Senin, 05 Desember 2011

Berikan Yang Terbaik Untuk Negaramu !

Pengantar :
           Nama tokoh dan latar belakang peristiwa dalam cerita ini adalah nyata. Hal-hal lainnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.


           Proklamasi 17 Agustus 1945 telah dikumandangkan, namun Belanda tidak mau kehilangan negeri jajahan yang kekayaan alamnya melimpah ini. Bersama tentara Sekutu, Belanda kembali ke Indonesia dan mulai menduduki kota-kota penting, di antaranya Bandung. Negeri kita tidak rela melepaskan kota tersebut sehingga terjadi pertempuran melawan penjajah. Para pejuang dari kota-kota lain berdatangan termasuk dari kota Tegal, Jawa Tengah. Salah seorang pejuang asal Tegal yang dikirim untuk mempertahankan Bandung adalah prajurit Salim.
           Ketika dirinya terpilih untuk berangkat ke Bandung, Salim ragu-ragu. Bukan karena takut menghadapi peluru Belanda, namun ia mencemaskan keluarga yang akan ditinggalkannya. Bapak dan ibunya sudah renta. Kakaknya perempuan dan sudah menikah. Sayang, suami kakaknya ditangkap Jepang dan entah bagaimana nasibnya sekarang. Sejak suaminya ditangkap kakak perempuan Salim menderita sakt-sakitan.. Salim mempunyai seorang adik, namun cacat fisik. Kekurangan gizi yang berkepanjangan pada masa penjajahan Jepang selama ia masih balita menyebabkan anak malang itu lumpuh.
           “Lim , apa yang kau risaukan ?” tanya ibunya.
           “Aku bingung, Bu. Aku ingin berangkat ke Bandung, tetapi siapa nanti yang akan merawat Bapak, Ibu juga kakak dan adik?”
           Ibunya tersenyum. “Lim, tidak usah mencemaskan kami. Negara lebih membutuhkanmu daripada rumah ini. Berangkatlah ! Kamu berjuang untuk negara. Kami berjuang merawat diri kami sendiri. Seandainya kami tidak sanggup, Ibu yakin akan ada yang membantu kami.”
           “Iya, Lim. Tidak usah mengkhawatirkan keluarga di rumah”, tambah kakaknya yang sedang berbaring sakit. Ia bangkit dan duduk di tepi dipan. “Kamu lihat, sebentar lagi aku sembuh sehingga bisa merawat Ibu dan Bapak juga adik”.
           Salim tersenyum kecut. Ia merasa bahwa kakaknya itu memaksakan diri agar terlihat sehat. Ia tahu kakaknya berbohong karena tidak ada tanda-tanda penyakitnya akan sembuh. Salim juga tahu bahwa kakaknya berbuat seperti itu adalah untuk membesarkan hatinya.
           Salim tersadar dari lamunannya ketika merasa ada tangan kecil menarik-narik celananya. Adiknya yang lumpuh bersimpuh di dekat kaki Salim. Tangan anak itu menggoyang-goyang kaki Salim. Tampaknya ia ingin menarik perhatian Salim.
           “Kakak mau perang ? Oh, Kakak hebat !” ujar anak lumpuh itu. “Seandainya sudah bisa berjalan, boleh tidak saya ikut Kakak ?”
           Salim mengelus-elus rambut adiknya. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Tak ada harapan adikku bisa berjalan normal, keluh Salim dalam hati. Untuk menyembunyikan kesedihannya, Salim tersenyum. “Mau apa Adik ikut ?”
           “Mau mengusir Belanda !”
           “Boleh,” jawab Salim spontan. Hati adiknya berbunga-bunga.
           “Baiklah, saya akan berangkat dengan hati lapang,” ujar Salim sambil bangkit. “Hari ini kalian belum makan, bukan ? Saya keluar dulu mencari makanan”.
           Gajinya sebagai prajurit rendahan tidak seberapa sehingga tidak bisa diandalkan. Ia terpaksa mencari tambahan penghasilan. Salim melangkahkan kakinya ke pasar. Ia berharap ada orang yang memberinya pekerjaan seperti membongkar atau memuat barang. Namun ia melihat di tempat itu banyak orang yang juga mencari pekerjaan seperti dirinya. Ia melihat bagaimana mereka berebut pekerjaan. “Percuma mencari nafkah di sini”, ujarnya pada diri sendiri.
           Salim menujukkan pandangannya ke arah pelabuhan. “Barangkali di sana ada orang yang membutuhkan tenagaku”.
           Ketika ia tiba, pelabuhan sudah sepi. “Tak ada pekerjaan di sini”, keluh Salim. “Padahal hari ini juga aku harus memperoleh makanan”.
           Setelah lama berpikir-pikir akhirnya Salim memutuskan untuk meminta makanan pada kelurahan. Suatu hal yang sebenarnya sangat dihindari. Ia tidak mau meminta-minta. Baginya lebih baik lapar daripada meminta-minta. Akan tetapi bagaimana dengan kedua orang tua, kakak dan adiknya ? Salim tidak tega melihat mereka semua kelaparan.
           Di kelurahan banyak orang sedang mengantri dengan berbagai macam keperluan. Salim menunggu dengan sabar. Ketika gilirannya hampir tiba, Salim melihat orang yang paling ditakutinya. Ia seorang rentenir yang suka meminjamkan uang dengan bunga besar. Untuk membeli makanan bagi keluarganya Salim berhutang pada orang itu. Sudah lama Salim menunggak pembayaran hutang tersebut.
           “Celaka, mengapa lintah darat ini muncul pada saat aku tidak memiliki uang”, keluh Salim dalam hati. “Daripada berurusan dengan tukang-tukang pukulnya, lebih baik aku pergi dari sini. Padahal giliranku menemui Pak Lurah hampir tiba.”
           Rentenir melihat kepergian Salim. “Hai, Lim. Jangan lari !” teriaknya.
           Salim bersembunyi setelah berlari cukup jauh. Ia memperhatikan keadaan sekelilingnya. “Untung rentenir itu tidak mengejarku. Ah, aku tidak takut berperang melawan tentara Belanda tetapi mengapa aku takut pada orang yang akan menagih hutang ?” renung Salim.
           Salim kembali ke rumah dengan tangan kosong. Kelelahan membuat Salim tertidur. Dalam mimpi ia melihat ibu, bapak, kakak dan adiknya sedang menghadapi makanan lezat. Aroma masakan yang sedap itu masih tercium ketika ia terbangun.
           “Aneh, aku mimpi mempunyai makanan. Tetapi setelah bangun aroma makanannya masih ada”, katanya pada diri sendiri.
           “Kamu tidak sedang bermimpi, Nak !” ujar ibunya. Perempuan tua itu tersenyum geli melihat anaknya menggosok-gosok mata seolah tak percaya dengan pandangannya.
           “Dari mana Ibu mendapat makanan ini ?” tanya Salim heran setelah yakin bahwa ia tidak bermimpi..
           “Ketika kamu tidur, Pak Lurah datang. Beliau mengirim makanan ini untuk kita semua”, cerita ibunya. “Pak Lurah senang kamu terpilih untuk berangkat ke Bandung. Beliau pesan, kamu jangan merisaukan keluargamu selama kamu ada di sana. Berjuanglah untuk mempertahankan Bandung dari ancamaan Belanda. Kebutuhan hidup keluarga di sini akan dijamin Pak Lurah”.
           Hari keberangkatan pun tiba. Setelah berpamitan ia berjalan kaki menuju ke markas tentara Tegal. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang yang saat itu paling tidak ingin dilihatnya, Sang Rentenir.
           “Lim, jangan lari !” teriak rentenir itu sekeras-kerasnya. Salim memang tidak bisa lari lagi. Ia sudah disergap oleh dua orang tukang pukul rentenir.
           “Aku tadi ke rumahmu”, ujar orang yang dikenal sebagai rentenir itu. “Mengapa kamu selalu lari bila bertemu aku ?”
           “Maaf, Pak. Saya janji akan melunasi semua hutangku. Tapi ijinkan aku berangkat ke Bandung dulu !” pinta Salim memelas.
           “Dengar, Lim !” ujar Rentenir. “Sekarang semua hutangmu aku anggap lunas.”
           Salim terperangah. Ia tidak mempercayai pendengarannya.
           “Benar, lunas ! Bahkan aku tadi memberi uang kepada ibumu.”
           “Terima kasih, Pak !” ujar Salim terbata-bata.
           “Aku berbuat begini karena kamu akan mempertahankan kemerdekaan kita dari keserakahan penjajah. Aku hanya bisa memberikan sedikit hartaku untuk keluargamu yang ditinggalkan. Berjuanglah, Lim. Berikan yang terbaik untuk negaramu !”
           Dengan diantar rentenir dan kedua tukang pukulnya, Salim datang ke markas tentara Tegal. Saat itu bulan April 1946, markas tentara Tegal mengirimkan pasukannya ke front Bandung Utara, tepatnya di daerah Cikalong, dan dipimpin oleh Lettu Sumardi. Di sana kemudian terjadi pertempuran sengit melawan Belanda dari pagi sampai malam.
           Pejuang dari Tegal belum berpengalaman menghadapi perang. Bagi Salim dan kawan-kawannya, pertempuran di Cikalong adalah perang yang pertama kali dalam hidupnya. Mereka kurang terlatih dan senjatanya pun sederhana. Namun semua kekurangan itu tertutup oleh semangat juang yang berapi-api. Mereka tidak gentar menghadapi musuh yang lebih kuat dan senjatanya lebih modern. Musuh yang dihadapi pejuang Indonesia sudah berpengalaman di banyak medan pertempuran. Bahkan musuh tersebut adalah pemenang Perang Dunia II.
           Sungguh hebat perlawanan yang ditunjukkan oleh pejuang-pejuang kita dalam mengusir Belanda. Meskipun musuhnya sangat kuat, namun pejuang-pejuang kita bisa bertahan sampai malam. Lettu Sumardi melihat Salim melempar bedilnya.
           “Apa yang kamu lakukan, Lim ? Mengapa membuang senjata ?” tanya Lettu Sumardi. Saat itu pejuang sudah terdesak sehingga ia mengira Salim akan menyerah kepada Belanda.
           “Peluruku habis, tapi aku masih mempunyai kelewang”, jawab Salim sambil mencabut kelewang. Ternyata banyak pejuang lain yang juga kehabisan peluru. Mereka menyerbu ke tengah-tengah tentara Belanda sambil menghunus senjata tajam.. Di malam gelap itu terjadi perkelahian sengit satu lawan satu.
           Kenekatan Salim dan kawan-kawan harus ditebus mahal. Mereka memang berhasil membuat gentar tentara Belanda, namun di pihak pejuang banyak jatuh korban. Dari semua pejuang asal Tegal yang ikut dalam pertempuran ini, satu orang tertangkap musuh, sebelas pejuang hilang dan lima orang gugur. Pejuang yang gugur adalah prajurit Salim, Rustam, Afif, Kopral Harno dan Sersan Solihin.
           Berita gugurnya kelima pejuang itu dengan cepat sampai di Tegal. Keluarga korban berkumpul di markas pejuang Tegal. Hujan tangis menyambut kedatangan lima jenazah pahlawan yang kini terlupakan. Kedua orang tua Salim menangisi kepergian anaknya. Bagaimanapun bangganya atas keberanian Salim menghadapi penjajah Belanda namun mereka berdua sangat kehilangan anak tercintanya. Selamat jalan, Salim !

Kamis, 24 November 2011

Pengepungan Dalam Pengepungan

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.


           Meskipun Indonesia sudah merdeka, Jepang masih menguasai Kota Tegal, Jawa Tengah. Bendera Jepang berkibar di banyak tempat di Tegal yang menunjukkan bahwa penjajah itu tidak mau melepaskan cengkeramannya pada kota tersebut. Beberapa pemuda dengan berani menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan Merah Putih. Namun keberanian tersebut harus ditebus dengan menghadapi kemarahan Jepang seperti yang dialami oleh seorang pemuda bernama M. Yakub Mangunkusumo.
           Ketika itu, tepatnya tanggal 27 Agustus 1945 pagi, Jepang mengadakan upacara pengibaran bendera Hinomaru di pelabuhan Tegal. Yakub merasa jengkel melihat bendera Jepang akan dikibarkan padahal Indonesia sudah merdeka. Saat itu masih banyak orang yang belum tahu bahwa Indonesia sudah merdeka, lagi pula Jepang berusaha menutupi berita tersebut.
           Pemuda Yakub ingin menunjukkan bahwa bendera Merah Putih harus berkibar di negaranya sendiri yang sudah merdeka. Demikianlah, Jepang tersentak kaget ketika melihat bahwa bendera yang dikibarkan dalam upacara itu adalah Merah Putih. Di dekat tiang bendera, pemuda Yakub berdiri tegak lalu menghormat ke arah Merah Putih. Ia memekikkan kata “merdeka” sebelum berlari secepat kemampuannya. Jepang terlambat mengepungnya dan berhari-hari pemuda Yakub diburu oleh kenpetai (poilisi militer Jepang).
           Kenekatan Yakub didorong oleh keberanian kawan-kawannya yang mengibarkan bendera Merah Putih di halaman penjara Jepang. Keberanian ini cepat menular di kalangan pemuda. Puncaknya, pada tanggal 10 September 1945 beberapa pemuda dipimpin oleh M. Yunus dan Ciptoarjo mengibarkan Merah Putih di atas bangunan termewah di Tegal saat itu, Gedung Biro.
           Seorang kenpetai memaksa pemuda menurunkan Merah Putih dari Gedung Biro. Ia mengacung-acungkan senjatanya ke arah para pemuda, namun yang diancam tidak merasa gentar.
           “Coba sendiri kalau berani !” tantang pemuda sambil mencabut golok. Kawan-kawannya menyambut ucapan itu dengan mengangkat bambu runcing, parang dan golok. Sang kenpetai ketakutan dan segera pergi menuju ke markasnya.
           Para pemuda kemudian mendatangi kantor-kantor pemerintah untuk mengibarkan bendera Indonesia. Orang-orang Jepang yang menjadi pegawai di kantor-kantor tersebut marah namun takut. Pemuda-pemuda Indonesia juga memasang Merah Putih di bangunan tertinggi yang ada di kota itu, yaitu gedung menara air. Dari atas menara air ini Merah Putih bisa dilihat oleh orang-orang Tegal yang ada di tempat yang sangat jauh.
           Komandan kenpetai sangat marah mendengar laporan anak buahnya. “Mereka sudah berani terhadap kita. Ini tidak bisa dibiarkan !” geramnya.
           Tak lama berselang seorang kenpetai melapor, “Ada berita baru masuk. Mereka saat ini sedang berkumpul di Markas Pemuda di Jalan Gilitugel (kini Jl. Jend. Sudirman).”
           “Bagus. Sekarang juga kita tangkap mereka. Sembilan orang dari kalian ambil senapan mesin dan ikuti aku !” perintahnya.
           Beberapa saat kemudian sebuah rombongan kendaran militer Jepang melaju kencang di jalan. Rakyat yang melihatnya menjadi cemas. Mereka yakin bahwa Jepang akan menangkap orang seperti yang sudah-sudah.
           “Ke mana polisi-polisi Jepang itu ?” tanya seorang penduduk.
           “Siapa yang mau ditangkap ?” tanya orang lain.
           “Ayo kita cari tahu !” ajak seseorang. Ketiga orang itu berjalan cepat menuju ke arah hilangnya mobil-mobil Jepang. Di sebuah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak kecil yang berlari kencang.
           “Hei, Nak. Ada apa ?”
           “Jepang mengepung Markas Pemuda,” jawab anak itu sambil terus berlari. Ia bermaksud segera memberitahu orang tuanya bahwa kakaknya hendak ditangkap Jepang. Saat itu kakaknya merupakan salah seorang yang sedang berkumpul di Markas Pemuda. Berita pengepungan ini menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut.
           Sementara itu puluhan orang berkumpul di gedung Komite Nasional Indonesia yang juga dikenal sebagai Markas Pemuda. Walaupun lelah karena berkeliling kota untuk mengibarkan Merah Putih, wajah mereka menunjukkan kegembiraan.
           “Apa yang akan kita lakukan besok ?” tanya seorang pemuda dengan suara lantang.
           “Bagaimana kalau meminta bapak Walikota agar mengumumkan secara terang-terangan bahwa kemerdekaan kita telah diproklamasikan ?” usul Citrosatmoko.
           “Saya setuju dengan usul Citro”, teriak beberapa kawannya.
           Setelah puas bertukar-pikiran, Citrosatmoko dan beberapa pemuda lainnya pulang. Belum sampai di tepi jalan, tiba-tiba sebuah mobil militer Jepang berhenti mendadak di depan mereka. Tiga orang Jepang berloncatan keluar dari mobil sambil mengacungkan senapan. Pemuda-pemuda kita berlari masuk kembali.
           Komandan kenpetai menghunus sangkur. Ia mendekati tiang bendera yang terbuat dari bambu kecil. Di atas sana Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Sekali tebas tiang bambu itu roboh bersama benderanya. Sangkur Jepang memang tajam dan ganas, apalagi sangkur milik komandan kenpetai itu.
           Di dalam gedung terjadi kepanikan. Pemuda-pemuda yang baru masuk segera menutup pintu rapat-rapat. Mereka berusaha kabur lewat pintu belakang. Namun mereka kecewa karena di belakang gedung ada tiga orang Jepang dengan senjata siap di tangan. “Kita terkepung !” gumam seorang pemuda.
           Terdengar rentetan senapan mesin. Peluru-pelurunya meninggalkan serpihan kayu di lantai, juga lubang-lubang di tembok. Komandan kenpetai berteriak lantang, “Keluar semua satu per satu. Kalian sudah dikepung. Siapa yang lari atau melawan akan ditembak !”
           Senapan mesin Jepang menyalak lagi. Sasarannya adalah pintu depan. Dari pintu ini terdengar suara keras. Brak ! Pintu depan terbuka disusul masuknya komandan kenpetai. “Keluar semua kalau tak mau ditembak!” ancamnya.
           “Indonesia sudah merdeka dan Jepang sudah kalah”, teriak Citrosatmoko dari ruang dalam. “Mengapa kami harus menyerah kepada bangsa yang sudah kalah perang ?”
           “Dasar bandel !” maki komandan itu. “Jangan tunggu kesabaranku habis !”
           Rasa panik mencekam pemuda-pemuda kita. Mereka tidak bisa memutuskan apakah akan melawan Jepang atau menyerah. Melawan adalah pilihan yang nekat karena bagaimana mungkin mereka yang tidak bersenjata mampu menghadapi senapan mesin Jepang. Pasti banyak memakan korban. “Tapi aku tidak mau menyerah !” tekad salah seorang di antara mereka yang kemudian disetujui oleh pemuda-pemuda lainnya.
           Komandan kenpetai gusar atas sikap para pemuda. Ia berseru lantang, “Citro, kamu keluarlah !”
           Citrosatmoko balas berteriak,”Aku akan keluar asalkan kalian tidak mengganggu kawan-kawanku !”
           Jawaban Citro membuat Jepang marah. “Jangan banyak omong ! Keluar cepat atau kamu dan semua kawanmu aku tembaki !”
           Tak disangka ancaman Jepang itu malah disambut dengan teriakan merdeka oleh para pemuda. Udara di dalam Markas Pemuda bergetar akibat hebatnya pekik merdeka.
           Teriakan merdeka juga terdengar di luar Markas Pemuda. Komandan kenpetai sebenarnya sudah melihat kerumunan orang-orang di sekeliling gedung namun ia mengira mereka hanya menonton. Benarkah orang-orang itu hanya menonton ?
           Ketika kerumunan orang masih sedikit Jepang tidak meperdulikannya. Kini setelah jumlahnya mencapai ratusan orang, serdadu-serdadu Jepang itu merasa cemas. Situasi ini segera dilaporkan kepada komandan kenpetai yang masih ada di dalam Markas Pemuda.
           Sang komandan memperhatikan orang-orang di sekeliling gedung. Ratusan orang itu meneriakkan pekik merdeka, bahkan ada yang berseru bunuh Jepang ! Mereka mengacung-acungkan bambu runcing dan golok, bahkan ada yang berani melempari serdadu Jepang dengan batu.
           “Kita terkepung !” gumam sang komandan.
           “Bagaimana komandan, apakah kita akan menghabisi mereka ?"
           “Goblok !” bentak komandan kenpetai. “Jarak mereka dengan kita sudah sangat dekat. Kita bisa saja menghabisi mereka dengan senapan mesin. Tetapi sebelum mereka mati semua kita sudah disate oleh bambu-bambu runcing itu.”
           Komandan kenpetai meninggalkan pemuda-pemuda yang masih bersikukuh tidak akan menyerah. Tiba di luar gedung teriakan merdeka terdengar makin jelas. Komandan kenpetai berdiri tegak. Ia menyapukan pandangannya ke arah ratusan orang yang mengelilingi Markas Pemuda. Pasukannya yang semula mengepung pemuda kini malah dikepung warga. Ia tersenyum kecut ketika melihat wajah-wajah marah yang ditunjukkan oleh orang-orang itu.
           Rakyat Tegal memperhatikan komandan kenpetai yang terkenal galak itu.Mereka bersiap menyerbu meskipun harus menghadapi senapan mesin Jepang. Namun mereka kaget ketika sang komandan kenpetai mengacungkan tangannya yang terkepal ke arah orang-orang sambil memekik, “Merdeka !”
           Komandan kenpetai memberi aba-aba kepada anak buahnya agar mengikuti. “Cepat pulang. Perang kita sudah selesai. Aku tak mau mati disate bambu runcing !”
           Semua sedadu Jepang segera pulang ke markasnya sendiri setelah dengan susah-payah menerobos kerumunan massa yang hiruk-pikuk itu. Sambil bergerak menerobos massa, Jepang-Jepang itu meneriakkan pekik merdeka. Warga membalas pekikan itu dengan lebih bersemangat sebelum memberi jalan agar Jepang bisa lewat. Wajah-wajah kenpetai yang biasanya menyeramkan kini pucat.
           Mengetahui Jepang lari ketakutan, para pemuda berhamburan keluar gedung. Citrosatmoko melihat Merah Putih tergeletak karena tiangnya disabet sangkur Jepang. Ia mengambil tiang yang roboh itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi lalu melambai-lambaikannya. Bendera Merah Putih terbentang lebar oleh tiupan angin.
           “Sekali merdeka tetap merdeka !” pekik Citro lantang.

Senin, 07 November 2011

Enam Belas Jam Terendam di Kolong Jembatan

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Pada bulan April dan Mei 1946 para pejuang dari berbagai daerah berkumpul di Bandung untuk mempertahankan kota itu dari ancaman penjajah Belanda. Semua komandan datang ke markas pejuang untuk menyusun strategi. Mereka sepakat menempatkan kesatuan-kesatuan pejuang di beberapa tempat guna menyergap tentara Belanda.
           “Sebaiknya kita segera tidur untuk memulihkan tenaga. Besok kita akan menunjukkan kepada Belanda bahwa kita tidak mau dijajah lagi”, ujar seorang di antara mereka. Usulan tersebut sekaligus menutup rapat malam itu.
           Hari itu Jumat Kliwon ketika Sersan Ahmad memimpin regunya menuju ke tempat yang telah ditentukan dalam rapat tadi malam. Sampai di tempat tujuan hari masih gelap. Mereka yakin keberadaannya tidak diketahui oleh musuh.
           “Kawan-kawan, kita beristirahat dulu sambil menunggu patroli Belanda. Ingat jangan lengah !” perintah Sersan Ahmad. Sambil bersembunyi mereka menyantap bekal.
           Ketika hari mulai terang seorang prajurit yang ditugasi untuk berjaga-jaga memanjat pohon tertinggi yang ada di situ. Dari tempat tersebut ia bisa melihat sampai ke titik-titik yang jauh. Ia memperhatikan sebuah jembatan kecil tak jauh dari tempat pasukannya beristirahat. Kembali ia menebarkan pandangannya dengan sekali-sekali memicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Tak ada seorang pun yang terlihat sejauh mata memandang. Ia melihat ke arah Sersan Ahmad dan memberi kode.
           “Bagus, medan ini aman”, gumam Sersan Ahmad setelah memahami kode tersebut. Beberapa lama kemudian prajurit penjaga tadi tampak memandang serius ke suatu titik nun jauh di sana. Ia turun setelah merasa yakin dengan apa yang dilihatnya.
           “Patroli Belanda datang, Pak !” lapornya.
           Sersan Ahmad segera menindak lanjuti laporan itu. “Kawan-kawan kita bersiap pada posisi masing-masing. Laksanakan !” perintahnya.
           Anak buahnya menyebar. Mereka bersembunyi agak jauh dari jalan. Tak lama kemudian patroli Belanda datang. Dari balik pepohonan Sersan Ahmad memperhatikan musuh. Tiga buah truk penuh dengan orang bule bersenjata lengkap. Perasaan gentar menyusup ke dalam hati pejuang kita melihat musuh yang tampak gagah. Maklum ini lah perang yang pertama kali akan dihadapi oleh pejuang-pejuang asal Tegal itu. Cepat-cepat Sersan Ahmad mengusir rasa takut. Kalau tak ingin negerinya dijajah lagi jangan takut pada musuh, demikian kata batinnya.
           “Biarkan mereka lewat”, gumam Sersan Ahmad pada dirinya sendiri. Patroli itu menghilang dari pandangan. Ketegangan yang tadi dirasakan anak buahnya lenyap namun tidak lama. Dari jauh terdengar suara tembakan. Rupanya patroli Belanda tadi sedang disergap regu pejuang lain. Seperti yang telah diduga sebelumnya, bala bantuan Belanda dengan kekuatan cukup besar datang untuk menolong patroli tersebut. Regu Sersan Ahmad tetap membiarkan pasukan bantuan ini lewat di depannya.
           “Tunggu sebentar lagi sampai semua bala bantuan Belanda lewat. Kita akan menyerang mereka dari belakang”, bisik Sersan Ahmad. Regunya memang diperintahkan untuk menyergap bala bantuan Belanda dari arah belakang. Sersan Ahmad mempererat cengkeraman tangannya pada senjata saat iring-iringan tentara Belanda hampir habis. Senjata di tangannya meletus dan segera disusul dengan tembakan-tembakan dari anak-anak buahnya.
           Regu bantuan Belanda panik. Mereka tidak mengira akan disergap sebelum sempat menolong patroli Belanda di depannya. Mereka tidak bisa mundur kembali ke markas dan akhirnya dengan terburu-buru melanjutkan perjalanan. Bala bantuan musuh ini bermaksud bergabung dengan patroli Belanda yang ada di depan sana.
           “Jangan dikejar !” teriak Sersan Ahmad. “Biarkan mereka dihajar kawan-kawan kita yang ada di sana. Bila Belanda mundur ke sini, kita serang lagi.”
           "Ayo, kita pindah posisi !” perintah Sersan Ahmad. Ia yakin rombongan tentara Belanda yang ditembakinya tadi akan mengingat lokasi serangan tersebut. Pasukan Sersan Ahmad mencari lokasi persembunyian baru untuk mengecoh Belanda. Belum lama tiba di lokasi baru ia mendengar suara gemuruh di kejauhan. Sersan Ahmad memanjat pohon untuk melihat sumber suara gemuruh itu. Apa yang terlihat membuatnya terkejut. Kendaraaan perang tentara Belanda dalam jumlah besar berdatangan ke arah mereka !
           Dari tempat tersembunyi Sersan Ahmad mengamati keadaan sekeliling. “Kita terkepung. Tentara Belanda ada di mana-mana. Semoga mereka belum mengetahui keberadaan kita”, ujar Sersan Ahmad. “Kalau menyerang, kita bisa menewaskan beberapa orang musuh. Tapi dengan begitu aku yakin kita semua bisa mati atau tertangkap.”
           Sementara itu di garis depan terjadi pertempuran sengit. Belanda yang semula terdesak sekarang berhasil memukul balik pejuang kita berkat datangnya bala bantuan. Pejuang-pejuang kita terpaksa mundur tergesa-gesa dan tidak sempat memberitahukan perkembangan ini kepada regu Sersan Ahmad.
           Kegagalan rencana serangan pejuang disebabkan mereka tidak tahu seberapa besar kekuatan tentara Belanda. Mereka tidak mengira jumlah tentara Belanda di Bandung sangat banyak. Ya, intelijen pejuang memang sangat lemah. Bandingkan dengan intelijen Belanda yang sudah maju. Pejuang Indonesia tidak mengetahui secara tepat kekuatan musuh, Sebaliknya, Belanda tahu banyak kondisi pejuang. Bahkan Belanda lebih tahu jumlah dan merk senjata pejuang daripada pejuang Indonesia sendiri.
           Regu Sersan Ahmad terkepung tetapi untungnya Belanda belum mengetahui keberadaan mereka. Sersan Ahmad mencari-cari tempat persembunyian. Di sekitarnya banyak pepohonan dan semak lebat tapi kemungkinan besar Belanda akan mencurigai tempat-tempat seperti itu. Sersan Ahmad melihat jembatan kecil tak jauh dari mereka. “Cepat masuk ke kolong jembatan itu, tapi hati-hati jangan sampai gerakan kita menarik perhatian Belanda !” perintahnya.
           Satu per satu pejuang kita membungkukkan punggung agar bisa masuk ke bawah jembatan. Langkah kaki mereka menyebabkan lumpur teraduk sehingga air kali yang kotor itu menjadi menjadi makin keruh. Kolong jembatan kecil itu bisa memuat dua belas pejuang yang duduk berhadap-hadapan. Hanya kepala yang muncul di permukaan air. Kaki mereka terbenam ke dalam lumpur. Senjata mereka diangkat tinggi-tinggi agar tidak terkena air.
           “Kalau saja Belanda melihat ke bawah jembatan, habislah kita”, gumam salah seorang pejuang. Semak-semak yang tumbuh di kedua ujung kolong jembatan menutupi mereka namun ada bagian mulut kolong yang terbuka.
           “Sebarkan semak-semak agar menutupi semua mulut kolong”, perintah Sersan Ahmad. “Hati-hati, jangan sampai mengundang kecurigaan musuh”.
           Anak buahnya mencabuti rumpun semak dan menempatkannya di bagian mulut kolong yang terbuka. Agar tidak hanyut, ia membelit-belitkan semak tersebut pada semak lain yang tumbuh kokoh. Kini mereka tersembunyi di balik tumbuhan air.
           Tak lama kemudian tentara Belanda tiba di dekat jembatan. Sersan Ahmad mendengar suara deru tank yang merayap di atas kepala mereka. Derap langkah kaki tentara Belanda tertangkap jelas oleh pendengaran anak buahnya.
           “Ah !” terdengar pekik tertahan. Seorang prajurit tiba-tiba membekap mulutnya sendiri. Ia khawatir suaranya itu terdengar keluar jembatan. Kawan-kawannya memandang prajurit itu dengan heran. Seolah mengerti arti pandangan heran kawan-kawannya, prajurit itu berujar lirih “Ada yang merayapi tubuhku. Sepertinya ular !”
           “Sst..!” Sersan Ahmad memberi tanda dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Isyarat beliau membuat wajah semua anak buahnya menjadi tegang. Bagaimana bila Belanda mendengar suara-suara mencurigakan dari bawah jembatan ?
           Tindakan pejuang-pejuang Indonesia mencabuti tumbuhan air di bawah jembatan rupanya mengusik hewan-hewan penghuninya. Seekor ular merayap di tubuh pejuang. Rasa geli dan takut bercampur menjadi satu. Hewan berbisa itu belum pergi ketika muncul beberapa ekor ular lainnya. Untungnya binatang-binatang itu tidak menggigit dan pergi entah ke mana. Sersan Ahmad dan anak buahnya menarik nafas lega. Pada saat itulah tercium bau tak sedap yang semakin menyengat.
           Semak-semak yang digunakan untuk menutup mulut kolong menyebabkan sampah-sampah kali tertahan. Di antara sampah itu yang paling banyak adalah kotoran manusia. Namun ada bau yang jauh lebih busuk lagi.
           “Bau apa ini ?” batin seorang pejuang. Ia memperhatikan sampah yang menumpuk di mulut kolong. Ia melihat ada bangkai tikus besar. Tampaknya sudah lama mati karena menggembung besar sekali. Ratusan belatung merayap-rayap di atas bangkai itu. Tak bisa dilukiskan betapa busuknya udara yang terpaksa dihirup oleh pejuang-pejuang naas itu.
           Sementara itu di atas dan di sekitar jembatan terjadi kesibukan. Setelah melewati jembatan, tentara Berlanda melakukan operasi pembersihan untuk mencari pejuang yang bersembunyi. “Periksa semua tempat !” perintah komandan Belanda, “termasuk kolong jembatan”.
           Seorang tentara Belanda melihat banyak kotoran di mulut kolong, lalu ia pergi ke ujung kolong lainnya yang lebih bersih dan segera terjun ke kali. Sersan Ahmad berpikir cepat untuk mengatasi kondisi genting itu. “Semua kotoran di mulut kolong itu masukkan kemari, termasuk bangkai tikus !”
           Detik-detik berikutnya menjadi pengalaman yang menyiksa. Kotoran manusia dan bangkai perlahan-lahan mengepung mereka. Belatung-belatung berhamburan dan terlepas dari bangkai tikus ketika bangkai itu masuk ke kolong jembatan. Banyak di antara belatung itu hinggap di tubuh pejuang-pejuang kita. Sersan Ahmad dan anak buahnya sibuk menyingkirkan belatung-belatung itu yang merayapi tubuh mereka. Bau busuk meneror penciuman. Satu tangan mengangkat senjata agar tak terkena air, tangan lainnya memijit hidung. Wajah mereka merah karena menahan nafas. Sersan Ahmad, yang tidak sanggup lebih lama menahan nafas, melonggarkan pijitan pada hidungnya. Ia hanya sedikit menghirup udara namun bau busuknya hampir tak tertahankan. Kalau saja tidak takut tertangkap musuh, ingin rasanya ia muntah.
           Tentara Belanda yang ditugasi memeriksa jembatan sudah sampai di mulut kolong. Dengan ujung senjata ia menyibakkan tumbuhan yang menutupi kolong jembatan. Mendadak bau busuk menyerbu hidungnya bersamaan dengan keluarnya gerombolan kotoran manusia. Bangkai tikus gembung dan penuh belatung meluncur cepat ke arahnya. Dengan tergesa-gesa ia meloncat ke darat. Perutnya mual.
           “Tak ada apa-apa di bawah kolong jembatan, kecuali kotoran manusia dan bangkai. Busuk sekali !” lapor Belanda itu kepada komandannya. Tentara Belanda ini memegangi perutnya lalu muntah. Komandannya pergi jauh dari tempat memuakkan itu. Sialnya tentara Belanda tadi memuntahkan isi perutnya di sisi jembatan yang arus airnya masuk ke kolong. Akibatnya, pejuang-pejuang kita terendam di air kotor bercampur muntahan. Bau asam khas muntahan tercium oleh hidung Sersan Ahmad dan anak buahnya. Mereka menahan diri sekuat tenaga agar tidak terangsang oleh bau muntahan itu.
           Dari bawah kolong jembatan seorang prajurit mengintip keluar. Tentara Belanda masih sibuk menyisir. Tampaknya mereka mencari pejuang yang bersembunyi. Wajah prajurit yang mengintip tampak tegang ketika melihat tentara-tentara Belanda mengobrak-abrik semak belukar yang sebelumnya menjadi tempat persembunyian Sersan Ahmad dan kawan-kawan. Untung kita sudah pindah dari tempat itu, ujar prajurit tersebut di dalam hati.
           Tentara Belanda tidak menemukan seorang pejuang pun di semak-semak. Padahal mereka mendapat laporan bahwa ada sekelompok pejuang yang menyerang bala bantuan tentara Belanda di tempat itu. Seorang di antara mereka, yang tampaknya komandan regu, berbicara melalui alat yang mirip telepon. Ia lalu berseru kepada anak buahnya. “Hentikan pencarian ! Pejuang-pejuang itu sudah mampus semuanya.”
           Kelak Sersan Ahmad akan tahu siapa yang dimaksud dengan pejuang-pejuang yang telah mampus semuanya itu. Ternyata satu regu pejuang asal Tasikmalaya kepergok tentara Belanda dan semuanya mati dibantai. Belanda mengira bahwa regu pejuang tersebut adalah regu Sersan Ahmad yang menyerang bala bantuan tentara Belanda. Pada satu sisi Sersan Ahmad bersedih atas gugurnya kawan-kawan pejuang dari Tasikmalaya itu. Pada sisi lain ia berterima kasih karena pahlawan-pahlawan Tasikmalaya itu menyelamatkan regunya walaupun secara tak terduga.
           Untuk sementara Sersan Ahmad dan kawan-kawannya selamat, namun mereka masih harus mendekam di kolong jembatan. Sebagian besar tentara Belanda memang sudah meninggalkan jembatan, namun satu regu ditinggalkan untuk menjaga jembatan tersebut. Regu Sersan Ahmad tidak bisa melakukan apa pun selain mendekam di bawah kolong jembatan. Berjam-jam mereka berendam dalam air kali yang kotor dan bau dengan menahan rasa haus, lapar dan kedinginan. Pada malam hari sorot lampu senter Belanda beberapa kali di arahkan ke kolong jembatan. Sersan Ahmad memerintahkan anak buahnya untuk merunduk.
           Dinginnya udara merasuk sampai ke sumsum tulang. Rasa dingin ini makin hebat bagi orang yang sudah berjam-jam ada di dalam air.. Enam belas jam sudah mereka terendam di bawah kolong jembatan. Pada tengah malam salah seorang pejuang memeriksa keadaan sekeliling.
           “Kebanyakan tentara Belanda sedang tidur,” lapor pejuang itu. “Hanya satu orang yang berjaga”.
           “Baiklah”, jawab Sersan Ahmad. “Kita keluar dari kolong satu per satu !”.
           Sambil menggigil mereka merangkak keluar. Kulit mereka mengerut karena terlalu lama terendam. Untungnya mereka tiba di markas pejuang dengan selamat walaupun dengan kondisi yang sangat payah. Sungguh berat mempertahankan kemerdekaan negeri ini.

Selasa, 18 Oktober 2011

Tekad Baja Mengusir Penjajah

Pengantar :
           Garis besar peristiwa dalam cerpen ini adalah nyata, sedang nama tokohnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan.


           Di sebuah hari di bulan April 1946 sepucuk surat tiba di markas pejuang Tasikmalaya, Jawa Barat. Satu regu pasukan anti-tank diminta untuk dikirim ke Bandung Utara, demikian isi surat itu. Hari itu juga sebuah pengumuman singkat tertempel di dinding markas tersebut.
           “Pejuang yang bersedia dikirim ke Bandung harap menghubungi komandan markas, Letnan Encep”, ucap Ujang menirukan pengumuman itu. Tanpa membuang waktu ia mendaftarkan diri. Ternyata sudah banyak temannya yang terdaftar.
           Letnan Encep mengambil daftar nama pemuda tersebut. “Kurasa pendaftaran ini sudah bisa ditutup”, ujarnya setelah menghitung jumlah pendaftar. “Besok pemuda yang terdaftar akan diseleksi.”
           Ujang tidak menunggu esok. Hari itu juga ia melatih fisiknya. Puluhan kali ia mengitari lapangan di depan markas pejuang. Ia sengaja melakukannya agar dilihat oleh Letnan Encep. Di depan komandan markasnya itu ia lebih sungguh-sungguh berlatih.
           Ujang berharap dirinya terpilih. Ia mengikuti semua tahap seleksi dengan sebaik-baiknya. Ia memang memenuhi semua syarat untuk lolos seleksi, demikian pula dengan hampir semua peserta lainnya.
           Saat-saat menunggu pengumuman hasil seleksi merupakan masa yang menyiksa. Ujang lebih rajin berdoa. Ya Tuhanku, ijinkanlah aku berjuang membela negeriku, doanya.
           Ujang sekarang sering bersilaturahmi ke rumah komandan markasnya. Tak lupa ia membawa buah-buahan hasil kebunnya. “Terima kasih, Jang. Tetapi bila tujuanmu menyuap aku , jangan harap maksudmu tercapai”, komentar Letnan Encep.
           Ucapan Letnan Encep itu terbukti kemudian. Nama Ujang tidak tercantum dalam daftar pemuda yang lolos seleksi. Rasa kecewa mendorongnya untuk menghadap komandan markas. “Pak, apa kekurangan saya sehingga tidak terpilih ?”
           “Tidak ada. Kamu sama hebatnya dengan kawan-kawanmu yang terpilih. Tetapi markas membutuhkanmu di sini. Biarlah kawan-kawanmu yang menghadapi Belanda di Bandung sana”, jawab Letnan Encep.
           “Saya tidak mau berdiam diri di sini sementara kawan-kawanku mempertaruhkan nyawanya di medan perang”.
           Letnan Encep termenung. Setelah lama berpikir ia mengajukan saran. “Begini, Jang. Coba kamu bujuk salah satu temanmu yang terpilih. Siapa tahu ada di antara mereka yang mau digantikan olehmu.”
           “Siap, Pak !” serunya. Tanpa kenal lelah ia membujuk kawan-kawannya. Ujang mendekati Hari, seorang kawannya yang lolos seleksi. “Hari, ibumu sudah tua. Sebaiknya kamu di sini saja sambil merawat ibumu”.
           “Justru ibuku yang mendorongku untuk mengusir Belanda,” jawab Hari.
           Gagal membujuk Hari, Ujang merayu Ujang. “Jang, kudengar kamu sudah bertunangan. Sebaiknya kamu tidak usah berangkat ke Bandung, biar aku saja yang menggantikanmu”, bujuk Ujang.
           Ujang tersenyum mendengar rayuan Ujang. “Tunanganku tidak suka orang yang pengecut. Ia menginginkan suami yang berani, termasuk berani membela negerinya”, jawab Ujang kalem.
           Tak seorang pun di antara pemuda-pemuda yang lolos seleksi mau digantikan oleh Ujang. Mereka memiliki semangat juang yang berkobar-kobar sama seperti dirinya.
           Ujang tidak putus asa. Ia menemui kembali komandan markas. Para pemimpin markas melihat tekad baja pemuda itu untuk berjuang. Mereka akhirnya mengijinkan Ujang untuk berangkat ke Bandung.
           “Jang”, ujar Letnan Encep, ”Karena kamu sangat ingin berjuang , meski tidak lolos seleksi, terpaksa kami mengabulkan keinginanmu. Namun karena kondisi keuangan markas sedang seret kami hanya bisa membiayai kawan-kawannmu yang lolos seleksi, sedang untukmu sendiri kami tidak mempunyai dana. Jadi semua biaya harus ditangung kamu sendiri.”
           “Tidak masalah, Pak. Saya siap mengorbankan nyawa maupun harta untuk kemerdekaan”, jawab Ujang penuh semangat.
           Ujang segera pulang ke rumah untuk mengambil sepeda kesayangannya. Dengan sepeda itu ia menuju rumah Babah Lim, orang kaya di desanya. “Bah, aku mau menjual sepeda ini”, ujar Ujang.
           “Mengapa dijual, Jang ?”
           “Aku butuh uang untuk biaya pergi ke Bandung”, jawab Ujang. Ia menceritakan keinginannya untuk ikut mengusir Belanda dari Bandung. Dikatakannya pula bahwa semua biaya harus ditanggung sendiri. Mengetahui hal ini, Babah Lim membayar sepeda Ujang dengan harga tinggi. “Terima kasih, Bah !” ucap Ujang.
           Sebelum berangkat ke Bandung, Ujang dan kawan-kawannya menjalani latihan perang. Mitraliur 12,7 yang merupakan senjata andalan regu anti-tank ini diuji coba. Dengan senjata itu Letnan Encep bisa merobohkan sekelompok batang pisang - tiruan tentara Belanda – hanya dengan sekali gerakan tangan. Sorak-sorai bergemuruh mengiringi keberhasilan mereka.
           “Kita harus rajin merawat mitraliur ini agar tidak macet !” ujar Letnan Encep di depan semua anak buahnya. “Bila tidak digunakan, bersihkan kotoran dan jangan lupa diminyaki.”
           Pada bulan Mei 1946 rombongan pejuang Tasikmalaya tiba di Bandung Utara. Di kota ini sudah berkumpul pejuang-pejuang dari berbagai daerah, bahkan ada regu pejuang yang berasal dari luar Jawa Barat. Mereka bertekad mempertahankan Bandung dari ancaman penjajah Belanda.
           Pada hari Jumat Kliwon di bulan itu juga Belanda menyerang Bandung Utara. Pasukan Indonesia menyusun strategi menghadapi Belanda. Bersama beberapa regu pejuang dari daerah lain, Letnan Encep dan anak buahnya ditugaskan menyergap patroli Belanda.
           Penyergapan terhadap patroli Belanda berlangsung cepat. Pasukan Indonesia berhasil memaksa musuh mundur. Di luar dugaan secara mendadak bala bantuan Belanda dalam jumlah besar berdatangan seperti air bah. Belanda mengerahkan tentara yang sudah terlatih dan persenjataan yang canggih. Tentara penjajah itu tidak takut kehabisan peluru. Mereka menghambur-hamburkan peluru ke segala arah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian pejuang.
           Serangan besar-besaran yang dilancarkan Belanda tersebut membuat pertahanan pejuang kita berantakan. Pasukan Indonesia mundur tergesa-gesa. Komunikasi antar regu pejuang terputus. Akibatnya, satu regu pejuang tidak tahu bahwa mereka telah terkepung Belanda. Akibat yang lebih parah lagi harus ditanggung oleh regu Tasikmalaya karena tank-tank Belanda tiba-tiba sudah muncul di depan mereka.
           Dengan terburu-buru Letnan Encep menyiapkan senjata mitraliur 12,7. Ia tidak menyangka musuh akan muncul secepat itu. Jarak tank dengan tempat persembunyian pejuang tinggal 50 meter, artinya sudah masuk jarak tembak. Letnan Encep menembakkan senjata mitraliurnya. “Gawat, macet !” gumam Letnan Encep. Kedua tangannya sibuk mengotak-atik senjata itu. “Masih macet”, ujarnya panik.
           “Senjata ini tak bisa digunakan”, ujar Letnan Encep pada akhirnya. “Posisi kita telah diketahui Belanda. Semuanya mundur, biar aku melindungi kalian !” perintah Letnan Encep. Pejuang-pejuang kita mundur kecuali Ujang.
           “Pak, Bapak ikut mundur saja. Biar aku yang melindungi pasukan !” pintanya. “Cepat, Pak !”
           Ujang meloncat dari tempat persembunyiannya sambil menembaki tentara Belanda. Ia berlari menjauhi kawan-kawannya. Ujang bermaksud mengalihkan perhatian musuh dari kawan-kawannya yang sedang mundur. Peluru-peluru Belanda berhamburan ke arahnya. Ujang tidak memperdulikan luka-luka di tubuhnya akibat diterjang peluru Belanda. Ia terus menembaki musuh sampai akhirnya gugur. Semoga kawan-kawanku selamat, gumamnya sebelum melepas nyawa.
           Sayang, harapan Ujang tidak tercapai. Jarak Belanda yang terlalu dekat dengan pejuang menyebabkan gerakan mundur itu diketahui. Letnan Encep dan anak buahnya bertahan mati-matian. Peluru-peluru mereka berhamburan ke arah tentara penjajah. Sambil bersembunyi di balik tank, tentara Belanda menembakkan pelurunya secara membabi-buta. Dalam waktu singkat Belanda mengakhiri perjuangan pahlawan-pahlawan kita. Letnan Encep dan sepuluh anak buahnya menjadi korban tentara Berlanda dalam peristiwa ini.
           Sebelum gugur Letnan Encep membuang mitraliur milik pasukannya ke tengah semak-semak. Ia berharap suatu saat senjata itu bisa ditemukan oleh pejuang lain dan diperbaiki. Ia berharap senjata itu bisa digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sayang Belanda mengetahui maksudnya. Mereka mencari mitraliur tersebut dan menyitanya.
           Bagaimana pula dengan nasib satu regu pejuang yang terkepung tentara Belanda ? Penderitaan mereka selama terkepung musuh bisa dibaca dalam cerpen berjudul “Enam Belas Jam Terendam di Kolong Jembatan”.

Rabu, 07 September 2011

Hari Bahagia Bagi Bapak Wajar

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.

           Bapak Wajar sudah 40 tahun hidup di alam penjajahan. Baginya kemerdekaan adalah impian yang mustahil. Namun kemustahilan itu menjadi kenyataan ketika walikota Tegal, kota tempatnya tinggal, mengumumkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
           Kesediaan walikota untuk mengumumkan berita proklamasi merupakan hasil perjuangan panjang para pemuda. Sebelumnya walikota Tegal bersikukuh tidak akan mengumumkan berita proklamasi tanpa ada ijin dari penguasa Jepang. Setelah satu bulan diyakinkan dengan berbagai cara, termasuk caci-maki dan penculikan, akhirnya walikota mengumumkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan pengumuman resmi ini maka semua orang yakin bahwa Indonesia telah benar-benar merdeka. Maklum, sebelumnya penguasa Jepang di Tegal menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta adalah kabar bohong belaka.
           Berita proklamasi menyebar dengan cepat. Warga Tegal merayakannya dengan mengibarkan bendera Merah Putih yang dibuat seadanya. Daun jati tiba-tiba menjadi barang yang paling dicari. Air rendaman daun jati yang dihancurkan digunakan untuk memberi warna merah pada kain. Kain merah ini kemudian dijahit dengan kain putih. Bendera yang dibuat dengan cara ini tidak bisa bertahan lama. Bendera berwarna merah putih ini lama-lama luntur dan pudar hingga berubah menjadi bendera putih putih, sebuah tanda menyerah. Kelak menjelang didudukinya kota ini oleh tentara Belanda melalui agresi militer, warga Tegal buru-buru membuang bendera yang warnanya telah berubah menjadi putih putih ini karena tidak mau dikira menyerah.
           Pak Wajar sebenarnya sudah siap berjualan soto, pekerjaannya sehari-hari. Namun kegembiraannya setelah mendengar berita proklamasi sangat besar, lebih besar daripada keinginannya mencari nafkah.
           “Kalau tidak ingin berjualan, sotonya mau diapakan, Pak ?” tanya istrinya.
           “Sementara simpan saja dulu, Bu !” jawab Pak Wajar. “Saya akan membuat bendera. Apakah kita memiliki kain merah dan kain putih, Bu ?”
           Setelah mencari-cari mereka menemukan selendang lusuh berwarna merah dan kain sobek berwarna putih. Pak Wajar memotong kedua kain itu dan menjahitnya hingga terbentuk bendera merah putih.
           “Merdeka !” teriak Pak Wajar sambil memperlihatkan bendera buatannya itu kepada sang istri. Suami istri itu tersenyum gembira.
           “Akhirnya kita merdeka."
           “Saya dengar akan ada pawai merah putih. Saya mau ikut, Bu !” ujar Pak Wajar.
           Istrinya mengangguk. “Aku ikut nonton saja.”
           Warga Tegal menyambut kemerdekaan negaranya dengan berpawai. Hampir semua orang keluar dari rumah. Mereka menuju ke jalan-jalan yang akan dilalui peserta pawai. Mereka meluapkan kegembiraan dengan meneriakkan pekik merdeka. Kemana pun mata memandang tampaklah dua warna yang mencolok : merah dan putih.
           Pawai kemerdekaan yang pertama dalam sejarah kota itu berlangsung meriah meskipun pakaian peserta seadanya. Mereka menabuh kaleng bekas, kentongan dan bedug sehingga pawai lebih meriah. Orang-orang yang semula menonton ikut bergabung menjadi peserta sehingga arak-arakan semakin panjang. Lagu-lagu perjuangan dikumandangkan. Yang menjadi favorit adalah lagu ciptaan Ismail Marzuki, Gagah Perwira. Lagu ini dinyanyikan paling keras oleh orang-orang bekas anggota PETA. Pak Wajar dan banyak orang lainnya menyanyikan lagu “Indonesia Tanah Pusaka”. Lagu ini ciptaan Ismail Marzuki juga dan sempat dilarang Jepang.
           Banyak peserta pawai yang membawa senjata tradisional seperti bambu runcing, tombak dan golok. Mereka berencana mengepung markas Jepang sepulang dari pawai. Pawai keliling kota untuk menyambut kemerdekaan ini dipimpin oleh Pamuji, adik Yusuf. Yusuf inilah pemuda yang mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali di kota Tegal.
           Walaupun pawai sudah selesai namun rakyat tidak mau pulang. Mereka ingat pada kekejaman Jepang yang sampai saat itu masih bercokol di kota Tegal. Ketika ribuan orang Indonesai berpawai, Jepang ketakutan. Semua orang Jepang, baik militer maupun sipil, berkumpul di markas kenpetai (polisi militer) dengan senjata siap di tangan seolah hendak perang.
           Ketakutan Jepang menjadi kenyataan. Hari itu, tanggal 20 September 1945, orang-orang yang baru pulang dari pawai mengepung markas Jepang. Teriakan-teriakan anti Jepang menggema di angkasa. Mereka mengacung-acungkan golok, parang, tombak dan bambu runcing.
           Rakyat terus merangsek namun belum bisa masuk ke markas karena dihadang senapan mesin. Sedangkan di pihak rakyat tidak ada yang memiliki senjata api. Untuk mengusir kerumunan massa, Jepang berkali-kali melemparkan bom yang berisi gas air mata. Rakyat bubar dengan mata perih namun segera kembali dengan kemarahan yang lebih besar. Mereka memutuskan saluran air dan telepon serta memblokir semua jalan sekeliling markas dengan gerobak sampah.
           Lemparan bom gas air mata dibalas rakyat. Batu-batu beterbangan ke arah markas Jepang diikuti kepanikan penghuninya yang berusaha menghindarinya. Tak ayal serangan batu itu merusak beberapa bagian bangunan markas. Tak sedikit pula serdadu Jepang yang merasakan sakitnya terkena lemparan batu.
           Hari semakin sore namun pengepungan itu belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Rakyat mulai merasa haus dan lapar. Pada saat itu Pak Wajar datang kembali dengan gerobak sotonya.
           “Soto, siapa mau soto !” teriak Pak Wajar. Orang-orang hanya menelan air liur mencium aroma soto yang sedap. Mereka tidak memiliki uang. “Jangan khawatir, ini gratis !” seru Pak Wajar lagi. “Aku hanya bisa menyumbangkan makanan ini untuk mendukung perjuangan kita”.
           Dalam waktu singkat soto Pak Wajar habis, gerobaknya kemudian ikut dipakai untuk memblokir jalan. “Terima kasih Pak Wajar”, seru orang yang baru saja melahap soto. Pak Wajar tidak ada. “Di mana dia ?”
           “Ia maju ke garis depan dan melempari markas dengan batu”, jawab seseorang.
           Terdengar suara rentetan senapan mesin yang memekakkan telinga. Jepang mengarahkannya ke udara. Tentara Jepang yang memegang senapan mesin itu berseru, “Jangan masuk ke markas. Siapa yang mencoba masuk akan saya tembak !”
           Ancaman Jepang itu dijawab dengan teriakan warga, “Usir Jepang !”
           Orang Jepang yang tadi mengancam menjadi marah. Sekilas ia melihat seseorang melemparkan batu ke arahnya. Jepang itu berusaha menghindar namun kurang cepat. Batu menghantam mukanya dengan telak. Pada saat yang bersamaan puluhan orang menyerbu masuk. Ia meraih senapan mesin dan menembakkannya. Untung sebuah batu mengenai senapan mesin itu sehingga arah tembakannya melenceng ke atas. Bagaimanapun, tembakan senapan mesin memaksa orang-orang Tegal mundur dan mencari tempat yang aman.
           Jepang semakin kewalahan menghadapi orang-orang yang berusaha menerobos pintu markas. Jepang menakut- nakuti orang dengan senapan mesin, tetapi hasil yang diperoleh malah sebaliknya. Rasa takut hilang dan digantikan keberanian, beberapa orang bahkan menjadi nekat.
           Tanpa takut beberapa orang mendekati markas Jepang dari arah samping. Salah seorang di antaranya, yang merupakan bekas anggota keibodan laut, memasukkan karung yang telah disiram minyak ke dalam lubang angin. Karung yang terbakar menciptakan asap pekat. Melalui lubang angin asap tebal tersebut memenuhi markas dan menyesakkan paru-paru tentara Jepang.
           Suara senapan mesin terdengar lagi. Massa menghindari peluru dengan berlindung di balik batang pohon atau tembok. Sebagian besar segera tiarap. Peluru-peluru senapan mesin itu memakan korban jiwa satu orang. Dada orang itu tertembus peluru.
           Berondongan senapan mesin dan jatuhnya korban jiwa tidak membuat rakyat menjadi takut, bahkan makin banyak orang yang berdatangan. Kenekatan mereka pun memuncak. Seorang di antaranya menaiki pagar belakang markas. Sayang, aksinya itu diketahui Jepang sehingga ia menjadi sasaran empuk peluru.
           Jepang terus menakut-nakuti rakyat dengan senapan mesin dan bom gas air mata. Semakin keras upaya Jepang mengusir pengepungnya, semakin nekat pula rakyat Tegal. Padahal dulu markas Jepang ini sangat ditakuti orang. Kini semua keangkeran itu sirna tanpa bekas. Jatuhnya korban jiwa dua orang akibat peluru Jepang membuat rakyat Tegal bertambah marah.
           Malam pun tiba. Rakyat bertekad tidak akan pulang sebelum Jepang menyerah. Nyala obor terlihat di mana-mana. Dari jauh nyala ribuan obor itu mirip cahaya kunang-kunang di tengah kegelapan malam. Sungguh sebuah pemandangan yang menakjubkan. Namun Jepang melihatnya sebagai ancaman yang menakutkan. Benar juga, beberapa obor melayang ke arah bangunan markas.
           Beberapa bagian markas terbakar. Kesibukan tentara Jepang bertambah satu lagi : memadamkan api. Jepang yang sudah panik kini bertambah cemas. Mereka tidak bisa mengharapkan bala bantuan dari luar. Saluran telepon telah diputus rakyat.
           Setelah terdesak terus-menerus akhirnya pada larut malam Jepang mengibarkan bendera putih. Jepang menyerah dan senjatanya dilucuti. Malam itu Tegal benar-benar merdeka. Tegal berhasil mengusir penjajah keluar dari kota itu. Bagaimanapun beringasnya orang-orang Tegal saat itu, namun mereka tidak melukai sedikit pun tentara Jepang yang sudah menyerah. Semua orang Jepang ini kemudian diangkut dengan kereta api ke Purwokerto.
           Pak Wajar sendiri tidak bisa menyaksikan penyerahan tentara Jepang itu. Beliaulah orang yang dadanya tertembus peluru senapan mesin.
           “Hari ini aku berbahagia”, katanya sebelum menghembuskan nafas terakhir. “Aku tidak hanya menyumbangkan soto tetapi juga bisa mempersembahkan jiwa dan ragaku untuk kemerdekaan negeri ini”, ujarnya sambil tersenyum. Senyum itu terus menghiasi bibirnya hingga ajal tiba. Ribuan orang menghadiri pemakamannya sebagai tanda penghormatan terhadap seorang pahlawan yang sekarang terlupakan.

