitas penting tsb ? Sebenarnya sayang, tetapi
terpaksa daripada nanti dimanfaatkan Belanda untuk melancarkan operasi militer
terhadap pejuang kita. Belanda mengira akan tinggal lama di Tegal sehingga
semua yang rusak diperbaiki. Dua setengah tahun kemudian ketika Belanda angkat
kaki dari Tegal, kota itu bisa dikatakan selesai diperbaiki oleh penjajah
tersebut, Demikianlah, pejuang meninggalkan kota Tegal dalam kondisi rusak
tetapi merebutnya kembali dalam kondisi bagus.
Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab.
Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar