Minggu, 14 Agustus 2011

Merah Putih Berkibar di Tegal

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Proklamasi kemerdekaan telah dibacakan oleh Sukarno-Hatta, tetapi Tegal, sebuah wilayah di Jawa Tengah, masih dikuasai Jepang. Para pemuda ingin menyambut proklamasi dengan mengibarkan Merah Putih, apapun resikonya. Mereka sudah membujuk walikota Tegal untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat luas. Namun walikota menolak karena tidak diijinkan penguasa Jepang.
           “Kita tidak bisa mengharapkan walikota. Ia takut pada Jepang,” ujar seorang pemuda.
           “Kita harus bertindak sendiri. Kita turunkan bendera Jepang dan kibarkan Merah Putih. Kita beritahu semua orang bahwa Indonesia sudah merdeka !” usul pemuda yang lain.
           Wajah mereka gembira mendengar kata merdeka, sebuah kata yang hilang dari kehidupan rakyat selama lebih dari 350 tahun. Tak mengherankan jika mereka sangat bersemangat menyambut kemerdekaan negerinya, meskipun senjata-senjata Jepang mengancamnya. Masalahnya, sebagian besar rakyat Indonesia belum mengetahui berita proklamasi kemerdekaan dan sebagian lagi menganggapnya kabar bohong belaka. Hal ini disebabkan penguasa Jepang menutup-nutupi fakta bahwa negeri kita telah merdeka.
           Hari itu, 26 Agustus 1945, sebelas pemuda dipimpin Mohamad Yusuf mendatangi kantor walikota Tegal untuk meminta bendera.
           “Kami tidak meminta Bapak untuk melawan Jepang. Kami hanya minta bendera Merah Putih. Kami akan mengibarkannya, dengan atau tanpa bantuan Bapak”, ujar Yusuf.
           “Saya mendukung tindakan kalian, tapi bersabarlah. Tunggu sampai ada ijin dari Jepang !” jawab walikota.
           “Jepang tidak akan mengijinkan. Mereka kalah perang dan sedang menunggu kedatangan tentara Sekutu. Saat itu negara kita akan diserahkan kepada Sekutu”, ujar Yusuf.
           “Bila kalian nekat, jangan salahkan saya bila Jepang marah dan menembak kalian. Ingatlah keselamatan kalian !” bujuk walikota.
           “Terima kasih atas perhatian Bapak. Tapi keselamatan negara kita jauh lebih penting dari pada keselamatan kami”, jawab Yusuf.
           “Kalau kita terlambat bertindak, bisa-bisa kita dijajah lagi”, tambah pemuda lain.
           Walikota menghela nafas. Setelah melalui perdebatan sengit akhirnya ia terpaksa menyetujui keinginan para pemuda itu. “Baiklah, saya akan beri kalian bendera. Tapi saya tidak bertanggung jawab bila Jepang marah.”
           “Dasar penakut !” maki seorang pemuda kesal. Kadarisman namanya. Kelak dalam sebuah pertemuan antara walikota dengan masyarakat Tegal, Kadarisman kembali mencaci-maki walikota atas sikapnya yang penakut. Saat itu walikota sangat malu, namun ia tetap kokoh pada pendiriannya : tidak mau mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanpa ijin Jepang. Kelak walikota baru bersedia mengumumkan proklamasi setelah diculik oleh pemuda-pemuda kita dan setelah mendapat jaminan keamanan.
           Makian Kadarisman membuat wajah walikota merah. Bagaimanapun, ia akhirnya memberikan bendera Merah Putih yang langsung diterima oleh Kadarisman.
           Begitu keluar dari balai kota, tampaklah secara menyolok bendera Jepang berkibar di gedung tak jauh dari mereka. Yusuf menuding bendera Hinomaru tersebut sambil berkata, “Pertama-tama kita akan menurunkan bendera Jepang itu dan menggantinya dengan Merah Putih.”
           Ia melangkah dengan mantap menuju gedung yang merupakan rumah penjara. Tempat ini paling ditakuti orang-orang Tegal karena kekejaman yang berlangsung di dalamnya dan dipimpin oleh seorang perwira Jepang berwajah sangar. Perwira Jepang itu kaget melihat anak-anak muda pribumi masuk ke kantornya.
           “Siapa yang menyuruh kalian ?” tanyanya dengan suara menggelegar. Suaranya membuat kesan seram menjadi lebih kuat. Yusuf tidak menjawab. Ia membungkuk hormat.
           “Tuan Jepang, kami minta ijin untuk mengibarkan bendera Merah Putih,” ujar Yusuf.
           “Tidak boleh !” jawab perwira Jepang itu tegas. “Kalian tahu, hal itu dilarang.”
           “Indonesia sudah merdeka. Tidak ada yang bisa melarang orang mengibarkan benderanya sendiri,” Yusuf mengemukakan alasannya. Perwira Jepang itu terdiam. Alasan Yusuf memang tepat, tetapi Jepang itu tidak mau kehilangan wibawa.
           “Kalian dibohongi kalau percaya bahwa Indonesia sudah merdeka”, ujar perwira Jepang itu dengan suara meyakinkan. “Sesuai janji, kerajaan Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi bukan sekarang karena kalian belum siap. Tunggu beberapa minggu lagi. Sekarang pulanglah !”
           Yusuf tersenyum mendengar bujukan itu. “Bapak tidak bisa membohongi kami. Walaupun Jepang melarang keberadaan radio,namun kami berhasil menyembunyikan beberapa di antaranya. Kami telah mendengar dari radio bahwa Sukarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus yang lalu. Kami juga tahu dari berita radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.”
           “Kami ingin merayakan kemerdekaan negeri kami dengan mengibarkan bendera Merah Putih”, ujar Yusuf lagi.
           “Sudah kubilang tidak bisa ! Pergilah dan bawa pulang benderanya sebelum aku menangkap kalian semua! ” bentak perwira Jepang itu sambil mencabut pistol yang kemudian diletakkan di atas meja. Maksudnya jelas, ia ingin menakut-nakuti para pemuda.
           “Kami akan pergi setelah keinginan kami tercapai,” ujar Yusuf.
           Tiba-tiba wajah Jepang itu menjadi lebih menakutkan demi mendengar perkataan tersebut. Ia berdiri mengambil pistolnya dan menodongkannya tepat ke jidat Yusuf. Rasa takut merasuk ke dalam jiwa pemuda ini, sedangkan salah seorang temannya menyeret-nyeret lengan Yusuf agar keluar.
           “Sudah lama aku tidak menembak orang. Jaga sikapmu, jangan sampai kamu membangkitkan nafsu membunuhku !” bentak perwira Jepang itu. Keributan di ruang kantor penjara menarik perhatian serdadu-serdadu Jepang lainnya. Mereka menyerbu masuk kantor dengan senjata siap ditembakkan.
           “Baik, Pak. Kami akan pergi,” kata Yusuf setelah menilai bahwa situasinya tidak menguntungkan.
           Para pemuda kita terpaksa angkat kaki. Di lapangan penjara mereka melihat bendera Hinomaru berkibar dengan angkuh. Yusuf membayangkan alangkah gagahnya jika yang berkibar adalah Merah Putih. Jiwa patriotismenya berkobar. Demi mengibarkan Merah Putih ia mengabaikan rasa takut yang baru saja menghinggapinya di ruang kantor penjara tadi.
           “Kawan-kawan, kita tidak akan pulang membawa bendera,” ujar Yusuf sambil menghentikan langkah teman-temannya. Pemuda pemberani itu menuju tiang bendera. Dengan cepat ia menurunkan bendera Hinomaru; sebuah tindakan nekat yang mengejutkan orang-orang Jepang. Beberapa serdadu Jepang berlarian ke arah Yusuf.
           “Anjing Jawa !” teriak seorang serdadu sambil menyeret Yusuf. Pemuda ini meronta-ronta namun sebuah tendangan sepatu mendarat di perutnya. Serdadu Jepang lainnya memukulkan popor senapan ke wajah Yusuf. Darah muncrat dari mulutnya. Dua orang kawannya yang ingin menolong malah mengalami nasib yang sama. Suasana menjadi kacau oleh bentakan, pukulan dan erang kesakitan.
           Kadarisman memperhatikan orang-orang Jepang yang sedang menyiksa kawan-kawannya. Jepang tidak memperdulikan bendera Hinomaru yang tergeletak di tanah. Memanfaatkan kesempatan ini, Kadarisman berlari ke arah bendera Hinomaru dan langsung melepaskannya dari tali pengikat. Secepat kilat ia memasang Merah Putih pada tali pengerek bendera. Berdua dengan temannya, ia berusaha menaikkan bendera. Sayang, belum apa-apa seorang perwira Jepang melihat perbuatan mereka.
           “Hentikan !” teriak perwira Jepang itu sambil melepaskan tembakan ke udara. Kini moncong senjatanya diarahkan ke tubuh Kadarisman. “Bergerak sedikit lagi, kamu mati !” ancamnya.
           Kadarisman tidak bisa berkutik. Tak disangka, kawannya yang semula memegangi bendera melangkah agar bisa berdiri tepat di antara Kadarisman dan moncong senjata Jepang. “Man, naikkan saja benderanya. Biar aku menjadi tamengmu !” bisik pemuda ini.
           Keadaan menjadi gawat. Lebih gawat lagi ketika tak lama kemudian beberapa tentara Jepang mengepung pemuda-pemuda kita. Jepang-Jepang ini menodongkan senjatanya. Mereka menunggu perintah untuk menembak. Apakah hari itu akan terjadi pembantaian sebelas pemuda Tegal yang tak bersenjata sama sekali ?
           Kegaduhan di halaman penjara menarik perhatian semua orang, terutama orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai pegawai penjara. Mereka ngeri melihat nasib yang akan menimpa para pemuda, namun tidak bisa berbuat apa pun mengingat senjata-senjata Jepang yang tak kenal iba.
           Yusuf bangkit dengan wajah dan baju berlepotan noda darah. Hatinya kecut melihat kemarahan tentara Jepang yang siap mencabut nyawa dirinya dan kawan-kawannya. Dilihatnya tiang bendera sudah kosong. Bendera Hinomaru sudah turun, sedangkan Merah Putih siap dikibarkan di bawah ancaman senjata Jepang.
           Melihat Merah Putih yang siap dikibarkan membuat jiwa patriotisme Yusuf menyala-nyala, mengalahkan rasa takut mati. Ia melangkah perlahan-lahan mendekati tiang bendera. Tangannya meraih tali dan menariknya. Bendera Merah Putih yang dipegang Kadarisman terbentang akibat tarikan tali tersebut. Para pemuda berdiri tegak sambil menghormat Merah Putih. Lebih baik mati dalam kondisi menghormat bendera Merah Putih, demikian pikir mereka.
           Serentak semua tentara Jepang mengacungkan senjatanya ke arah para pemuda. Begitu mendengar aba-aba tembak, senjata-senjata itu siap meletus. Namun aba-aba tersebut tak kunjung terdengar. Sang komandan Jepang tertegun melihat keberanian anak-anak muda Indonesia. Jepang sangat menghargai sikap tak takut mati demi membela tanah air.
           Agak terburu-buru Merah Putih dinaikkan. Angin kencang membuat bendera ini berkibar dengan gagahnya. Beberapa pemuda menangis terharu. Inilah pertama kalinya mereka melihat Merah Putih berkibar.
           “Cepat kita pergi !,” bisik salah seorang pemuda. Sebelum pergi Yusuf berpesan kepada orang-orang Indonesia pegawai penjara agar menjaga bendera Merah Putih tersebut. Setibanya di luar gerbang mereka mendengar suara bergemuruh : merdeka, merdeka ! Itulah suara para tahanan yang melihat bendera Merah Putih berkibar. Tahanan lain menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
           Yusuf dan kawan-kawan melanjutkan aksinya. Di bawah ancaman senjata Jepang, mereka mengibarkan Merah Putih di gedung-gedung tertinggi seperti menara air minum di kota Tegal dan Brebes. Rakyat Indonesia di kedua kota itu gempar melihat bendera kebangsaannya berkibar. Kini mereka yakin akan kebenaran berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang selalu ditutup-tutupi oleh Jepang.

1 komentar:

  1. pemuda yaqub itu yang menurunkan bendera di tempat namanya pekas grabah... barat kantor pos. sumber dari buku terbitan legiun veteran kota tegal dengan penulis H Ahmad

    BalasHapus