Rabu, 07 September 2011

Hari Bahagia Bagi Bapak Wajar

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.

           Bapak Wajar sudah 40 tahun hidup di alam penjajahan. Baginya kemerdekaan adalah impian yang mustahil. Namun kemustahilan itu menjadi kenyataan ketika walikota Tegal, kota tempatnya tinggal, mengumumkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
           Kesediaan walikota untuk mengumumkan berita proklamasi merupakan hasil perjuangan panjang para pemuda. Sebelumnya walikota Tegal bersikukuh tidak akan mengumumkan berita proklamasi tanpa ada ijin dari penguasa Jepang. Setelah satu bulan diyakinkan dengan berbagai cara, termasuk caci-maki dan penculikan, akhirnya walikota mengumumkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan pengumuman resmi ini maka semua orang yakin bahwa Indonesia telah benar-benar merdeka. Maklum, sebelumnya penguasa Jepang di Tegal menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta adalah kabar bohong belaka.
           Berita proklamasi menyebar dengan cepat. Warga Tegal merayakannya dengan mengibarkan bendera Merah Putih yang dibuat seadanya. Daun jati tiba-tiba menjadi barang yang paling dicari. Air rendaman daun jati yang dihancurkan digunakan untuk memberi warna merah pada kain. Kain merah ini kemudian dijahit dengan kain putih. Bendera yang dibuat dengan cara ini tidak bisa bertahan lama. Bendera berwarna merah putih ini lama-lama luntur dan pudar hingga berubah menjadi bendera putih putih, sebuah tanda menyerah. Kelak menjelang didudukinya kota ini oleh tentara Belanda melalui agresi militer, warga Tegal buru-buru membuang bendera yang warnanya telah berubah menjadi putih putih ini karena tidak mau dikira menyerah.
           Pak Wajar sebenarnya sudah siap berjualan soto, pekerjaannya sehari-hari. Namun kegembiraannya setelah mendengar berita proklamasi sangat besar, lebih besar daripada keinginannya mencari nafkah.
           “Kalau tidak ingin berjualan, sotonya mau diapakan, Pak ?” tanya istrinya.
           “Sementara simpan saja dulu, Bu !” jawab Pak Wajar. “Saya akan membuat bendera. Apakah kita memiliki kain merah dan kain putih, Bu ?”
           Setelah mencari-cari mereka menemukan selendang lusuh berwarna merah dan kain sobek berwarna putih. Pak Wajar memotong kedua kain itu dan menjahitnya hingga terbentuk bendera merah putih.
           “Merdeka !” teriak Pak Wajar sambil memperlihatkan bendera buatannya itu kepada sang istri. Suami istri itu tersenyum gembira.
           “Akhirnya kita merdeka."
           “Saya dengar akan ada pawai merah putih. Saya mau ikut, Bu !” ujar Pak Wajar.
           Istrinya mengangguk. “Aku ikut nonton saja.”
           Warga Tegal menyambut kemerdekaan negaranya dengan berpawai. Hampir semua orang keluar dari rumah. Mereka menuju ke jalan-jalan yang akan dilalui peserta pawai. Mereka meluapkan kegembiraan dengan meneriakkan pekik merdeka. Kemana pun mata memandang tampaklah dua warna yang mencolok : merah dan putih.
           Pawai kemerdekaan yang pertama dalam sejarah kota itu berlangsung meriah meskipun pakaian peserta seadanya. Mereka menabuh kaleng bekas, kentongan dan bedug sehingga pawai lebih meriah. Orang-orang yang semula menonton ikut bergabung menjadi peserta sehingga arak-arakan semakin panjang. Lagu-lagu perjuangan dikumandangkan. Yang menjadi favorit adalah lagu ciptaan Ismail Marzuki, Gagah Perwira. Lagu ini dinyanyikan paling keras oleh orang-orang bekas anggota PETA. Pak Wajar dan banyak orang lainnya menyanyikan lagu “Indonesia Tanah Pusaka”. Lagu ini ciptaan Ismail Marzuki juga dan sempat dilarang Jepang.
           Banyak peserta pawai yang membawa senjata tradisional seperti bambu runcing, tombak dan golok. Mereka berencana mengepung markas Jepang sepulang dari pawai. Pawai keliling kota untuk menyambut kemerdekaan ini dipimpin oleh Pamuji, adik Yusuf. Yusuf inilah pemuda yang mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali di kota Tegal.
           Walaupun pawai sudah selesai namun rakyat tidak mau pulang. Mereka ingat pada kekejaman Jepang yang sampai saat itu masih bercokol di kota Tegal. Ketika ribuan orang Indonesai berpawai, Jepang ketakutan. Semua orang Jepang, baik militer maupun sipil, berkumpul di markas kenpetai (polisi militer) dengan senjata siap di tangan seolah hendak perang.
           Ketakutan Jepang menjadi kenyataan. Hari itu, tanggal 20 September 1945, orang-orang yang baru pulang dari pawai mengepung markas Jepang. Teriakan-teriakan anti Jepang menggema di angkasa. Mereka mengacung-acungkan golok, parang, tombak dan bambu runcing.
           Rakyat terus merangsek namun belum bisa masuk ke markas karena dihadang senapan mesin. Sedangkan di pihak rakyat tidak ada yang memiliki senjata api. Untuk mengusir kerumunan massa, Jepang berkali-kali melemparkan bom yang berisi gas air mata. Rakyat bubar dengan mata perih namun segera kembali dengan kemarahan yang lebih besar. Mereka memutuskan saluran air dan telepon serta memblokir semua jalan sekeliling markas dengan gerobak sampah.
