Kamis, 24 November 2011

Pengepungan Dalam Pengepungan

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.


           Meskipun Indonesia sudah merdeka, Jepang masih menguasai Kota Tegal, Jawa Tengah. Bendera Jepang berkibar di banyak tempat di Tegal yang menunjukkan bahwa penjajah itu tidak mau melepaskan cengkeramannya pada kota tersebut. Beberapa pemuda dengan berani menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan Merah Putih. Namun keberanian tersebut harus ditebus dengan menghadapi kemarahan Jepang seperti yang dialami oleh seorang pemuda bernama M. Yakub Mangunkusumo.
           Ketika itu, tepatnya tanggal 27 Agustus 1945 pagi, Jepang mengadakan upacara pengibaran bendera Hinomaru di pelabuhan Tegal. Yakub merasa jengkel melihat bendera Jepang akan dikibarkan padahal Indonesia sudah merdeka. Saat itu masih banyak orang yang belum tahu bahwa Indonesia sudah merdeka, lagi pula Jepang berusaha menutupi berita tersebut.
           Pemuda Yakub ingin menunjukkan bahwa bendera Merah Putih harus berkibar di negaranya sendiri yang sudah merdeka. Demikianlah, Jepang tersentak kaget ketika melihat bahwa bendera yang dikibarkan dalam upacara itu adalah Merah Putih. Di dekat tiang bendera, pemuda Yakub berdiri tegak lalu menghormat ke arah Merah Putih. Ia memekikkan kata “merdeka” sebelum berlari secepat kemampuannya. Jepang terlambat mengepungnya dan berhari-hari pemuda Yakub diburu oleh kenpetai (poilisi militer Jepang).
           Kenekatan Yakub didorong oleh keberanian kawan-kawannya yang mengibarkan bendera Merah Putih di halaman penjara Jepang. Keberanian ini cepat menular di kalangan pemuda. Puncaknya, pada tanggal 10 September 1945 beberapa pemuda dipimpin oleh M. Yunus dan Ciptoarjo mengibarkan Merah Putih di atas bangunan termewah di Tegal saat itu, Gedung Biro.
           Seorang kenpetai memaksa pemuda menurunkan Merah Putih dari Gedung Biro. Ia mengacung-acungkan senjatanya ke arah para pemuda, namun yang diancam tidak merasa gentar.
           “Coba sendiri kalau berani !” tantang pemuda sambil mencabut golok. Kawan-kawannya menyambut ucapan itu dengan mengangkat bambu runcing, parang dan golok. Sang kenpetai ketakutan dan segera pergi menuju ke markasnya.
           Para pemuda kemudian mendatangi kantor-kantor pemerintah untuk mengibarkan bendera Indonesia. Orang-orang Jepang yang menjadi pegawai di kantor-kantor tersebut marah namun takut. Pemuda-pemuda Indonesia juga memasang Merah Putih di bangunan tertinggi yang ada di kota itu, yaitu gedung menara air. Dari atas menara air ini Merah Putih bisa dilihat oleh orang-orang Tegal yang ada di tempat yang sangat jauh.
           Komandan kenpetai sangat marah mendengar laporan anak buahnya. “Mereka sudah berani terhadap kita. Ini tidak bisa dibiarkan !” geramnya.
           Tak lama berselang seorang kenpetai melapor, “Ada berita baru masuk. Mereka saat ini sedang berkumpul di Markas Pemuda di Jalan Gilitugel (kini Jl. Jend. Sudirman).”
           “Bagus. Sekarang juga kita tangkap mereka. Sembilan orang dari kalian ambil senapan mesin dan ikuti aku !” perintahnya.
           Beberapa saat kemudian sebuah rombongan kendaran militer Jepang melaju kencang di jalan. Rakyat yang melihatnya menjadi cemas. Mereka yakin bahwa Jepang akan menangkap orang seperti yang sudah-sudah.
           “Ke mana polisi-polisi Jepang itu ?” tanya seorang penduduk.
