Tentara Belanda
memburu pasukan pejuang pimpinan Letnan Sudirmo. Untuk maksud ini Belanda
menyebar mata-mata dan yang lebih disukai adalah mata-mata wanita. Mata-mata
wanita ini akhirnya tertangkap oleh pasukan Sudirmo. Berhubung wanita, Sudirmo
tidak tega untuk membunuh mata-mata tersebut dan cenderung merasa kasihan
padanya. Wanita ini ditahan di rumah penduduk dengan penjagaan seadanya. Pada
jam 8 malam, sang mata-mata melarikan diri setelah berpura-pura ingin kencing.
Larinya mata-mata ini berakibat fatal. Sekitar jam setengah tiga pagi, September
1947, berdasarkan laporan mata-mata wanita tsb., Belanda mengepung markas
pasukan Sudirmo.
Akhirnya Belanda
mengetahui lokasi markas pejuang pimpinan Let. Sudirmo. Pada awal September
1947, jam setengah tiga pagi, Belanda mengepung markas pejuang yang kebanyakan
sedang tidur. Saat itu Sersan Achmad mendapat
tugas jaga malam; ia merasakan firasat buruk namun tidak merasa curiga. Pada
saat pergantian petugas jaga malam, tentara Belanda menyergap markas pejuang.
Baru saja Sersan Achmad masuk ke dalam markas, pintu diketuk seseorang. Sersan Achmad membuka pintu dan langsung
ditodong dadanya oleh Belanda. “Menyerahlah, kalian sudah dikepung !”
Sersan Achmad
ditodong dadanya oleh tentara Belanda. “Kamu TRI (Tentara Republik Indonesia),
ya ?” bentak Belanda. “Ya !” jawab pejuang kita sambil menjatuhkan diri dan
berguling-guling untuk menghindari tembakan Belanda. Ia masuk ke kamar tempat
kawan-kawannya tidur. “Bangun semua, kita dikepung Belanda !”
Kopral Kasirun
bangun dan, karena kesadarannya belum pulih, ia keluar rumah seenaknya sehingga
diringkus tentara Belanda. “Jongkok !” perintah Belanda sambil menodong Kopral
Kasirun. Saat itu kesadarannya sudah pulih, ia jongkok dan....bagaikan kodok ia
meloncat ke kegelapan malam. Kopral Kasirun berhasil melarikan diri di
tengah-tengah berondongan peluru Belanda.
Di dalam markas
Sersan Achmad berunding dengan pejuang-pejuang lain. Mereka harus mengambil
keputusan cepat karena pasukan Belanda sudah menyerbu masuk ke dalam markas.
Berdasarkan pengamatan, mereka menyimpulkan bahwa sisi pengepungan yang
terlemah adalah yg dekat dengan Sungai Cacaban (markas pejuang terletak di tepi
sungai itu). Pejuang-pejuang kita menyerang tentara Belanda yang mengepung di
sisi tsb lalu dengan cepat membongkar
pagar samping rumah. Belanda menyadari
bahwa pejuang bermaksud meloloskan diri lewat pagar tsb, maka tempat itu diserang
habis-habisan. Tak terdengar suara tembakan balasan dari pejuang. Apakah mereka
sudah mampus semua, pikir Belanda. Belanda kecewa karena tidak menemukan satu
jenazah pun di tempat itu. Sersan Achmad dkk berhasil lolos dengan mencerburkan
diri ke Sungai Cacaban. Semua pejuang lolos kecuali satu orang yg tertinggal
dan kini ada di tengah-tengah tentara Belanda. Bagaimana nasibnya
?
Sersan Achmad
mengumpulkan semua kawan-kawannya yang selamat. Jumlah pejuang kurang satu, tak
lain tak bukan adalah Letnan Sudirmo, sang komandan sendiri. Saat disergap,
Let. Sudirmo sedang lelap tertidur akibat lelah. Ia terlambat bangun dan tidak
bisa bergabung dengan anak buahnya yang mencebur ke sungai. Markasnya dipenuhi
tentara Belanda yang marah. Tak ada jalan keluar bagi Let. Sudirmo, namun ia
tidak panik. Ia memiliki baju seragam tentara Belanda hasil rampasan. Ia
selesai memakai seragam tsb ketika beberapa tentara Belanda memergokinya.
Anehnya Belanda tidak menangkap Sudirmo. Mengapa ? Karena Let. Sudirmo
menggabungkan diri dengan pasukan Belanda dan ikut mengobrak-abrik markas. Pakaian dan figur pejuang kita ini mirip
Belanda, ditambah lagi fasih berbahasa Belanda. Selanjutnya ia menjauhkan diri
secara diam-diam dan bergabung kembali dengan pasukannya. Tak satu pun pejuang
yang tertembak atau tertangkap Belanda padahal sudah terkepung rapat.
Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab.
Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.