Minggu, 14 Agustus 2011

Merah Putih Berkibar di Tegal

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Proklamasi kemerdekaan telah dibacakan oleh Sukarno-Hatta, tetapi Tegal, sebuah wilayah di Jawa Tengah, masih dikuasai Jepang. Para pemuda ingin menyambut proklamasi dengan mengibarkan Merah Putih, apapun resikonya. Mereka sudah membujuk walikota Tegal untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat luas. Namun walikota menolak karena tidak diijinkan penguasa Jepang.
           “Kita tidak bisa mengharapkan walikota. Ia takut pada Jepang,” ujar seorang pemuda.
           “Kita harus bertindak sendiri. Kita turunkan bendera Jepang dan kibarkan Merah Putih. Kita beritahu semua orang bahwa Indonesia sudah merdeka !” usul pemuda yang lain.
           Wajah mereka gembira mendengar kata merdeka, sebuah kata yang hilang dari kehidupan rakyat selama lebih dari 350 tahun. Tak mengherankan jika mereka sangat bersemangat menyambut kemerdekaan negerinya, meskipun senjata-senjata Jepang mengancamnya. Masalahnya, sebagian besar rakyat Indonesia belum mengetahui berita proklamasi kemerdekaan dan sebagian lagi menganggapnya kabar bohong belaka. Hal ini disebabkan penguasa Jepang menutup-nutupi fakta bahwa negeri kita telah merdeka.
           Hari itu, 26 Agustus 1945, sebelas pemuda dipimpin Mohamad Yusuf mendatangi kantor walikota Tegal untuk meminta bendera.
           “Kami tidak meminta Bapak untuk melawan Jepang. Kami hanya minta bendera Merah Putih. Kami akan mengibarkannya, dengan atau tanpa bantuan Bapak”, ujar Yusuf.
           “Saya mendukung tindakan kalian, tapi bersabarlah. Tunggu sampai ada ijin dari Jepang !” jawab walikota.
           “Jepang tidak akan mengijinkan. Mereka kalah perang dan sedang menunggu kedatangan tentara Sekutu. Saat itu negara kita akan diserahkan kepada Sekutu”, ujar Yusuf.
           “Bila kalian nekat, jangan salahkan saya bila Jepang marah dan menembak kalian. Ingatlah keselamatan kalian !” bujuk walikota.
           “Terima kasih atas perhatian Bapak. Tapi keselamatan negara kita jauh lebih penting dari pada keselamatan kami”, jawab Yusuf.
           “Kalau kita terlambat bertindak, bisa-bisa kita dijajah lagi”, tambah pemuda lain.
           Walikota menghela nafas. Setelah melalui perdebatan sengit akhirnya ia terpaksa menyetujui keinginan para pemuda itu. “Baiklah, saya akan beri kalian bendera. Tapi saya tidak bertanggung jawab bila Jepang marah.”
           “Dasar penakut !” maki seorang pemuda kesal. Kadarisman namanya. Kelak dalam sebuah pertemuan antara walikota dengan masyarakat Tegal, Kadarisman kembali mencaci-maki walikota atas sikapnya yang penakut. Saat itu walikota sangat malu, namun ia tetap kokoh pada pendiriannya : tidak mau mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanpa ijin Jepang. Kelak walikota baru bersedia mengumumkan proklamasi setelah diculik oleh pemuda-pemuda kita dan setelah mendapat jaminan keamanan.
           Makian Kadarisman membuat wajah walikota merah. Bagaimanapun, ia akhirnya memberikan bendera Merah Putih yang langsung diterima oleh Kadarisman.
           Begitu keluar dari balai kota, tampaklah secara menyolok bendera Jepang berkibar di gedung tak jauh dari mereka. Yusuf menuding bendera Hinomaru tersebut sambil berkata, “Pertama-tama kita akan menurunkan bendera Jepang itu dan menggantinya dengan Merah Putih.”
           Ia melangkah dengan mantap menuju gedung yang merupakan rumah penjara. Tempat ini paling ditakuti orang-orang Tegal karena kekejaman yang berlangsung di dalamnya dan dipimpin oleh seorang perwira Jepang berwajah sangar. Perwira Jepang itu kaget melihat anak-anak muda pribumi masuk ke kantornya.