Minggu, 14 Agustus 2011

Merah Putih Berkibar di Tegal

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Proklamasi kemerdekaan telah dibacakan oleh Sukarno-Hatta, tetapi Tegal, sebuah wilayah di Jawa Tengah, masih dikuasai Jepang. Para pemuda ingin menyambut proklamasi dengan mengibarkan Merah Putih, apapun resikonya. Mereka sudah membujuk walikota Tegal untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat luas. Namun walikota menolak karena tidak diijinkan penguasa Jepang.
           “Kita tidak bisa mengharapkan walikota. Ia takut pada Jepang,” ujar seorang pemuda.
           “Kita harus bertindak sendiri. Kita turunkan bendera Jepang dan kibarkan Merah Putih. Kita beritahu semua orang bahwa Indonesia sudah merdeka !” usul pemuda yang lain.
           Wajah mereka gembira mendengar kata merdeka, sebuah kata yang hilang dari kehidupan rakyat selama lebih dari 350 tahun. Tak mengherankan jika mereka sangat bersemangat menyambut kemerdekaan negerinya, meskipun senjata-senjata Jepang mengancamnya. Masalahnya, sebagian besar rakyat Indonesia belum mengetahui berita proklamasi kemerdekaan dan sebagian lagi menganggapnya kabar bohong belaka. Hal ini disebabkan penguasa Jepang menutup-nutupi fakta bahwa negeri kita telah merdeka.
           Hari itu, 26 Agustus 1945, sebelas pemuda dipimpin Mohamad Yusuf mendatangi kantor walikota Tegal untuk meminta bendera.
           “Kami tidak meminta Bapak untuk melawan Jepang. Kami hanya minta bendera Merah Putih. Kami akan mengibarkannya, dengan atau tanpa bantuan Bapak”, ujar Yusuf.
           “Saya mendukung tindakan kalian, tapi bersabarlah. Tunggu sampai ada ijin dari Jepang !” jawab walikota.
           “Jepang tidak akan mengijinkan. Mereka kalah perang dan sedang menunggu kedatangan tentara Sekutu. Saat itu negara kita akan diserahkan kepada Sekutu”, ujar Yusuf.
           “Bila kalian nekat, jangan salahkan saya bila Jepang marah dan menembak kalian. Ingatlah keselamatan kalian !” bujuk walikota.
           “Terima kasih atas perhatian Bapak. Tapi keselamatan negara kita jauh lebih penting dari pada keselamatan kami”, jawab Yusuf.
           “Kalau kita terlambat bertindak, bisa-bisa kita dijajah lagi”, tambah pemuda lain.
           Walikota menghela nafas. Setelah melalui perdebatan sengit akhirnya ia terpaksa menyetujui keinginan para pemuda itu. “Baiklah, saya akan beri kalian bendera. Tapi saya tidak bertanggung jawab bila Jepang marah.”
           “Dasar penakut !” maki seorang pemuda kesal. Kadarisman namanya. Kelak dalam sebuah pertemuan antara walikota dengan masyarakat Tegal, Kadarisman kembali mencaci-maki walikota atas sikapnya yang penakut. Saat itu walikota sangat malu, namun ia tetap kokoh pada pendiriannya : tidak mau mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanpa ijin Jepang. Kelak walikota baru bersedia mengumumkan proklamasi setelah diculik oleh pemuda-pemuda kita dan setelah mendapat jaminan keamanan.
           Makian Kadarisman membuat wajah walikota merah. Bagaimanapun, ia akhirnya memberikan bendera Merah Putih yang langsung diterima oleh Kadarisman.
           Begitu keluar dari balai kota, tampaklah secara menyolok bendera Jepang berkibar di gedung tak jauh dari mereka. Yusuf menuding bendera Hinomaru tersebut sambil berkata, “Pertama-tama kita akan menurunkan bendera Jepang itu dan menggantinya dengan Merah Putih.”
           Ia melangkah dengan mantap menuju gedung yang merupakan rumah penjara. Tempat ini paling ditakuti orang-orang Tegal karena kekejaman yang berlangsung di dalamnya dan dipimpin oleh seorang perwira Jepang berwajah sangar. Perwira Jepang itu kaget melihat anak-anak muda pribumi masuk ke kantornya.
           “Siapa yang menyuruh kalian ?” tanyanya dengan suara menggelegar. Suaranya membuat kesan seram menjadi lebih kuat. Yusuf tidak menjawab. Ia membungkuk hormat.
           “Tuan Jepang, kami minta ijin untuk mengibarkan bendera Merah Putih,” ujar Yusuf.
           “Tidak boleh !” jawab perwira Jepang itu tegas. “Kalian tahu, hal itu dilarang.”
           “Indonesia sudah merdeka. Tidak ada yang bisa melarang orang mengibarkan benderanya sendiri,” Yusuf mengemukakan alasannya. Perwira Jepang itu terdiam. Alasan Yusuf memang tepat, tetapi Jepang itu tidak mau kehilangan wibawa.
           “Kalian dibohongi kalau percaya bahwa Indonesia sudah merdeka”, ujar perwira Jepang itu dengan suara meyakinkan. “Sesuai janji, kerajaan Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi bukan sekarang karena kalian belum siap. Tunggu beberapa minggu lagi. Sekarang pulanglah !”
           Yusuf tersenyum mendengar bujukan itu. “Bapak tidak bisa membohongi kami. Walaupun Jepang melarang keberadaan radio,namun kami berhasil menyembunyikan beberapa di antaranya. Kami telah mendengar dari radio bahwa Sukarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus yang lalu. Kami juga tahu dari berita radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.”
           “Kami ingin merayakan kemerdekaan negeri kami dengan mengibarkan bendera Merah Putih”, ujar Yusuf lagi.
           “Sudah kubilang tidak bisa ! Pergilah dan bawa pulang benderanya sebelum aku menangkap kalian semua! ” bentak perwira Jepang itu sambil mencabut pistol yang kemudian diletakkan di atas meja. Maksudnya jelas, ia ingin menakut-nakuti para pemuda.
           “Kami akan pergi setelah keinginan kami tercapai,” ujar Yusuf.
           Tiba-tiba wajah Jepang itu menjadi lebih menakutkan demi mendengar perkataan tersebut. Ia berdiri mengambil pistolnya dan menodongkannya tepat ke jidat Yusuf. Rasa takut merasuk ke dalam jiwa pemuda ini, sedangkan salah seorang temannya menyeret-nyeret lengan Yusuf agar keluar.
           “Sudah lama aku tidak menembak orang. Jaga sikapmu, jangan sampai kamu membangkitkan nafsu membunuhku !” bentak perwira Jepang itu. Keributan di ruang kantor penjara menarik perhatian serdadu-serdadu Jepang lainnya. Mereka menyerbu masuk kantor dengan senjata siap ditembakkan.
           “Baik, Pak. Kami akan pergi,” kata Yusuf setelah menilai bahwa situasinya tidak menguntungkan.
           Para pemuda kita terpaksa angkat kaki. Di lapangan penjara mereka melihat bendera Hinomaru berkibar dengan angkuh. Yusuf membayangkan alangkah gagahnya jika yang berkibar adalah Merah Putih. Jiwa patriotismenya berkobar. Demi mengibarkan Merah Putih ia mengabaikan rasa takut yang baru saja menghinggapinya di ruang kantor penjara tadi.
           “Kawan-kawan, kita tidak akan pulang membawa bendera,” ujar Yusuf sambil menghentikan langkah teman-temannya. Pemuda pemberani itu menuju tiang bendera. Dengan cepat ia menurunkan bendera Hinomaru; sebuah tindakan nekat yang mengejutkan orang-orang Jepang. Beberapa serdadu Jepang berlarian ke arah Yusuf.
           “Anjing Jawa !” teriak seorang serdadu sambil menyeret Yusuf. Pemuda ini meronta-ronta namun sebuah tendangan sepatu mendarat di perutnya. Serdadu Jepang lainnya memukulkan popor senapan ke wajah Yusuf. Darah muncrat dari mulutnya. Dua orang kawannya yang ingin menolong malah mengalami nasib yang sama. Suasana menjadi kacau oleh bentakan, pukulan dan erang kesakitan.
           Kadarisman memperhatikan orang-orang Jepang yang sedang menyiksa kawan-kawannya. Jepang tidak memperdulikan bendera Hinomaru yang tergeletak di tanah. Memanfaatkan kesempatan ini, Kadarisman berlari ke arah bendera Hinomaru dan langsung melepaskannya dari tali pengikat. Secepat kilat ia memasang Merah Putih pada tali pengerek bendera. Berdua dengan temannya, ia berusaha menaikkan bendera. Sayang, belum apa-apa seorang perwira Jepang melihat perbuatan mereka.
           “Hentikan !” teriak perwira Jepang itu sambil melepaskan tembakan ke udara. Kini moncong senjatanya diarahkan ke tubuh Kadarisman. “Bergerak sedikit lagi, kamu mati !” ancamnya.
           Kadarisman tidak bisa berkutik. Tak disangka, kawannya yang semula memegangi bendera melangkah agar bisa berdiri tepat di antara Kadarisman dan moncong senjata Jepang. “Man, naikkan saja benderanya. Biar aku menjadi tamengmu !” bisik pemuda ini.
           Keadaan menjadi gawat. Lebih gawat lagi ketika tak lama kemudian beberapa tentara Jepang mengepung pemuda-pemuda kita. Jepang-Jepang ini menodongkan senjatanya. Mereka menunggu perintah untuk menembak. Apakah hari itu akan terjadi pembantaian sebelas pemuda Tegal yang tak bersenjata sama sekali ?
           Kegaduhan di halaman penjara menarik perhatian semua orang, terutama orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai pegawai penjara. Mereka ngeri melihat nasib yang akan menimpa para pemuda, namun tidak bisa berbuat apa pun mengingat senjata-senjata Jepang yang tak kenal iba.
           Yusuf bangkit dengan wajah dan baju berlepotan noda darah. Hatinya kecut melihat kemarahan tentara Jepang yang siap mencabut nyawa dirinya dan kawan-kawannya. Dilihatnya tiang bendera sudah kosong. Bendera Hinomaru sudah turun, sedangkan Merah Putih siap dikibarkan di bawah ancaman senjata Jepang.
           Melihat Merah Putih yang siap dikibarkan membuat jiwa patriotisme Yusuf menyala-nyala, mengalahkan rasa takut mati. Ia melangkah perlahan-lahan mendekati tiang bendera. Tangannya meraih tali dan menariknya. Bendera Merah Putih yang dipegang Kadarisman terbentang akibat tarikan tali tersebut. Para pemuda berdiri tegak sambil menghormat Merah Putih. Lebih baik mati dalam kondisi menghormat bendera Merah Putih, demikian pikir mereka.
           Serentak semua tentara Jepang mengacungkan senjatanya ke arah para pemuda. Begitu mendengar aba-aba tembak, senjata-senjata itu siap meletus. Namun aba-aba tersebut tak kunjung terdengar. Sang komandan Jepang tertegun melihat keberanian anak-anak muda Indonesia. Jepang sangat menghargai sikap tak takut mati demi membela tanah air.
           Agak terburu-buru Merah Putih dinaikkan. Angin kencang membuat bendera ini berkibar dengan gagahnya. Beberapa pemuda menangis terharu. Inilah pertama kalinya mereka melihat Merah Putih berkibar.
           “Cepat kita pergi !,” bisik salah seorang pemuda. Sebelum pergi Yusuf berpesan kepada orang-orang Indonesia pegawai penjara agar menjaga bendera Merah Putih tersebut. Setibanya di luar gerbang mereka mendengar suara bergemuruh : merdeka, merdeka ! Itulah suara para tahanan yang melihat bendera Merah Putih berkibar. Tahanan lain menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
           Yusuf dan kawan-kawan melanjutkan aksinya. Di bawah ancaman senjata Jepang, mereka mengibarkan Merah Putih di gedung-gedung tertinggi seperti menara air minum di kota Tegal dan Brebes. Rakyat Indonesia di kedua kota itu gempar melihat bendera kebangsaannya berkibar. Kini mereka yakin akan kebenaran berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang selalu ditutup-tutupi oleh Jepang.

Senin, 01 Agustus 2011

Cara Menang Melawan Tank

Pengantar :
           Garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan nama tokohnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan.