           “Siapa yang mau ditangkap ?” tanya orang lain.
           “Ayo kita cari tahu !” ajak seseorang. Ketiga orang itu berjalan cepat menuju ke arah hilangnya mobil-mobil Jepang. Di sebuah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak kecil yang berlari kencang.
           “Hei, Nak. Ada apa ?”
           “Jepang mengepung Markas Pemuda,” jawab anak itu sambil terus berlari. Ia bermaksud segera memberitahu orang tuanya bahwa kakaknya hendak ditangkap Jepang. Saat itu kakaknya merupakan salah seorang yang sedang berkumpul di Markas Pemuda. Berita pengepungan ini menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut.
           Sementara itu puluhan orang berkumpul di gedung Komite Nasional Indonesia yang juga dikenal sebagai Markas Pemuda. Walaupun lelah karena berkeliling kota untuk mengibarkan Merah Putih, wajah mereka menunjukkan kegembiraan.
           “Apa yang akan kita lakukan besok ?” tanya seorang pemuda dengan suara lantang.
           “Bagaimana kalau meminta bapak Walikota agar mengumumkan secara terang-terangan bahwa kemerdekaan kita telah diproklamasikan ?” usul Citrosatmoko.
           “Saya setuju dengan usul Citro”, teriak beberapa kawannya.
           Setelah puas bertukar-pikiran, Citrosatmoko dan beberapa pemuda lainnya pulang. Belum sampai di tepi jalan, tiba-tiba sebuah mobil militer Jepang berhenti mendadak di depan mereka. Tiga orang Jepang berloncatan keluar dari mobil sambil mengacungkan senapan. Pemuda-pemuda kita berlari masuk kembali.
           Komandan kenpetai menghunus sangkur. Ia mendekati tiang bendera yang terbuat dari bambu kecil. Di atas sana Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Sekali tebas tiang bambu itu roboh bersama benderanya. Sangkur Jepang memang tajam dan ganas, apalagi sangkur milik komandan kenpetai itu.
           Di dalam gedung terjadi kepanikan. Pemuda-pemuda yang baru masuk segera menutup pintu rapat-rapat. Mereka berusaha kabur lewat pintu belakang. Namun mereka kecewa karena di belakang gedung ada tiga orang Jepang dengan senjata siap di tangan. “Kita terkepung !” gumam seorang pemuda.
           Terdengar rentetan senapan mesin. Peluru-pelurunya meninggalkan serpihan kayu di lantai, juga lubang-lubang di tembok. Komandan kenpetai berteriak lantang, “Keluar semua satu per satu. Kalian sudah dikepung. Siapa yang lari atau melawan akan ditembak !”
           Senapan mesin Jepang menyalak lagi. Sasarannya adalah pintu depan. Dari pintu ini terdengar suara keras. Brak ! Pintu depan terbuka disusul masuknya komandan kenpetai. “Keluar semua kalau tak mau ditembak!” ancamnya.
           “Indonesia sudah merdeka dan Jepang sudah kalah”, teriak Citrosatmoko dari ruang dalam. “Mengapa kami harus menyerah kepada bangsa yang sudah kalah perang ?”
           “Dasar bandel !” maki komandan itu. “Jangan tunggu kesabaranku habis !”
           Rasa panik mencekam pemuda-pemuda kita. Mereka tidak bisa memutuskan apakah akan melawan Jepang atau menyerah. Melawan adalah pilihan yang nekat karena bagaimana mungkin mereka yang tidak bersenjata mampu menghadapi senapan mesin Jepang. Pasti banyak memakan korban. “Tapi aku tidak mau menyerah !” tekad salah seorang di antara mereka yang kemudian disetujui oleh pemuda-pemuda lainnya.
           Komandan kenpetai gusar atas sikap para pemuda. Ia berseru lantang, “Citro, kamu keluarlah !”
           Citrosatmoko balas berteriak,”Aku akan keluar asalkan kalian tidak mengganggu kawan-kawanku !”
           Jawaban Citro membuat Jepang marah. “Jangan banyak omong ! Keluar cepat atau kamu dan semua kawanmu aku tembaki !”
           Tak disangka ancaman Jepang itu malah disambut dengan teriakan merdeka oleh para pemuda. Udara di dalam Markas Pemuda bergetar akibat hebatnya pekik merdeka.
           Teriakan merdeka juga terdengar di luar Markas Pemuda. Komandan kenpetai sebenarnya sudah melihat kerumunan orang-orang di sekeliling gedung namun ia mengira mereka hanya menonton. Benarkah orang-orang itu hanya menonton ?
           Ketika kerumunan orang masih sedikit Jepang tidak meperdulikannya. Kini setelah jumlahnya mencapai ratusan orang, serdadu-serdadu Jepang itu merasa cemas. Situasi ini segera dilaporkan kepada komandan kenpetai yang masih ada di dalam Markas Pemuda.
           Sang komandan memperhatikan orang-orang di sekeliling gedung. Ratusan orang itu meneriakkan pekik merdeka, bahkan ada yang berseru bunuh Jepang ! Mereka mengacung-acungkan bambu runcing dan golok, bahkan ada yang berani melempari serdadu Jepang dengan batu.
           “Kita terkepung !” gumam sang komandan.
           “Bagaimana komandan, apakah kita akan menghabisi mereka ?"
           “Goblok !” bentak komandan kenpetai. “Jarak mereka dengan kita sudah sangat dekat. Kita bisa saja menghabisi mereka dengan senapan mesin. Tetapi sebelum mereka mati semua kita sudah disate oleh bambu-bambu runcing itu.”
           Komandan kenpetai meninggalkan pemuda-pemuda yang masih bersikukuh tidak akan menyerah. Tiba di luar gedung teriakan merdeka terdengar makin jelas. Komandan kenpetai berdiri tegak. Ia menyapukan pandangannya ke arah ratusan orang yang mengelilingi Markas Pemuda. Pasukannya yang semula mengepung pemuda kini malah dikepung warga. Ia tersenyum kecut ketika melihat wajah-wajah marah yang ditunjukkan oleh orang-orang itu.
           Rakyat Tegal memperhatikan komandan kenpetai yang terkenal galak itu.Mereka bersiap menyerbu meskipun harus menghadapi senapan mesin Jepang. Namun mereka kaget ketika sang komandan kenpetai mengacungkan tangannya yang terkepal ke arah orang-orang sambil memekik, “Merdeka !”
           Komandan kenpetai memberi aba-aba kepada anak buahnya agar mengikuti. “Cepat pulang. Perang kita sudah selesai. Aku tak mau mati disate bambu runcing !”
           Semua sedadu Jepang segera pulang ke markasnya sendiri setelah dengan susah-payah menerobos kerumunan massa yang hiruk-pikuk itu. Sambil bergerak menerobos massa, Jepang-Jepang itu meneriakkan pekik merdeka. Warga membalas pekikan itu dengan lebih bersemangat sebelum memberi jalan agar Jepang bisa lewat. Wajah-wajah kenpetai yang biasanya menyeramkan kini pucat.
           Mengetahui Jepang lari ketakutan, para pemuda berhamburan keluar gedung. Citrosatmoko melihat Merah Putih tergeletak karena tiangnya disabet sangkur Jepang. Ia mengambil tiang yang roboh itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi lalu melambai-lambaikannya. Bendera Merah Putih terbentang lebar oleh tiupan angin.
           “Sekali merdeka tetap merdeka !” pekik Citro lantang.

Senin, 07 November 2011

Enam Belas Jam Terendam di Kolong Jembatan

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Pada bulan April dan Mei 1946 para pejuang dari berbagai daerah berkumpul di Bandung untuk mempertahankan kota itu dari ancaman penjajah Belanda. Semua komandan datang ke markas pejuang untuk menyusun strategi. Mereka sepakat menempatkan kesatuan-kesatuan pejuang di beberapa tempat guna menyergap tentara Belanda.
           “Sebaiknya kita segera tidur untuk memulihkan tenaga. Besok kita akan menunjukkan kepada Belanda bahwa kita tidak mau dijajah lagi”, ujar seorang di antara mereka. Usulan tersebut sekaligus menutup rapat malam itu.
           Hari itu Jumat Kliwon ketika Sersan Ahmad memimpin regunya menuju ke tempat yang telah ditentukan dalam rapat tadi malam. Sampai di tempat tujuan hari masih gelap. Mereka yakin keberadaannya tidak diketahui oleh musuh.
           “Kawan-kawan, kita beristirahat dulu sambil menunggu patroli Belanda. Ingat jangan lengah !” perintah Sersan Ahmad. Sambil bersembunyi mereka menyantap bekal.
           Ketika hari mulai terang seorang prajurit yang ditugasi untuk berjaga-jaga memanjat pohon tertinggi yang ada di situ. Dari tempat tersebut ia bisa melihat sampai ke titik-titik yang jauh. Ia memperhatikan sebuah jembatan kecil tak jauh dari tempat pasukannya beristirahat. Kembali ia menebarkan pandangannya dengan sekali-sekali memicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Tak ada seorang pun yang terlihat sejauh mata memandang. Ia melihat ke arah Sersan Ahmad dan memberi kode.
           “Bagus, medan ini aman”, gumam Sersan Ahmad setelah memahami kode tersebut. Beberapa lama kemudian prajurit penjaga tadi tampak memandang serius ke suatu titik nun jauh di sana. Ia turun setelah merasa yakin dengan apa yang dilihatnya.
           “Patroli Belanda datang, Pak !” lapornya.
           Sersan Ahmad segera menindak lanjuti laporan itu. “Kawan-kawan kita bersiap pada posisi masing-masing. Laksanakan !” perintahnya.
           Anak buahnya menyebar. Mereka bersembunyi agak jauh dari jalan. Tak lama kemudian patroli Belanda datang. Dari balik pepohonan Sersan Ahmad memperhatikan musuh. Tiga buah truk penuh dengan orang bule bersenjata lengkap. Perasaan gentar menyusup ke dalam hati pejuang kita melihat musuh yang tampak gagah. Maklum ini lah perang yang pertama kali akan dihadapi oleh pejuang-pejuang asal Tegal itu. Cepat-cepat Sersan Ahmad mengusir rasa takut. Kalau tak ingin negerinya dijajah lagi jangan takut pada musuh, demikian kata batinnya.
           “Biarkan mereka lewat”, gumam Sersan Ahmad pada dirinya sendiri. Patroli itu menghilang dari pandangan. Ketegangan yang tadi dirasakan anak buahnya lenyap namun tidak lama. Dari jauh terdengar suara tembakan. Rupanya patroli Belanda tadi sedang disergap regu pejuang lain. Seperti yang telah diduga sebelumnya, bala bantuan Belanda dengan kekuatan cukup besar datang untuk menolong patroli tersebut. Regu Sersan Ahmad tetap membiarkan pasukan bantuan ini lewat di depannya.
           “Tunggu sebentar lagi sampai semua bala bantuan Belanda lewat. Kita akan menyerang mereka dari belakang”, bisik Sersan Ahmad. Regunya memang diperintahkan untuk menyergap bala bantuan Belanda dari arah belakang. Sersan Ahmad mempererat cengkeraman tangannya pada senjata saat iring-iringan tentara Belanda hampir habis. Senjata di tangannya meletus dan segera disusul dengan tembakan-tembakan dari anak-anak buahnya.
           Regu bantuan Belanda panik. Mereka tidak mengira akan disergap sebelum sempat menolong patroli Belanda di depannya. Mereka tidak bisa mundur kembali ke markas dan akhirnya dengan terburu-buru melanjutkan perjalanan. Bala bantuan musuh ini bermaksud bergabung dengan patroli Belanda yang ada di depan sana.
           “Jangan dikejar !” teriak Sersan Ahmad. “Biarkan mereka dihajar kawan-kawan kita yang ada di sana. Bila Belanda mundur ke sini, kita serang lagi.”
           "Ayo, kita pindah posisi !” perintah Sersan Ahmad. Ia yakin rombongan tentara Belanda yang ditembakinya tadi akan mengingat lokasi serangan tersebut. Pasukan Sersan Ahmad mencari lokasi persembunyian baru untuk mengecoh Belanda. Belum lama tiba di lokasi baru ia mendengar suara gemuruh di kejauhan. Sersan Ahmad memanjat pohon untuk melihat sumber suara gemuruh itu. Apa yang terlihat membuatnya terkejut. Kendaraaan perang tentara Belanda dalam jumlah besar berdatangan ke arah mereka !
           Dari tempat tersembunyi Sersan Ahmad mengamati keadaan sekeliling. “Kita terkepung. Tentara Belanda ada di mana-mana. Semoga mereka belum mengetahui keberadaan kita”, ujar Sersan Ahmad. “Kalau menyerang, kita bisa menewaskan beberapa orang musuh. Tapi dengan begitu aku yakin kita semua bisa mati atau tertangkap.”
           Sementara itu di garis depan terjadi pertempuran sengit. Belanda yang semula terdesak sekarang berhasil memukul balik pejuang kita berkat datangnya bala bantuan. Pejuang-pejuang kita terpaksa mundur tergesa-gesa dan tidak sempat memberitahukan perkembangan ini kepada regu Sersan Ahmad.
           Kegagalan rencana serangan pejuang disebabkan mereka tidak tahu seberapa besar kekuatan tentara Belanda. Mereka tidak mengira jumlah tentara Belanda di Bandung sangat banyak. Ya, intelijen pejuang memang sangat lemah. Bandingkan dengan intelijen Belanda yang sudah maju. Pejuang Indonesia tidak mengetahui secara tepat kekuatan musuh, Sebaliknya, Belanda tahu banyak kondisi pejuang. Bahkan Belanda lebih tahu jumlah dan merk senjata pejuang daripada pejuang Indonesia sendiri.
           Regu Sersan Ahmad terkepung tetapi untungnya Belanda belum mengetahui keberadaan mereka. Sersan Ahmad mencari-cari tempat persembunyian. Di sekitarnya banyak pepohonan dan semak lebat tapi kemungkinan besar Belanda akan mencurigai tempat-tempat seperti itu. Sersan Ahmad melihat jembatan kecil tak jauh dari mereka. “Cepat masuk ke kolong jembatan itu, tapi hati-hati jangan sampai gerakan kita menarik perhatian Belanda !” perintahnya.
           Satu per satu pejuang kita membungkukkan punggung agar bisa masuk ke bawah jembatan. Langkah kaki mereka menyebabkan lumpur teraduk sehingga air kali yang kotor itu menjadi menjadi makin keruh. Kolong jembatan kecil itu bisa memuat dua belas pejuang yang duduk berhadap-hadapan. Hanya kepala yang muncul di permukaan air. Kaki mereka terbenam ke dalam lumpur. Senjata mereka diangkat tinggi-tinggi agar tidak terkena air.
           “Kalau saja Belanda melihat ke bawah jembatan, habislah kita”, gumam salah seorang pejuang. Semak-semak yang tumbuh di kedua ujung kolong jembatan menutupi mereka namun ada bagian mulut kolong yang terbuka.
           “Sebarkan semak-semak agar menutupi semua mulut kolong”, perintah Sersan Ahmad. “Hati-hati, jangan sampai mengundang kecurigaan musuh”.
           Anak buahnya mencabuti rumpun semak dan menempatkannya di bagian mulut kolong yang terbuka. Agar tidak hanyut, ia membelit-belitkan semak tersebut pada semak lain yang tumbuh kokoh. Kini mereka tersembunyi di balik tumbuhan air.
