Senin, 01 Agustus 2011

Cara Menang Melawan Tank

Pengantar :
           Garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan nama tokohnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan.



           Kemerdekaan Indonesia yang dicapai dengan mengorbankan begitu banyak jiwa dan harta tidak dihargai oleh Belanda. Pada bulan Juli 1947 Belanda menyerang negeri kita dengan kekuatan besar yang dalam sejarah dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Kota demi kota jatuh ke tangan bangsa penjajah itu dan kini mereka bersiap-siap merebut kota Tegal, Jawa Tengah. Penduduk kota ini, seperti semua kota-kota lainnya, tidak mau dijajah kembali oleh bangsa mana pun. Mereka mempersiapkan diri untuk mempertahankan tanah tumpah darahnya dari serangan Belanda.
           Sore itu beberapa pemuda sedang beristirahat setelah melakukan latihan perang. Salah satu di antara mereka bersuara keras, “Menurutku senjata yang paling hebat adalah tank.”
           “Kamu salah, Kohar. Pesawat tempur lebih hebat daripada tank”, bantah seseorang.
           Kohar tak mau kalah. Ia berdalih, “Pesawat tempur bisa meledak oleh sebutir peluru yang tepat mengenai tangki bahan bakarnya. Sedangkan tank tak mempan meskipun dihujani jutaan peluru. Kamu pasti tahu itu, Tohir !”
           Tohir membalas dengan sesumbar, “Aku bisa menghancurkan tank. Aku tahu cara menang melawan tank.”
           “Caranya ?” ejek Kohar.
           “Cara ini membutuhkan sedikitnya dua orang. Orang pertama mendekati tank secara diam-diam. Orang kedua berusaha mengalihkan perhatian pengendara tank. Belanda akan menembaki orang kedua dan tidak melihat orang pertama yang tahu-tahu sudah ada di dekat tank. Orang ini kemudian memasukkan granat ke dalam tank dan …dhuarr !”
           “Jadi, orang kedua membiarkan dirinya mati konyol ditembaki Belanda ? Siapa yang mau ?” cibir Kohar.
           Adu mulut terus berlangsung. Kohar dan Tohir sering berbeda pendapat hampir dalam segala hal. Tiap hari ada saja yang mereka perdebatkan. Untunglah mereka tak pernah adu fisik gara-gara pertengkaran seperti itu.
           Kedua pejuang ini masuk dalam satu regu pasukan yang sama. Komandan pasukan pernah berpikir untuk memindahkan salah satu di antara mereka ke regu lain.
           “Saya khawatir permusuhan kalian berakibat buruk bagi kesatuan kita”, kilah komandan. “Jadi Tohir atau Kohar saya persilahkan pindah ke regu lain.”
           “Kami tidak bermusuhan, Pak”, bantah Kohar.
           “Kami hanya berbeda pendapat”, ucap Tohir mendukung pernyataan temannya. “Kami hanya berdebat.”
           “Ya, tapi kalian berdebat mirip orang mau berkelahi “ sesal komandan.
           “Tapi kami tak pernah berkelahi, Pak.”
           “Buat apa berkelahi dengan teman sendiri kalau di luar sana ada musuh yang mengancam kemerdekaan negeri kita”, jelas Tohir.
           “Bagaimanapun, sebaiknya kalian jangan ada dalam satu regu !” saran komandan.
           “Saya ingin tetap di regu ini, Pak”, tolak Kohar.
           “Rasanya sepi kalau sehari saja tidak bertemu Kohar”, tambah Tohir. Kedua pemuda itu menolak untuk dipindahkan.
           Komandan menghela nafas karena gagal membujuk mereka. Ia merenung, kadang permusuhan Kohar dan Tohir ada manfaatnya. Misalnya saja pada saat latihan perang kedua pemuda itu berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih unggul. Perilaku mereka bahkan mendorong semua anggota regu pejuang untuk lebih giat berlatih. Mereka tidak mau dikalahkan oleh Kohar maupun Tohir.
           “Baiklah. Kalian tetap satu regu, tapi harus berjanji tidak akan menimbulkan perpecahan dalam kesatuan kita !” demikian keputusan komandan regu.