           “Siapa yang menyuruh kalian ?” tanyanya dengan suara menggelegar. Suaranya membuat kesan seram menjadi lebih kuat. Yusuf tidak menjawab. Ia membungkuk hormat.
           “Tuan Jepang, kami minta ijin untuk mengibarkan bendera Merah Putih,” ujar Yusuf.
           “Tidak boleh !” jawab perwira Jepang itu tegas. “Kalian tahu, hal itu dilarang.”
           “Indonesia sudah merdeka. Tidak ada yang bisa melarang orang mengibarkan benderanya sendiri,” Yusuf mengemukakan alasannya. Perwira Jepang itu terdiam. Alasan Yusuf memang tepat, tetapi Jepang itu tidak mau kehilangan wibawa.
           “Kalian dibohongi kalau percaya bahwa Indonesia sudah merdeka”, ujar perwira Jepang itu dengan suara meyakinkan. “Sesuai janji, kerajaan Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi bukan sekarang karena kalian belum siap. Tunggu beberapa minggu lagi. Sekarang pulanglah !”
           Yusuf tersenyum mendengar bujukan itu. “Bapak tidak bisa membohongi kami. Walaupun Jepang melarang keberadaan radio,namun kami berhasil menyembunyikan beberapa di antaranya. Kami telah mendengar dari radio bahwa Sukarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus yang lalu. Kami juga tahu dari berita radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.”
           “Kami ingin merayakan kemerdekaan negeri kami dengan mengibarkan bendera Merah Putih”, ujar Yusuf lagi.
           “Sudah kubilang tidak bisa ! Pergilah dan bawa pulang benderanya sebelum aku menangkap kalian semua! ” bentak perwira Jepang itu sambil mencabut pistol yang kemudian diletakkan di atas meja. Maksudnya jelas, ia ingin menakut-nakuti para pemuda.
           “Kami akan pergi setelah keinginan kami tercapai,” ujar Yusuf.
           Tiba-tiba wajah Jepang itu menjadi lebih menakutkan demi mendengar perkataan tersebut. Ia berdiri mengambil pistolnya dan menodongkannya tepat ke jidat Yusuf. Rasa takut merasuk ke dalam jiwa pemuda ini, sedangkan salah seorang temannya menyeret-nyeret lengan Yusuf agar keluar.
           “Sudah lama aku tidak menembak orang. Jaga sikapmu, jangan sampai kamu membangkitkan nafsu membunuhku !” bentak perwira Jepang itu. Keributan di ruang kantor penjara menarik perhatian serdadu-serdadu Jepang lainnya. Mereka menyerbu masuk kantor dengan senjata siap ditembakkan.
           “Baik, Pak. Kami akan pergi,” kata Yusuf setelah menilai bahwa situasinya tidak menguntungkan.
           Para pemuda kita terpaksa angkat kaki. Di lapangan penjara mereka melihat bendera Hinomaru berkibar dengan angkuh. Yusuf membayangkan alangkah gagahnya jika yang berkibar adalah Merah Putih. Jiwa patriotismenya berkobar. Demi mengibarkan Merah Putih ia mengabaikan rasa takut yang baru saja menghinggapinya di ruang kantor penjara tadi.
           “Kawan-kawan, kita tidak akan pulang membawa bendera,” ujar Yusuf sambil menghentikan langkah teman-temannya. Pemuda pemberani itu menuju tiang bendera. Dengan cepat ia menurunkan bendera Hinomaru; sebuah tindakan nekat yang mengejutkan orang-orang Jepang. Beberapa serdadu Jepang berlarian ke arah Yusuf.
           “Anjing Jawa !” teriak seorang serdadu sambil menyeret Yusuf. Pemuda ini meronta-ronta namun sebuah tendangan sepatu mendarat di perutnya. Serdadu Jepang lainnya memukulkan popor senapan ke wajah Yusuf. Darah muncrat dari mulutnya. Dua orang kawannya yang ingin menolong malah mengalami nasib yang sama. Suasana menjadi kacau oleh bentakan, pukulan dan erang kesakitan.