           Kemerdekaan Indonesia yang dicapai dengan mengorbankan begitu banyak jiwa dan harta tidak dihargai oleh Belanda. Pada bulan Juli 1947 Belanda menyerang negeri kita dengan kekuatan besar yang dalam sejarah dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Kota demi kota jatuh ke tangan bangsa penjajah itu dan kini mereka bersiap-siap merebut kota Tegal, Jawa Tengah. Penduduk kota ini, seperti semua kota-kota lainnya, tidak mau dijajah kembali oleh bangsa mana pun. Mereka mempersiapkan diri untuk mempertahankan tanah tumpah darahnya dari serangan Belanda.
           Sore itu beberapa pemuda sedang beristirahat setelah melakukan latihan perang. Salah satu di antara mereka bersuara keras, “Menurutku senjata yang paling hebat adalah tank.”
           “Kamu salah, Kohar. Pesawat tempur lebih hebat daripada tank”, bantah seseorang.
           Kohar tak mau kalah. Ia berdalih, “Pesawat tempur bisa meledak oleh sebutir peluru yang tepat mengenai tangki bahan bakarnya. Sedangkan tank tak mempan meskipun dihujani jutaan peluru. Kamu pasti tahu itu, Tohir !”
           Tohir membalas dengan sesumbar, “Aku bisa menghancurkan tank. Aku tahu cara menang melawan tank.”
           “Caranya ?” ejek Kohar.
           “Cara ini membutuhkan sedikitnya dua orang. Orang pertama mendekati tank secara diam-diam. Orang kedua berusaha mengalihkan perhatian pengendara tank. Belanda akan menembaki orang kedua dan tidak melihat orang pertama yang tahu-tahu sudah ada di dekat tank. Orang ini kemudian memasukkan granat ke dalam tank dan …dhuarr !”
           “Jadi, orang kedua membiarkan dirinya mati konyol ditembaki Belanda ? Siapa yang mau ?” cibir Kohar.
           Adu mulut terus berlangsung. Kohar dan Tohir sering berbeda pendapat hampir dalam segala hal. Tiap hari ada saja yang mereka perdebatkan. Untunglah mereka tak pernah adu fisik gara-gara pertengkaran seperti itu.
           Kedua pejuang ini masuk dalam satu regu pasukan yang sama. Komandan pasukan pernah berpikir untuk memindahkan salah satu di antara mereka ke regu lain.
           “Saya khawatir permusuhan kalian berakibat buruk bagi kesatuan kita”, kilah komandan. “Jadi Tohir atau Kohar saya persilahkan pindah ke regu lain.”
           “Kami tidak bermusuhan, Pak”, bantah Kohar.
           “Kami hanya berbeda pendapat”, ucap Tohir mendukung pernyataan temannya. “Kami hanya berdebat.”
           “Ya, tapi kalian berdebat mirip orang mau berkelahi “ sesal komandan.
           “Tapi kami tak pernah berkelahi, Pak.”
           “Buat apa berkelahi dengan teman sendiri kalau di luar sana ada musuh yang mengancam kemerdekaan negeri kita”, jelas Tohir.
           “Bagaimanapun, sebaiknya kalian jangan ada dalam satu regu !” saran komandan.
           “Saya ingin tetap di regu ini, Pak”, tolak Kohar.
           “Rasanya sepi kalau sehari saja tidak bertemu Kohar”, tambah Tohir. Kedua pemuda itu menolak untuk dipindahkan.
           Komandan menghela nafas karena gagal membujuk mereka. Ia merenung, kadang permusuhan Kohar dan Tohir ada manfaatnya. Misalnya saja pada saat latihan perang kedua pemuda itu berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih unggul. Perilaku mereka bahkan mendorong semua anggota regu pejuang untuk lebih giat berlatih. Mereka tidak mau dikalahkan oleh Kohar maupun Tohir.
           “Baiklah. Kalian tetap satu regu, tapi harus berjanji tidak akan menimbulkan perpecahan dalam kesatuan kita !” demikian keputusan komandan regu.
           “Kami berjanji”, sahut kedua pejuang itu berbarengan.
           “Saya tidak membenci orangnya, tetapi saya tidak suka dengan sifatnya yang suka membantah,” jelas Tohir. Kata-katanya ditujukan kepada Kohar.
           “Aku tidak akan membantah kalau kamu tidak mengeluarkan pendapat yang aneh-aneh”, bela Kohar.
           “Kau bilang pendapatku aneh ? Kamu itu yang aneh !” bantah Tohir.
           Pertengkaran pun dimulai lagi. Komandan menggeleng-gelengkan kepala melihat polah kedua anak buahnya itu. Kapan kalian akan rukun, batinnya.
           Pada tanggal 26 Juli 1947, bertepatan dengan 7 Ramadhan, tentara Belanda memasuki kota Tegal. Kohar dan kawan-kawan menyusun rencana menyerang Belanda. Tampak di antara mereka adalah Tohir. Ia bernafsu ingin melaksanakan idenya meledakkan tank. Tapi siapa orang kedua yang akan mengalihkan perhatian pengendara tank ?
           Kohar mendekati Tohir. “Hir, kuperingatkan ! Buang jauh-jauh ide konyolmu itu ! Kau tak bisa meledakkan tank dengan granat.”
           Tohir nyengir. “Kamu tidak perlu campur tangan. Aku tidak memintamu untuk membantuku.”
           “Dengar, Hir ! Aku berkata begini bukan karena membencimu. Aku tak mau kau mati sia-sia. Sebelum kau berhasil mendekati tank, Belanda akan melihat kedatanganmu dan menembakimu,” ujar Kohar.
           “Itu resiko menjadi pejuang”, jawab Tohir. “Sudahlah, Har. Aku akan meminta kawan-kawan kita – bukan kamu – untuk mengalihkan perhatian pengendara tank sementara aku mendekati tank itu.”
           “Dasar keras kepala !” gerutu Kohar. “Tak ada orang yang mau menjadi pengalih perhatian. Itu sama saja menjadi sasaran peluru musuh.”
           Pejuang-pejuang yang lain sependapat dengan Kohar. “Benar, Hir ! Buang mimpimu meledakkan tank. Idemu sulit dijalankan”, komentar salah seorang di antara mereka.
           “Kita laksanakan serangan sesuai rencana. Kita serang Belanda secara mendadak, lalu jika mereka membalas kita bersembunyi.”
           “Ayo, sekarang kita bersembunyi di posisi yang sudah ditentukan !” teriak komandan regu.
           Iring-iringan tentara Belanda semakin dekat. Di pertigaan jalan di Dukuh Turi, Tegal, rombongan tentara penjajah ini dihadang oleh pejuang-pejuang Indonesia. Meskipun jumlah pejuang kita sedikit, namun Belanda merasa kewalahan. Dari tempat tersembunyi pasukan Indonesia menembaki tentara Belanda. Begitu mendengar suara letusan senjata, beberapa orang tentara Belanda buru-buru berlindung di balik tank.
           “Sial, kita tidak tahu di mana lokasi perusuh-perusuh republik !” gerutu salah seorang di antara Belanda itu. Ia melihat serumpun semak bergoyang-goyang di seberang jalan. Segera saja ia memberondong ke arah semak-semak tersebut dengan harapan mengenai orang yang bersembunyi di situ. “Rasakan peluru-peluruku !” teriaknya namun kemudian ia mengaduh kesakitan.
           Entah dari mana datangnya sebuah peluru menembus lengan tentara Belanda itu. Noda merah tampak di lengan seragam tentaranya. Tentara Belanda yang lain marah melihat temannya tertembak. Mereka menghamburkan peluru ke segala arah.
           “Keluar kalian ! “ teriak seorang Belanda. Tak ada seorang pun yang muncul. Ia mengulangi lagi seruannya. “Hai, kamu yang bosan hidup, keluar !”
           Tak ada jawaban. Ia berteriak sekali lagi dan kali ini ia mendapat jawaban. Namun bukan pejuang yang muncul melainkan sebutir peluru ! Begitu mendengar suara tembakan tentara Belanda itu segera merebahkan diri. Tetapi ia kurang cepat, sebutir peluru mengenai kepalanya. Wajah Belanda itu pucat.
           “Aduh, aku tertembak !” keluhnya. Ia merasakan kepalanya pening dan pandangannya berkunang-kunang. Oh, beginikah rasanya kalau akan mati ?
           Seorang kawannya memandanginya dengan melotot. “Jangan cengeng ! Kamu baik-baik saja. Ayo berdiri !”, bentak kawannya itu. “Peluru itu mengenai topi bajamu.”
           Wajah pucat tentara Belanda itu merah karena malu. “Dari mana datangnya asal tembakan tadi ?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian orang-orang.
           Tentara Belanda yang lain menjawab sambil menunjuk, “Kurasa dari balik pepohonan di sana !”
           Pohon yang ditunjuk kemudian menjadi sasaran peluru-peluru Belanda. Mereka menembakinya sambil mendekat ke tempat itu. Untung pejuang yang semula bersembunyi di situ sudah menyingkir.
           Kohar bersembunyi di balik pepohonan dengan senapan siap di tangan. Ia melihat Tohir sedang merayap-rayap mendekati sebuah tank. Seorang tentara Belanda tampak duduk di atas tank itu sambil menggenggam senapan mesin.
           “Dasar Tohir bodoh,” gerutu Kohar dalam hati. “Anak itu kalau dilarang malah nekat. Bila Belanda melihat Tohir tamatlah riwayatnya”.
           Kohar menembak Belanda yang duduk di atas tank tersebut agar tidak melihat kedatangan Tohir. Sambil bersembunyi Kohar merasakan hujan peluru berdesingan di dekatnya. Kohar menembak lagi dan langsung bersembunyi. Ia tidak memberi kesempatan kepada Belanda itu untuk menengok ke arah Tohir. Sayang, usahanya tidak bertahan lama. Belanda di atas tank itu tampaknya kesal oleh permainan kucing-kucingan tersebut.dan menghujani Kohar dengan ratusan peluru. Salah satu peluru Belanda bersarang di dada Kohar.
           “Mampus kau !” maki si Belanda. Pada saat itu tahu-tahu ada seseorang di dekat tanknya. Orang itu melemparkan sebuah benda yang lalu masuk kedalam tank. Dengan reflek si Belanda memberondongkan senapan mesinnya ke tubuh pejuang nekat itu. Pemuda itupun , yang tak lain adalah Tohir, menjadi korban keganasan peluru Belanda. Sedetik kemudian tank meledak bersama seluruh tentara Belanda yang ada di dalamnya.
           Melihat tank meledak, tentara Belanda mengamuk. Tank-tank yang lain menyalak. Tempat-tempat yang diduga menjadi persembunyian pejuang hancur lebur akibat tembakan tank. Kondisi perang seperti ini membahayakan pejuang Indonesia.
           Komandan pejuang segera mengambil keputusan cepat. “Mundur semua !”
           Semua pejuang mundur ke tempat aman sambil mengungsikan Kohar dan Tohir. Wajah-wajah mereka menunjukkan kesedihan atas nasib kedua temannya itu. Namun ada rasa bangga karena berhasil meledakkan tank Belanda. “Kita tidak mungkin menahan gerak maju Belanda. Tapi kita sudah puas bisa menghancurkan tank mereka”, ujar komandan pejuang.
           Pejuang-pejuang kita mengerubungi Tohir dan Kohar. Tak ada harapan hidup pada keduanya, namun bibir mereka tersenyum. Tangan Kohar mencari-cari tangan Tohir. Kohar menggenggam tangan sahabatnya itu erat-erat. Mungkin ia bermaksud meminta maaf kepadanya. Sepertinya Tohir mengerti maksud tersebut. Dengan susah payah Tohir merangkul Kohar.
           “Kamu berhasil...tanknya hancur...!” ujar Kohar dengan sisa-sisa nafasnya. Kedua orang itu berangkulan lebih erat dan tersenyum gembira lalu diam untuk selama-lamanya.
           Mata komandan pejuang berkaca-kaca. “Kalian bertengkar setiap hari, namun mengakhiri hidup dengan berpelukan. Kemerdekaan kita lebih penting daripada permusuhan pribadi.”