           Tak lama kemudian tentara Belanda tiba di dekat jembatan. Sersan Ahmad mendengar suara deru tank yang merayap di atas kepala mereka. Derap langkah kaki tentara Belanda tertangkap jelas oleh pendengaran anak buahnya.
           “Ah !” terdengar pekik tertahan. Seorang prajurit tiba-tiba membekap mulutnya sendiri. Ia khawatir suaranya itu terdengar keluar jembatan. Kawan-kawannya memandang prajurit itu dengan heran. Seolah mengerti arti pandangan heran kawan-kawannya, prajurit itu berujar lirih “Ada yang merayapi tubuhku. Sepertinya ular !”
           “Sst..!” Sersan Ahmad memberi tanda dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Isyarat beliau membuat wajah semua anak buahnya menjadi tegang. Bagaimana bila Belanda mendengar suara-suara mencurigakan dari bawah jembatan ?
           Tindakan pejuang-pejuang Indonesia mencabuti tumbuhan air di bawah jembatan rupanya mengusik hewan-hewan penghuninya. Seekor ular merayap di tubuh pejuang. Rasa geli dan takut bercampur menjadi satu. Hewan berbisa itu belum pergi ketika muncul beberapa ekor ular lainnya. Untungnya binatang-binatang itu tidak menggigit dan pergi entah ke mana. Sersan Ahmad dan anak buahnya menarik nafas lega. Pada saat itulah tercium bau tak sedap yang semakin menyengat.
           Semak-semak yang digunakan untuk menutup mulut kolong menyebabkan sampah-sampah kali tertahan. Di antara sampah itu yang paling banyak adalah kotoran manusia. Namun ada bau yang jauh lebih busuk lagi.
           “Bau apa ini ?” batin seorang pejuang. Ia memperhatikan sampah yang menumpuk di mulut kolong. Ia melihat ada bangkai tikus besar. Tampaknya sudah lama mati karena menggembung besar sekali. Ratusan belatung merayap-rayap di atas bangkai itu. Tak bisa dilukiskan betapa busuknya udara yang terpaksa dihirup oleh pejuang-pejuang naas itu.
           Sementara itu di atas dan di sekitar jembatan terjadi kesibukan. Setelah melewati jembatan, tentara Berlanda melakukan operasi pembersihan untuk mencari pejuang yang bersembunyi. “Periksa semua tempat !” perintah komandan Belanda, “termasuk kolong jembatan”.
           Seorang tentara Belanda melihat banyak kotoran di mulut kolong, lalu ia pergi ke ujung kolong lainnya yang lebih bersih dan segera terjun ke kali. Sersan Ahmad berpikir cepat untuk mengatasi kondisi genting itu. “Semua kotoran di mulut kolong itu masukkan kemari, termasuk bangkai tikus !”
           Detik-detik berikutnya menjadi pengalaman yang menyiksa. Kotoran manusia dan bangkai perlahan-lahan mengepung mereka. Belatung-belatung berhamburan dan terlepas dari bangkai tikus ketika bangkai itu masuk ke kolong jembatan. Banyak di antara belatung itu hinggap di tubuh pejuang-pejuang kita. Sersan Ahmad dan anak buahnya sibuk menyingkirkan belatung-belatung itu yang merayapi tubuh mereka. Bau busuk meneror penciuman. Satu tangan mengangkat senjata agar tak terkena air, tangan lainnya memijit hidung. Wajah mereka merah karena menahan nafas. Sersan Ahmad, yang tidak sanggup lebih lama menahan nafas, melonggarkan pijitan pada hidungnya. Ia hanya sedikit menghirup udara namun bau busuknya hampir tak tertahankan. Kalau saja tidak takut tertangkap musuh, ingin rasanya ia muntah.
           Tentara Belanda yang ditugasi memeriksa jembatan sudah sampai di mulut kolong. Dengan ujung senjata ia menyibakkan tumbuhan yang menutupi kolong jembatan. Mendadak bau busuk menyerbu hidungnya bersamaan dengan keluarnya gerombolan kotoran manusia. Bangkai tikus gembung dan penuh belatung meluncur cepat ke arahnya. Dengan tergesa-gesa ia meloncat ke darat. Perutnya mual.
           “Tak ada apa-apa di bawah kolong jembatan, kecuali kotoran manusia dan bangkai. Busuk sekali !” lapor Belanda itu kepada komandannya. Tentara Belanda ini memegangi perutnya lalu muntah. Komandannya pergi jauh dari tempat memuakkan itu. Sialnya tentara Belanda tadi memuntahkan isi perutnya di sisi jembatan yang arus airnya masuk ke kolong. Akibatnya, pejuang-pejuang kita terendam di air kotor bercampur muntahan. Bau asam khas muntahan tercium oleh hidung Sersan Ahmad dan anak buahnya. Mereka menahan diri sekuat tenaga agar tidak terangsang oleh bau muntahan itu.
           Dari bawah kolong jembatan seorang prajurit mengintip keluar. Tentara Belanda masih sibuk menyisir. Tampaknya mereka mencari pejuang yang bersembunyi. Wajah prajurit yang mengintip tampak tegang ketika melihat tentara-tentara Belanda mengobrak-abrik semak belukar yang sebelumnya menjadi tempat persembunyian Sersan Ahmad dan kawan-kawan. Untung kita sudah pindah dari tempat itu, ujar prajurit tersebut di dalam hati.
           Tentara Belanda tidak menemukan seorang pejuang pun di semak-semak. Padahal mereka mendapat laporan bahwa ada sekelompok pejuang yang menyerang bala bantuan tentara Belanda di tempat itu. Seorang di antara mereka, yang tampaknya komandan regu, berbicara melalui alat yang mirip telepon. Ia lalu berseru kepada anak buahnya. “Hentikan pencarian ! Pejuang-pejuang itu sudah mampus semuanya.”
           Kelak Sersan Ahmad akan tahu siapa yang dimaksud dengan pejuang-pejuang yang telah mampus semuanya itu. Ternyata satu regu pejuang asal Tasikmalaya kepergok tentara Belanda dan semuanya mati dibantai. Belanda mengira bahwa regu pejuang tersebut adalah regu Sersan Ahmad yang menyerang bala bantuan tentara Belanda. Pada satu sisi Sersan Ahmad bersedih atas gugurnya kawan-kawan pejuang dari Tasikmalaya itu. Pada sisi lain ia berterima kasih karena pahlawan-pahlawan Tasikmalaya itu menyelamatkan regunya walaupun secara tak terduga.
           Untuk sementara Sersan Ahmad dan kawan-kawannya selamat, namun mereka masih harus mendekam di kolong jembatan. Sebagian besar tentara Belanda memang sudah meninggalkan jembatan, namun satu regu ditinggalkan untuk menjaga jembatan tersebut. Regu Sersan Ahmad tidak bisa melakukan apa pun selain mendekam di bawah kolong jembatan. Berjam-jam mereka berendam dalam air kali yang kotor dan bau dengan menahan rasa haus, lapar dan kedinginan. Pada malam hari sorot lampu senter Belanda beberapa kali di arahkan ke kolong jembatan. Sersan Ahmad memerintahkan anak buahnya untuk merunduk.
           Dinginnya udara merasuk sampai ke sumsum tulang. Rasa dingin ini makin hebat bagi orang yang sudah berjam-jam ada di dalam air.. Enam belas jam sudah mereka terendam di bawah kolong jembatan. Pada tengah malam salah seorang pejuang memeriksa keadaan sekeliling.
           “Kebanyakan tentara Belanda sedang tidur,” lapor pejuang itu. “Hanya satu orang yang berjaga”.
           “Baiklah”, jawab Sersan Ahmad. “Kita keluar dari kolong satu per satu !”.
           Sambil menggigil mereka merangkak keluar. Kulit mereka mengerut karena terlalu lama terendam. Untungnya mereka tiba di markas pejuang dengan selamat walaupun dengan kondisi yang sangat payah. Sungguh berat mempertahankan kemerdekaan negeri ini.