           Kadarisman memperhatikan orang-orang Jepang yang sedang menyiksa kawan-kawannya. Jepang tidak memperdulikan bendera Hinomaru yang tergeletak di tanah. Memanfaatkan kesempatan ini, Kadarisman berlari ke arah bendera Hinomaru dan langsung melepaskannya dari tali pengikat. Secepat kilat ia memasang Merah Putih pada tali pengerek bendera. Berdua dengan temannya, ia berusaha menaikkan bendera. Sayang, belum apa-apa seorang perwira Jepang melihat perbuatan mereka.
           “Hentikan !” teriak perwira Jepang itu sambil melepaskan tembakan ke udara. Kini moncong senjatanya diarahkan ke tubuh Kadarisman. “Bergerak sedikit lagi, kamu mati !” ancamnya.
           Kadarisman tidak bisa berkutik. Tak disangka, kawannya yang semula memegangi bendera melangkah agar bisa berdiri tepat di antara Kadarisman dan moncong senjata Jepang. “Man, naikkan saja benderanya. Biar aku menjadi tamengmu !” bisik pemuda ini.
           Keadaan menjadi gawat. Lebih gawat lagi ketika tak lama kemudian beberapa tentara Jepang mengepung pemuda-pemuda kita. Jepang-Jepang ini menodongkan senjatanya. Mereka menunggu perintah untuk menembak. Apakah hari itu akan terjadi pembantaian sebelas pemuda Tegal yang tak bersenjata sama sekali ?
           Kegaduhan di halaman penjara menarik perhatian semua orang, terutama orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai pegawai penjara. Mereka ngeri melihat nasib yang akan menimpa para pemuda, namun tidak bisa berbuat apa pun mengingat senjata-senjata Jepang yang tak kenal iba.
           Yusuf bangkit dengan wajah dan baju berlepotan noda darah. Hatinya kecut melihat kemarahan tentara Jepang yang siap mencabut nyawa dirinya dan kawan-kawannya. Dilihatnya tiang bendera sudah kosong. Bendera Hinomaru sudah turun, sedangkan Merah Putih siap dikibarkan di bawah ancaman senjata Jepang.
           Melihat Merah Putih yang siap dikibarkan membuat jiwa patriotisme Yusuf menyala-nyala, mengalahkan rasa takut mati. Ia melangkah perlahan-lahan mendekati tiang bendera. Tangannya meraih tali dan menariknya. Bendera Merah Putih yang dipegang Kadarisman terbentang akibat tarikan tali tersebut. Para pemuda berdiri tegak sambil menghormat Merah Putih. Lebih baik mati dalam kondisi menghormat bendera Merah Putih, demikian pikir mereka.
           Serentak semua tentara Jepang mengacungkan senjatanya ke arah para pemuda. Begitu mendengar aba-aba tembak, senjata-senjata itu siap meletus. Namun aba-aba tersebut tak kunjung terdengar. Sang komandan Jepang tertegun melihat keberanian anak-anak muda Indonesia. Jepang sangat menghargai sikap tak takut mati demi membela tanah air.
           Agak terburu-buru Merah Putih dinaikkan. Angin kencang membuat bendera ini berkibar dengan gagahnya. Beberapa pemuda menangis terharu. Inilah pertama kalinya mereka melihat Merah Putih berkibar.
           “Cepat kita pergi !,” bisik salah seorang pemuda. Sebelum pergi Yusuf berpesan kepada orang-orang Indonesia pegawai penjara agar menjaga bendera Merah Putih tersebut. Setibanya di luar gerbang mereka mendengar suara bergemuruh : merdeka, merdeka ! Itulah suara para tahanan yang melihat bendera Merah Putih berkibar. Tahanan lain menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
           Yusuf dan kawan-kawan melanjutkan aksinya. Di bawah ancaman senjata Jepang, mereka mengibarkan Merah Putih di gedung-gedung tertinggi seperti menara air minum di kota Tegal dan Brebes. Rakyat Indonesia di kedua kota itu gempar melihat bendera kebangsaannya berkibar. Kini mereka yakin akan kebenaran berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang selalu ditutup-tutupi oleh Jepang.

Senin, 01 Agustus 2011

Cara Menang Melawan Tank

Pengantar :
           Garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan nama tokohnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan.



           Kemerdekaan Indonesia yang dicapai dengan mengorbankan begitu banyak jiwa dan harta tidak dihargai oleh Belanda. Pada bulan Juli 1947 Belanda menyerang negeri kita dengan kekuatan besar yang dalam sejarah dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Kota demi kota jatuh ke tangan bangsa penjajah itu dan kini mereka bersiap-siap merebut kota Tegal, Jawa Tengah. Penduduk kota ini, seperti semua kota-kota lainnya, tidak mau dijajah kembali oleh bangsa mana pun. Mereka mempersiapkan diri untuk mempertahankan tanah tumpah darahnya dari serangan Belanda.
           Sore itu beberapa pemuda sedang beristirahat setelah melakukan latihan perang. Salah satu di antara mereka bersuara keras, “Menurutku senjata yang paling hebat adalah tank.”
           “Kamu salah, Kohar. Pesawat tempur lebih hebat daripada tank”, bantah seseorang.
           Kohar tak mau kalah. Ia berdalih, “Pesawat tempur bisa meledak oleh sebutir peluru yang tepat mengenai tangki bahan bakarnya. Sedangkan tank tak mempan meskipun dihujani jutaan peluru. Kamu pasti tahu itu, Tohir !”
           Tohir membalas dengan sesumbar, “Aku bisa menghancurkan tank. Aku tahu cara menang melawan tank.”
           “Caranya ?” ejek Kohar.
           “Cara ini membutuhkan sedikitnya dua orang. Orang pertama mendekati tank secara diam-diam. Orang kedua berusaha mengalihkan perhatian pengendara tank. Belanda akan menembaki orang kedua dan tidak melihat orang pertama yang tahu-tahu sudah ada di dekat tank. Orang ini kemudian memasukkan granat ke dalam tank dan …dhuarr !”
           “Jadi, orang kedua membiarkan dirinya mati konyol ditembaki Belanda ? Siapa yang mau ?” cibir Kohar.
           Adu mulut terus berlangsung. Kohar dan Tohir sering berbeda pendapat hampir dalam segala hal. Tiap hari ada saja yang mereka perdebatkan. Untunglah mereka tak pernah adu fisik gara-gara pertengkaran seperti itu.
           Kedua pejuang ini masuk dalam satu regu pasukan yang sama. Komandan pasukan pernah berpikir untuk memindahkan salah satu di antara mereka ke regu lain.
           “Saya khawatir permusuhan kalian berakibat buruk bagi kesatuan kita”, kilah komandan. “Jadi Tohir atau Kohar saya persilahkan pindah ke regu lain.”
           “Kami tidak bermusuhan, Pak”, bantah Kohar.
           “Kami hanya berbeda pendapat”, ucap Tohir mendukung pernyataan temannya. “Kami hanya berdebat.”
           “Ya, tapi kalian berdebat mirip orang mau berkelahi “ sesal komandan.
           “Tapi kami tak pernah berkelahi, Pak.”
           “Buat apa berkelahi dengan teman sendiri kalau di luar sana ada musuh yang mengancam kemerdekaan negeri kita”, jelas Tohir.
           “Bagaimanapun, sebaiknya kalian jangan ada dalam satu regu !” saran komandan.
           “Saya ingin tetap di regu ini, Pak”, tolak Kohar.
           “Rasanya sepi kalau sehari saja tidak bertemu Kohar”, tambah Tohir. Kedua pemuda itu menolak untuk dipindahkan.
           Komandan menghela nafas karena gagal membujuk mereka. Ia merenung, kadang permusuhan Kohar dan Tohir ada manfaatnya. Misalnya saja pada saat latihan perang kedua pemuda itu berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih unggul. Perilaku mereka bahkan mendorong semua anggota regu pejuang untuk lebih giat berlatih. Mereka tidak mau dikalahkan oleh Kohar maupun Tohir.
           “Baiklah. Kalian tetap satu regu, tapi harus berjanji tidak akan menimbulkan perpecahan dalam kesatuan kita !” demikian keputusan komandan regu.
           “Kami berjanji”, sahut kedua pejuang itu berbarengan.