           “Kami berjanji”, sahut kedua pejuang itu berbarengan.
           “Saya tidak membenci orangnya, tetapi saya tidak suka dengan sifatnya yang suka membantah,” jelas Tohir. Kata-katanya ditujukan kepada Kohar.
           “Aku tidak akan membantah kalau kamu tidak mengeluarkan pendapat yang aneh-aneh”, bela Kohar.
           “Kau bilang pendapatku aneh ? Kamu itu yang aneh !” bantah Tohir.
           Pertengkaran pun dimulai lagi. Komandan menggeleng-gelengkan kepala melihat polah kedua anak buahnya itu. Kapan kalian akan rukun, batinnya.
           Pada tanggal 26 Juli 1947, bertepatan dengan 7 Ramadhan, tentara Belanda memasuki kota Tegal. Kohar dan kawan-kawan menyusun rencana menyerang Belanda. Tampak di antara mereka adalah Tohir. Ia bernafsu ingin melaksanakan idenya meledakkan tank. Tapi siapa orang kedua yang akan mengalihkan perhatian pengendara tank ?
           Kohar mendekati Tohir. “Hir, kuperingatkan ! Buang jauh-jauh ide konyolmu itu ! Kau tak bisa meledakkan tank dengan granat.”
           Tohir nyengir. “Kamu tidak perlu campur tangan. Aku tidak memintamu untuk membantuku.”
           “Dengar, Hir ! Aku berkata begini bukan karena membencimu. Aku tak mau kau mati sia-sia. Sebelum kau berhasil mendekati tank, Belanda akan melihat kedatanganmu dan menembakimu,” ujar Kohar.
           “Itu resiko menjadi pejuang”, jawab Tohir. “Sudahlah, Har. Aku akan meminta kawan-kawan kita – bukan kamu – untuk mengalihkan perhatian pengendara tank sementara aku mendekati tank itu.”
           “Dasar keras kepala !” gerutu Kohar. “Tak ada orang yang mau menjadi pengalih perhatian. Itu sama saja menjadi sasaran peluru musuh.”
           Pejuang-pejuang yang lain sependapat dengan Kohar. “Benar, Hir ! Buang mimpimu meledakkan tank. Idemu sulit dijalankan”, komentar salah seorang di antara mereka.
           “Kita laksanakan serangan sesuai rencana. Kita serang Belanda secara mendadak, lalu jika mereka membalas kita bersembunyi.”
           “Ayo, sekarang kita bersembunyi di posisi yang sudah ditentukan !” teriak komandan regu.
           Iring-iringan tentara Belanda semakin dekat. Di pertigaan jalan di Dukuh Turi, Tegal, rombongan tentara penjajah ini dihadang oleh pejuang-pejuang Indonesia. Meskipun jumlah pejuang kita sedikit, namun Belanda merasa kewalahan. Dari tempat tersembunyi pasukan Indonesia menembaki tentara Belanda. Begitu mendengar suara letusan senjata, beberapa orang tentara Belanda buru-buru berlindung di balik tank.
           “Sial, kita tidak tahu di mana lokasi perusuh-perusuh republik !” gerutu salah seorang di antara Belanda itu. Ia melihat serumpun semak bergoyang-goyang di seberang jalan. Segera saja ia memberondong ke arah semak-semak tersebut dengan harapan mengenai orang yang bersembunyi di situ. “Rasakan peluru-peluruku !” teriaknya namun kemudian ia mengaduh kesakitan.
           Entah dari mana datangnya sebuah peluru menembus lengan tentara Belanda itu. Noda merah tampak di lengan seragam tentaranya. Tentara Belanda yang lain marah melihat temannya tertembak. Mereka menghamburkan peluru ke segala arah.
           “Keluar kalian ! “ teriak seorang Belanda. Tak ada seorang pun yang muncul. Ia mengulangi lagi seruannya. “Hai, kamu yang bosan hidup, keluar !”
           Tak ada jawaban. Ia berteriak sekali lagi dan kali ini ia mendapat jawaban. Namun bukan pejuang yang muncul melainkan sebutir peluru ! Begitu mendengar suara tembakan tentara Belanda itu segera merebahkan diri. Tetapi ia kurang cepat, sebutir peluru mengenai kepalanya. Wajah Belanda itu pucat.