           Lemparan bom gas air mata dibalas rakyat. Batu-batu beterbangan ke arah markas Jepang diikuti kepanikan penghuninya yang berusaha menghindarinya. Tak ayal serangan batu itu merusak beberapa bagian bangunan markas. Tak sedikit pula serdadu Jepang yang merasakan sakitnya terkena lemparan batu.
           Hari semakin sore namun pengepungan itu belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Rakyat mulai merasa haus dan lapar. Pada saat itu Pak Wajar datang kembali dengan gerobak sotonya.
           “Soto, siapa mau soto !” teriak Pak Wajar. Orang-orang hanya menelan air liur mencium aroma soto yang sedap. Mereka tidak memiliki uang. “Jangan khawatir, ini gratis !” seru Pak Wajar lagi. “Aku hanya bisa menyumbangkan makanan ini untuk mendukung perjuangan kita”.
           Dalam waktu singkat soto Pak Wajar habis, gerobaknya kemudian ikut dipakai untuk memblokir jalan. “Terima kasih Pak Wajar”, seru orang yang baru saja melahap soto. Pak Wajar tidak ada. “Di mana dia ?”
           “Ia maju ke garis depan dan melempari markas dengan batu”, jawab seseorang.
           Terdengar suara rentetan senapan mesin yang memekakkan telinga. Jepang mengarahkannya ke udara. Tentara Jepang yang memegang senapan mesin itu berseru, “Jangan masuk ke markas. Siapa yang mencoba masuk akan saya tembak !”
           Ancaman Jepang itu dijawab dengan teriakan warga, “Usir Jepang !”
           Orang Jepang yang tadi mengancam menjadi marah. Sekilas ia melihat seseorang melemparkan batu ke arahnya. Jepang itu berusaha menghindar namun kurang cepat. Batu menghantam mukanya dengan telak. Pada saat yang bersamaan puluhan orang menyerbu masuk. Ia meraih senapan mesin dan menembakkannya. Untung sebuah batu mengenai senapan mesin itu sehingga arah tembakannya melenceng ke atas. Bagaimanapun, tembakan senapan mesin memaksa orang-orang Tegal mundur dan mencari tempat yang aman.
           Jepang semakin kewalahan menghadapi orang-orang yang berusaha menerobos pintu markas. Jepang menakut- nakuti orang dengan senapan mesin, tetapi hasil yang diperoleh malah sebaliknya. Rasa takut hilang dan digantikan keberanian, beberapa orang bahkan menjadi nekat.
           Tanpa takut beberapa orang mendekati markas Jepang dari arah samping. Salah seorang di antaranya, yang merupakan bekas anggota keibodan laut, memasukkan karung yang telah disiram minyak ke dalam lubang angin. Karung yang terbakar menciptakan asap pekat. Melalui lubang angin asap tebal tersebut memenuhi markas dan menyesakkan paru-paru tentara Jepang.
           Suara senapan mesin terdengar lagi. Massa menghindari peluru dengan berlindung di balik batang pohon atau tembok. Sebagian besar segera tiarap. Peluru-peluru senapan mesin itu memakan korban jiwa satu orang. Dada orang itu tertembus peluru.
           Berondongan senapan mesin dan jatuhnya korban jiwa tidak membuat rakyat menjadi takut, bahkan makin banyak orang yang berdatangan. Kenekatan mereka pun memuncak. Seorang di antaranya menaiki pagar belakang markas. Sayang, aksinya itu diketahui Jepang sehingga ia menjadi sasaran empuk peluru.
           Jepang terus menakut-nakuti rakyat dengan senapan mesin dan bom gas air mata. Semakin keras upaya Jepang mengusir pengepungnya, semakin nekat pula rakyat Tegal. Padahal dulu markas Jepang ini sangat ditakuti orang. Kini semua keangkeran itu sirna tanpa bekas. Jatuhnya korban jiwa dua orang akibat peluru Jepang membuat rakyat Tegal bertambah marah.
           Malam pun tiba. Rakyat bertekad tidak akan pulang sebelum Jepang menyerah. Nyala obor terlihat di mana-mana. Dari jauh nyala ribuan obor itu mirip cahaya kunang-kunang di tengah kegelapan malam. Sungguh sebuah pemandangan yang menakjubkan. Namun Jepang melihatnya sebagai ancaman yang menakutkan. Benar juga, beberapa obor melayang ke arah bangunan markas.
           Beberapa bagian markas terbakar. Kesibukan tentara Jepang bertambah satu lagi : memadamkan api. Jepang yang sudah panik kini bertambah cemas. Mereka tidak bisa mengharapkan bala bantuan dari luar. Saluran telepon telah diputus rakyat.
           Setelah terdesak terus-menerus akhirnya pada larut malam Jepang mengibarkan bendera putih. Jepang menyerah dan senjatanya dilucuti. Malam itu Tegal benar-benar merdeka. Tegal berhasil mengusir penjajah keluar dari kota itu. Bagaimanapun beringasnya orang-orang Tegal saat itu, namun mereka tidak melukai sedikit pun tentara Jepang yang sudah menyerah. Semua orang Jepang ini kemudian diangkut dengan kereta api ke Purwokerto.
           Pak Wajar sendiri tidak bisa menyaksikan penyerahan tentara Jepang itu. Beliaulah orang yang dadanya tertembus peluru senapan mesin.
           “Hari ini aku berbahagia”, katanya sebelum menghembuskan nafas terakhir. “Aku tidak hanya menyumbangkan soto tetapi juga bisa mempersembahkan jiwa dan ragaku untuk kemerdekaan negeri ini”, ujarnya sambil tersenyum. Senyum itu terus menghiasi bibirnya hingga ajal tiba. Ribuan orang menghadiri pemakamannya sebagai tanda penghormatan terhadap seorang pahlawan yang sekarang terlupakan.