           “Saya tidak membenci orangnya, tetapi saya tidak suka dengan sifatnya yang suka membantah,” jelas Tohir. Kata-katanya ditujukan kepada Kohar.
           “Aku tidak akan membantah kalau kamu tidak mengeluarkan pendapat yang aneh-aneh”, bela Kohar.
           “Kau bilang pendapatku aneh ? Kamu itu yang aneh !” bantah Tohir.
           Pertengkaran pun dimulai lagi. Komandan menggeleng-gelengkan kepala melihat polah kedua anak buahnya itu. Kapan kalian akan rukun, batinnya.
           Pada tanggal 26 Juli 1947, bertepatan dengan 7 Ramadhan, tentara Belanda memasuki kota Tegal. Kohar dan kawan-kawan menyusun rencana menyerang Belanda. Tampak di antara mereka adalah Tohir. Ia bernafsu ingin melaksanakan idenya meledakkan tank. Tapi siapa orang kedua yang akan mengalihkan perhatian pengendara tank ?
           Kohar mendekati Tohir. “Hir, kuperingatkan ! Buang jauh-jauh ide konyolmu itu ! Kau tak bisa meledakkan tank dengan granat.”
           Tohir nyengir. “Kamu tidak perlu campur tangan. Aku tidak memintamu untuk membantuku.”
           “Dengar, Hir ! Aku berkata begini bukan karena membencimu. Aku tak mau kau mati sia-sia. Sebelum kau berhasil mendekati tank, Belanda akan melihat kedatanganmu dan menembakimu,” ujar Kohar.
           “Itu resiko menjadi pejuang”, jawab Tohir. “Sudahlah, Har. Aku akan meminta kawan-kawan kita – bukan kamu – untuk mengalihkan perhatian pengendara tank sementara aku mendekati tank itu.”
           “Dasar keras kepala !” gerutu Kohar. “Tak ada orang yang mau menjadi pengalih perhatian. Itu sama saja menjadi sasaran peluru musuh.”
           Pejuang-pejuang yang lain sependapat dengan Kohar. “Benar, Hir ! Buang mimpimu meledakkan tank. Idemu sulit dijalankan”, komentar salah seorang di antara mereka.
           “Kita laksanakan serangan sesuai rencana. Kita serang Belanda secara mendadak, lalu jika mereka membalas kita bersembunyi.”
           “Ayo, sekarang kita bersembunyi di posisi yang sudah ditentukan !” teriak komandan regu.
           Iring-iringan tentara Belanda semakin dekat. Di pertigaan jalan di Dukuh Turi, Tegal, rombongan tentara penjajah ini dihadang oleh pejuang-pejuang Indonesia. Meskipun jumlah pejuang kita sedikit, namun Belanda merasa kewalahan. Dari tempat tersembunyi pasukan Indonesia menembaki tentara Belanda. Begitu mendengar suara letusan senjata, beberapa orang tentara Belanda buru-buru berlindung di balik tank.
           “Sial, kita tidak tahu di mana lokasi perusuh-perusuh republik !” gerutu salah seorang di antara Belanda itu. Ia melihat serumpun semak bergoyang-goyang di seberang jalan. Segera saja ia memberondong ke arah semak-semak tersebut dengan harapan mengenai orang yang bersembunyi di situ. “Rasakan peluru-peluruku !” teriaknya namun kemudian ia mengaduh kesakitan.
           Entah dari mana datangnya sebuah peluru menembus lengan tentara Belanda itu. Noda merah tampak di lengan seragam tentaranya. Tentara Belanda yang lain marah melihat temannya tertembak. Mereka menghamburkan peluru ke segala arah.
           “Keluar kalian ! “ teriak seorang Belanda. Tak ada seorang pun yang muncul. Ia mengulangi lagi seruannya. “Hai, kamu yang bosan hidup, keluar !”
           Tak ada jawaban. Ia berteriak sekali lagi dan kali ini ia mendapat jawaban. Namun bukan pejuang yang muncul melainkan sebutir peluru ! Begitu mendengar suara tembakan tentara Belanda itu segera merebahkan diri. Tetapi ia kurang cepat, sebutir peluru mengenai kepalanya. Wajah Belanda itu pucat.
           “Aduh, aku tertembak !” keluhnya. Ia merasakan kepalanya pening dan pandangannya berkunang-kunang. Oh, beginikah rasanya kalau akan mati ?
           Seorang kawannya memandanginya dengan melotot. “Jangan cengeng ! Kamu baik-baik saja. Ayo berdiri !”, bentak kawannya itu. “Peluru itu mengenai topi bajamu.”
           Wajah pucat tentara Belanda itu merah karena malu. “Dari mana datangnya asal tembakan tadi ?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian orang-orang.
           Tentara Belanda yang lain menjawab sambil menunjuk, “Kurasa dari balik pepohonan di sana !”
           Pohon yang ditunjuk kemudian menjadi sasaran peluru-peluru Belanda. Mereka menembakinya sambil mendekat ke tempat itu. Untung pejuang yang semula bersembunyi di situ sudah menyingkir.
           Kohar bersembunyi di balik pepohonan dengan senapan siap di tangan. Ia melihat Tohir sedang merayap-rayap mendekati sebuah tank. Seorang tentara Belanda tampak duduk di atas tank itu sambil menggenggam senapan mesin.
           “Dasar Tohir bodoh,” gerutu Kohar dalam hati. “Anak itu kalau dilarang malah nekat. Bila Belanda melihat Tohir tamatlah riwayatnya”.
           Kohar menembak Belanda yang duduk di atas tank tersebut agar tidak melihat kedatangan Tohir. Sambil bersembunyi Kohar merasakan hujan peluru berdesingan di dekatnya. Kohar menembak lagi dan langsung bersembunyi. Ia tidak memberi kesempatan kepada Belanda itu untuk menengok ke arah Tohir. Sayang, usahanya tidak bertahan lama. Belanda di atas tank itu tampaknya kesal oleh permainan kucing-kucingan tersebut.dan menghujani Kohar dengan ratusan peluru. Salah satu peluru Belanda bersarang di dada Kohar.
           “Mampus kau !” maki si Belanda. Pada saat itu tahu-tahu ada seseorang di dekat tanknya. Orang itu melemparkan sebuah benda yang lalu masuk kedalam tank. Dengan reflek si Belanda memberondongkan senapan mesinnya ke tubuh pejuang nekat itu. Pemuda itupun , yang tak lain adalah Tohir, menjadi korban keganasan peluru Belanda. Sedetik kemudian tank meledak bersama seluruh tentara Belanda yang ada di dalamnya.
           Melihat tank meledak, tentara Belanda mengamuk. Tank-tank yang lain menyalak. Tempat-tempat yang diduga menjadi persembunyian pejuang hancur lebur akibat tembakan tank. Kondisi perang seperti ini membahayakan pejuang Indonesia.
           Komandan pejuang segera mengambil keputusan cepat. “Mundur semua !”
           Semua pejuang mundur ke tempat aman sambil mengungsikan Kohar dan Tohir. Wajah-wajah mereka menunjukkan kesedihan atas nasib kedua temannya itu. Namun ada rasa bangga karena berhasil meledakkan tank Belanda. “Kita tidak mungkin menahan gerak maju Belanda. Tapi kita sudah puas bisa menghancurkan tank mereka”, ujar komandan pejuang.
           Pejuang-pejuang kita mengerubungi Tohir dan Kohar. Tak ada harapan hidup pada keduanya, namun bibir mereka tersenyum. Tangan Kohar mencari-cari tangan Tohir. Kohar menggenggam tangan sahabatnya itu erat-erat. Mungkin ia bermaksud meminta maaf kepadanya. Sepertinya Tohir mengerti maksud tersebut. Dengan susah payah Tohir merangkul Kohar.
           “Kamu berhasil...tanknya hancur...!” ujar Kohar dengan sisa-sisa nafasnya. Kedua orang itu berangkulan lebih erat dan tersenyum gembira lalu diam untuk selama-lamanya.
           Mata komandan pejuang berkaca-kaca. “Kalian bertengkar setiap hari, namun mengakhiri hidup dengan berpelukan. Kemerdekaan kita lebih penting daripada permusuhan pribadi.”