           “Aduh, aku tertembak !” keluhnya. Ia merasakan kepalanya pening dan pandangannya berkunang-kunang. Oh, beginikah rasanya kalau akan mati ?
           Seorang kawannya memandanginya dengan melotot. “Jangan cengeng ! Kamu baik-baik saja. Ayo berdiri !”, bentak kawannya itu. “Peluru itu mengenai topi bajamu.”
           Wajah pucat tentara Belanda itu merah karena malu. “Dari mana datangnya asal tembakan tadi ?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian orang-orang.
           Tentara Belanda yang lain menjawab sambil menunjuk, “Kurasa dari balik pepohonan di sana !”
           Pohon yang ditunjuk kemudian menjadi sasaran peluru-peluru Belanda. Mereka menembakinya sambil mendekat ke tempat itu. Untung pejuang yang semula bersembunyi di situ sudah menyingkir.
           Kohar bersembunyi di balik pepohonan dengan senapan siap di tangan. Ia melihat Tohir sedang merayap-rayap mendekati sebuah tank. Seorang tentara Belanda tampak duduk di atas tank itu sambil menggenggam senapan mesin.
           “Dasar Tohir bodoh,” gerutu Kohar dalam hati. “Anak itu kalau dilarang malah nekat. Bila Belanda melihat Tohir tamatlah riwayatnya”.
           Kohar menembak Belanda yang duduk di atas tank tersebut agar tidak melihat kedatangan Tohir. Sambil bersembunyi Kohar merasakan hujan peluru berdesingan di dekatnya. Kohar menembak lagi dan langsung bersembunyi. Ia tidak memberi kesempatan kepada Belanda itu untuk menengok ke arah Tohir. Sayang, usahanya tidak bertahan lama. Belanda di atas tank itu tampaknya kesal oleh permainan kucing-kucingan tersebut.dan menghujani Kohar dengan ratusan peluru. Salah satu peluru Belanda bersarang di dada Kohar.
           “Mampus kau !” maki si Belanda. Pada saat itu tahu-tahu ada seseorang di dekat tanknya. Orang itu melemparkan sebuah benda yang lalu masuk kedalam tank. Dengan reflek si Belanda memberondongkan senapan mesinnya ke tubuh pejuang nekat itu. Pemuda itupun , yang tak lain adalah Tohir, menjadi korban keganasan peluru Belanda. Sedetik kemudian tank meledak bersama seluruh tentara Belanda yang ada di dalamnya.
           Melihat tank meledak, tentara Belanda mengamuk. Tank-tank yang lain menyalak. Tempat-tempat yang diduga menjadi persembunyian pejuang hancur lebur akibat tembakan tank. Kondisi perang seperti ini membahayakan pejuang Indonesia.
           Komandan pejuang segera mengambil keputusan cepat. “Mundur semua !”
           Semua pejuang mundur ke tempat aman sambil mengungsikan Kohar dan Tohir. Wajah-wajah mereka menunjukkan kesedihan atas nasib kedua temannya itu. Namun ada rasa bangga karena berhasil meledakkan tank Belanda. “Kita tidak mungkin menahan gerak maju Belanda. Tapi kita sudah puas bisa menghancurkan tank mereka”, ujar komandan pejuang.
           Pejuang-pejuang kita mengerubungi Tohir dan Kohar. Tak ada harapan hidup pada keduanya, namun bibir mereka tersenyum. Tangan Kohar mencari-cari tangan Tohir. Kohar menggenggam tangan sahabatnya itu erat-erat. Mungkin ia bermaksud meminta maaf kepadanya. Sepertinya Tohir mengerti maksud tersebut. Dengan susah payah Tohir merangkul Kohar.
           “Kamu berhasil...tanknya hancur...!” ujar Kohar dengan sisa-sisa nafasnya. Kedua orang itu berangkulan lebih erat dan tersenyum gembira lalu diam untuk selama-lamanya.
           Mata komandan pejuang berkaca-kaca. “Kalian bertengkar setiap hari, namun mengakhiri hidup dengan berpelukan. Kemerdekaan kita lebih penting daripada permusuhan pribadi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar