Kamis, 14 Juli 2011

Mempertahankan Kemerdekaan di Tengah Kobaran Api

Pengantar :
           Garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan nama tokoh (kecuali Kapten Sudibyo) rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Pada bulan Maret 1947 satu peleton laskar rakyat dipimpin Kapten Sudibyo dikirim dari kota Tegal ke Semarang Barat. Orang-orang Tegal ini bertekad membantu rakyat Semarang mengusir penjajah Belanda dari kota itu. Laskar rakyat Tegal belum mengenal medan ketika pada suatu hari, jam lima pagi, mereka disergap oleh satu kompi tentara Belanda bersenjata lengkap.
           Serangan mendadak tentara Belanda membuat pejuang kita panik. Kapten Sudibyo berusaha keras agar formasi pasukannya tidak berantakan.
           “Barisan depan mundur, barisan belakang melindungi !” teriak Kapten Sudibyo. Berkat kecerdikannya ditambah semangat juang anak-anak buahnya mereka bisa bertahan. Bahkan laskar rakyat ini berhasil memukul balik tentara Belanda. Belanda makin gencar menyerang, demikian pula para pejuang republik. Pertempuran menjadi imbang.
           Beberapa prajurit Tegal merayap-rayap mendekati musuh. Setelah mendapat posisi yang menguntungkan, Saleh, salah seorang pejuang kita, menembaki tentara Belanda. Hal serupa dilakukan Udin. Keduanya menyerang Belanda dengan penuh semangat, bahkan terlalu bersemangat hingga mengabaikan keselamatan sendiri.
           “Mampus, kau !” maki Saleh ketika bidikannya tepat mengenai seorang tentara Belanda. Sementara itu di tempat yang terpisah agak jauh darinya, Udin tampak tersenyum-senyum. Rupanya ia gembira karena berhasil merobohkan beberapa orang Belanda dengan pelurunya.
           Sinar matahari bertambah terang sejalan dengan waktu. Medan perang yang semula remang-remang menjadi lebih jelas. Kapten Sudibyo mencermati keadaan sekelilingnya. Ilalang tumbuh lebat di mana-mana. Pasukannya memanfaatkan semak liar itu sebagai tempat persembunyian. Peluru-peluru berdesingan menerobos ilalang.
           Kapten Sudibyo merasakan keganjilan medan perang tersebut. Ilalang merupakan tempat persembunyian yang baik sekaligus berbahaya. Apalagi pada cuaca kering seperti hari itu. Api yang kecil sudah cukup untuk memicu kebakaran di tempat tersebut. Bagaimana bila Belanda membakar ilalang ? Menyadari kenyataan ini, ia berteriak sekeras-kerasnya, “Mundur semua ! Keluar dari ilalang !”
           Laskar rakyat mundur terburu-buru namun dengan gerakan yang teratur. Sayang mereka terlambat. Apa yang ditakutkan terjadi. Tentara Belanda membakar ilalang. Api dengan cepat merambat ke segala arah. Pasukan Indonesia terkepung api !
           Sungguh malang nasib pejuang-pejuang kita yang terlanjur terlalu dekat dengan musuh. Didorong oleh semangat juang yang berlebihan, Saleh dan Udin mendekati tentara Belanda. Semangat mereka makin menyala-nyala setelah berhasil merobohkan beberapa orang Belanda. Keduanya terlalu asyik hingga kurang mendengar aba-aba Kapten Sudibyo untuk mundur. Keadaan sudah terlambat ketika mereka hendak mundur. Keduanya terpana melihat kobaran api. Di depan mereka tentara Belanda yang siap menghabisinya, sedang di belakang mereka api yang ganas ! Dua pilihan yang sama-sama sulit. Manakah yang akan dipilih Saleh dan Udin ? Ditembus peluru Belanda atau dipanggang api ?
           Belanda menghamburkan peluru ke arah kobaran api. Pejuang Saleh membalas tembakan sambil menghindari amukan api. Ia melihat ada celah yang bisa diterobos karena tempat itu tidak terbakar. Sambil merunduk ia berlari ke tempat itu. Malang, gerakannya terlihat oleh Belanda. Hujan peluru berhamburan ke tubuh Saleh. Begitu mendengar suara rentetan senjata musuh, Saleh menjatuhkan dirinya ke bumi.
           “Aduh, kakiku sakit !” rintih Saleh. Ia memeriksa tubuhnya sendiri. Tak ada yang terluka kecuali kedua kakinya. Luka-luka pada kedua kakinya tersebut tidak memungkinkannya untuk berdiri, apalagi berjalan. Bagaimana aku bisa keluar dari kepungan api dengan kaki begini, pikir Saleh. Akankah Saleh hangus terpanggang ?
           Nasib sial juga dialami Udin. Ia sedang membidik Belanda ketika api menjalar di sekelilingnya. Ia mundur teratur mengikuti perintah komandannya. Asap pekat menyelubungi Udin hingga ia terbatuk-batuk. Matanya perih terkena asap panas. Tindakannya menggosok-gosok mata malah menambah parah.
           Asap pekat yang panas kembali menerpa wajah dan matanya. Pandangan mata Udin menjadi kabur. Berkali-kali ia mengedipkan mata dengan harapan penglihatannya menjadi normal lagi. Sayang, kenyataan tidak seperti yang diharapkan. Udin merasa sakit jika membuka mata.
           “Aku buta. Oh, Tuhan, tolong aku !” gumamnya.
           Tanpa bisa melihat Udin berusaha menyelamatkan diri dari api. Ia berjalan lurus menuju garis belakang. Namun tanpa disadarinya, ia berbelok-belok tanpa arah yang jelas. Udara panas memanggang tubuhnya. Beberapa kali ia menginjak api hingga pakaiannya terbakar. Dengan panik Udin mematikan api yang menjalari celana dan bajunya itu. Dapatkah Udin menghindari kematian yang siap menjemputnya ?
           Sementara itu api makin mendekati Saleh. Pemuda ini merayap-rayap menuju tempat yang kosong. Lama-lama di tempat ini ia merasakan hawa panas yang amat sangat. Lehernya seperti dicekik akibat kesulitan bernafas di tengah-tengah asap. Aku harus keluar dari kepungan api ini, batin Saleh.
           Saleh merayap-rayap lagi hingga tenaganya terkuras habis. Pakaiannya hangus di beberapa bagian. Di bagian-bagian tersebut kulitnya melepuh. Ia hampir menyerah ketika samar-samar dilihatnya Udin sedang berjalan dengan kedua tangan meraba-raba.
           Mengapa Udin melangkah ke arah tentara Belanda dan berjalan seperti orang buta, tanya Saleh pada dirinya sendiri. Udin tak bisa melihat, demikian kesimpulan Saleh.
           “Din, berhenti !” teriak Saleh sekuat tenaga. “Kalau maju terus kamu bisa ditangkap tentara Belanda.”
           “Aku tak bisa melihat ! Saleh, kamukah itu ?” tanya Udin. “Mengapa kamu di sini saja ? Mengapa kamu tidak mundur ?”
           “Kedua kakiku terluka”, balas Saleh. “Aku tak bisa berjalan.”
           Dengan mengikuti suara Saleh, Udin tiba di tempat sahabatnya itu. “Aku buta,” ujar Udin. Udin duduk di samping Saleh. “Aku sudah lelah. Aku merasa sudah berjalan cukup jauh namun ternyata hanya berputar-putar. Aku tak bisa melihat.”
           “Kita tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi”, ujar Saleh.
           “Tapi, bagaimana cara kita keluar dari neraka ini ?” tanya Udin pesimis.
           “Kamu bisa selamat jika berjalan lurus ke arah sana”, kata Saleh sambil menepuk tangan kiri Udin. “Berdirilah, nanti kutunjukkan arahnya !”
           “Ah, terima kasih ! Tapi aku tak bisa melihat. Aku khawatir tidak bisa berjalan lurus tanpa bantuan penglihatan”, ujar Udin.
           “Jangan putus asa dulu. Cobalah !” bujuk Saleh.
           “Bagaimana dengan kamu sendiri ?”
           “Aku tak bisa ke mana-mana. Kakiku terluka. Tinggalkan aku !”
           Udin mendesah, ia tidak bisa membiarkan sahabatnya mati terpanggang. Saat ia melamun seperti itu, Saleh membentaknya, “Cepat pergi sebelum apinya bertambah besar !”
           “Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Saleh, kita keluar bersama-sama dari api ini . Ayo, naiklah ke punggungku. Aku menggunakan kaki sedang kamu memakai matamu !” usul Udin. Ia segera menggendong Saleh.
           “Jalan ke kiri !” Saleh memberi petunjuk sambil memeluk leher Udin.
           “Terus lurus saja !”
           “Awas ada api, belok kanan !”
           Sambil menggendong sahabatnya, Udin berlari di antara kobaran api. Ia tidak takut salah jalan meski matanya tidak bisa melihat. Ia melihat melalui mata sahabatnya yang saat itu ada di punggungnya. Demikian pula Saleh. Semula ia tidak menyangka bisa keluar dari medan perang yang berbahaya itu. Saleh berlari dengan kedua kaki orang yang menggendongnya.
           Akhirnya dengan kerjasama yang bagus kedua pemuda itu tiba di garis belakang. Kawan-kawannya menyambut Saleh dan Udin dengan teriakan merdeka. Keduanya segera dilarikan ke pos kesehatan tentara Indonesia. Nasib mereka lebih baik dibandingkan empat orang pejuang yang hilang, dua orang tertangkap Belanda dan empat pemuda yang gugur dalam pertempuran ini.
           Berbeda dengan Kapten Sudibyo yang namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di kota Tegal, pejuang-pejuang yang tertangkap dan gugur itu menjadi pahlawan yang terlupakan. Nama-nama mereka boleh dilupakan, namun semoga jasa-jasanya selalu diingat oleh mereka-mereka yang menikmati hasil perjuangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar