Kamis, 14 Agustus 2014

Merebut Kembali Kota Tegal

Dulu, pada tanggal 26 Juli 1947, pejuang membakar kota Tegal sebelum kota itu direbut Belanda. Pejuang meninggalkan kota Tegal setelah berjanji akan merebut kembali kota tersebut. Kini pada tanggal 4 Januari 1950 – setelah bergerilya selama dua setengah tahun, pejuang memenuhi janjinya : semua pejuang masuk ke dalam kota.

Belanda menyadari bahwa meskipun mereka dapat menduduki kota Tegal melalui Agresi Militer I, namun mereka tidak dapat mempertahankannya dari serangan pejuang. Dalam setiap pertempuran Belanda sangat sering kalah. Korban jiwa di pihak Belanda sudah sangat banyak. Maka sebelum mereka habis di medan perang, Belanda melepaskan kekuasaannya atas kota Tegal. Demikianlah, pejuang-pejuang Tegal memasuki kotanya tanpa perlawanan dari pihak musuh..

Tegal (dan seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua Barat) telah benar-benar merdeka. Perang sudah berakhir. Ribuan pejuang Tegal berbaris dari markasnya di hutan dan di gunung, turun ke jalan-jalan, masuk kembali ke kota kelahirannya. Mereka disambut meriah warga Tegal yang berdiri di sepanjang jalan. Merah Putih berkibar di seluruh penjuru kota, lagu-lagu perjuangan dan pekik merdeka tak henti dikumandangkan. Selamat datang, Pahlawan ! Sekali merdeka tetap merdeka !

Luapan kegembiraan, isak tangis dan haru bercampur menjadi satu mewarnai kembalinya pejuang-pejuang Tegal. Mereka gembira karena berhasil lepas dari cengkeraman penjajah, meskipun harus dibayar mahal dengan nyawa pahlawan yang gugur di medan perang. Isak tangis terdengar di antara keluarga yang kehilangan orang yang dicintainya, yang gugur sebagai kusuma bangsa dan kini menjadi pahlawan yang terlupakan.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Serangan Fajar di Kaligua

Pejuang-pejuang dari Batalyon III kembali ke Tegal pada bulan Januari 1949 setelah melakukan perjalanan panjang (longmarch) yang melelahkan dan berbahaya. Beberapa hari yang lalu mereka bersama anggota-anggota keluarganya disergap tentara Belanda dalam perjalanan longmarch tsb. (baca : Keluarga Pejuang Terjebak di Tengah Perang). Kesal dengan tindakan tentara Belanda yang menyergap pejuang padahal di tengah-tengah mereka ada wanita dan anak-anak, mereka berencana menyerang gudang senjata Belanda di Kaligua, Kabupaten Tegal. Lokasi gudang senjata ini sangat rahasia, tidak ada pejuang yang tahu. Masalah ini dipecahkan oleh kesediaan dua pemuda desa yang bersedia mencari lokasi gudang senjata ini. Rencana segera disusun : kompi 1, 2 dan 3 menyerang gudang senjata, sedangkan kompi 4 bersembunyi di dekat tanjakan jalan yang menghubungkan Kaligua dengan Bumiayu.

Jam 11 malam pejuang berangkat dengan dipandu oleh dua pemuda desa. Medan yang berbukit-bukit membuat perjalanan menjadi sulit, apalagi malam itu gerimis. Beberapa kali pejuang kita terpeleset ketika mendaki bukit akibat tanah yang becek. Rasa lelah dan pakaian kotor tidak mereka perdulikan. Apalah artinya semua itu dibandingkan dengan kemerdekaan ? Menjelang fajar semua pejuang telah menempati posisi masing-masing. Jam 4 pagi serangan fajar dimulai.

Sebenarnya Belanda sudah mengetahui kembalinya pejuang-pejuang Tegal dari longmarch, namun Belanda tidak mengira bahwa pejuang-pejuang yang masih kelelahan itu berani menyerang secepat ini. Apalagi Belanda yakin bahwa lokasi gudang senjata Kaligua tidak diketahui pejuang. Begitu pejuang-pejuang kita menyerang, Belanda segera menelepon markas besarnya di Bumiayu. Bala bantuan tentara Belanda dalam jumlah banyak segera dikerahkan ke Kaligua.

Fajar yang masih gelap di Kaligua di hari itu dipecahkan oleh suara tembakan dan ledakan. Belanda menghambur-hamburkan peluru senapan mesinnya ke segala arah. Granat dilemparkan ke lokasi-lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian pejuang. Persediaan amunisi Belanda sangat banyak, mereka tidak takut kehabisan peluru dan granat. Sebaliknya dengan pejuang kita yang pelurunya terbatas. Pejuang hanya menembak sasaran yang sudah jelas. Rupanya banyak pejuang kita yang jitu dalam menembak. Puluhan tentara Belanda tewas diterjang peluru pejuang. Paniklah Belanda, namun mereka mendapat berita gembira bahwa sebentar lagi bala bantuan dalam jumlah besar segera tiba dari Bumiayu.

Ketika pertempuran sengit pecah di gudang senjata Kaligua, iring-iringan kendaraan militer Belanda melaju cepat dari arah Bumiayu. Di sebuah tanjakan terjal yang menuju ke Kaligua, truk paling depan berhenti sehingga semua kendaraan di belakangnya juga berhenti. Tanjakan yang terjal ditambah kondisi jalan yang licin akibat gerimis menyulitkan gerak maju kendaraan-kendaraan militer. Raungan keras mesin truk tidak mampu menaklukan tanjakan tersebut. Pada saat itulah pejuang-pejuang dari kompi 4, yang sudah lama bersembunyi di tempat itu, beraksi.

Truk yang penuh tentara Belanda dan tidak bergerak menjadi sasaran empuk granat pejuang. Tentara Belanda dengan panik berloncatan keluar dari truk untuk menghindari granat, tetapi mereka kemudian menjadi sasaran empuk peluru pejuang. Sebenarnya, jumlah tentara Belanda jauh lebih banyak daripada pejuang, persenjataannya pun jauh lebih banyak dan lebih canggih daripada milik pejuang. Namun kondisi medan perang lebih menguntungkan pejuang kita. Tak ada jalan untuk selamat bagi tentara Belanda selain pulang kembali ke Bumiayu. Bala bantuan tentara Belanda itu tidak dapat menolong kawan-kawannya di gudang senjata Kaligua, bahkan menolong dirinya sendiri pun mereka kewalahan. Rasa takut dan geram mengiringi kepulangan bala bantuan tentara Belanda itu. Sebelum pulang, Belanda menelepon markas besarnya untuk mengirim pesawar tempur ke Kaligua.

Dua pesawat tempur Belanda terbang menuju lokasi pertempuran. Pilot-pilotnya berniat menghabisi semua pejuang untuk membalas kematian banyak tentara Belanda. Dalam hitungan menit kedua pesawat tempur itu sudah tiba di atas gudang senjata Kaligua. Pesawat-pesawat tempur itu memuntahkan ribuan peluru ke lokasi sekitar gudang senjata. Bom-bom dijatuhkan di tempat-tempat yang diduga menjadi lokasi pejuang. Hebat sekali serangan mereka, siapa saja yang ada di sekitar gudang senjata bisa dipastikan tewas. Tetapi serangan gencar kedua pesawat tempur ini sia-sia, hanya membuang amunisi saja. Ketika kedua pesawat tempur ini tiba di Kaligua, perang telah selesai. Pejuang kita sudah menyingkir jauh pada saat pesawat-pesawat tempur ini mengamuk.

Serangan fajar di Kaligua memberikan kemenangan yang gilang-gemilang bagi pejuang kita. Dalam perang ini di pihak pejuang tidak ada yang gugur, hanya satu orang yang terluka yaitu seorang pemuda penunjuk jalan yang tertembak pahanya. Pemuda desa ini hanya diberi tugas sebagai penunjuk jalan, tidak boleh ikut bertempur karena tidak memiliki senjata. Namun semangat patriotismenya yang tinggi mendorong pemuda ini maju ke garis depan meski hanya berbekal senjata tradisional. Pejuang bertanya-tanya : berapa jumlah tentara Belanda yang tewas dalam perang ini ? Pertanyaan tersebut baru diketahui pejuang dua hari kemudian. Belanda melaporkan bahwa 97 tentaranya tewas akibat serangan fajar di Kaligua.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Keluarga Pejuang Terjebak di Tengah Perang

Sesuai Perjanjian Renville, semua pejuang harus meninggalkan wilayah Tegal. Ketika Belanda melanggar perjanjian Renville, pejuang-pejuang kita kembali ke kotanya. Mereka melakukan perjalanan panjang bersama keluarga. Peristiwa ini dikenal dengan nama “longmarch” atau “hijrah”. Suatu hari di bulan Januari 1949 serombongan manusia yang kelelahan tampak berjalan pelan-pelan menuju Tegal. Mereka adalah pasukan batalyon III Tegal bersama keluarganya yang akan kembali ke kampung halaman. Sampai sejauh ini mereka belum tahu kalau maut tengah mengintai mereka....

“Berhenti !” ujar pemimpin rombongan. Perintahnya segera diteruskan ke semua orang. Anak-anak, wanita dan orang tua di dalam rombongan tersebut menyambut perintah berhenti dengan duduk untuk melepaskan lelah. Wajah mereka tidak dapat menyembunyikan perasaan takut. Benar saja, di depan sana tentara Belanda dalam jumlah besar dan bersenjata lengkap menghadang perjalanan pasukan hujrah. Sebenarnya hal ini sama sekali bukan masalah bagi pejuang seandainya tidak ada keluarga di tengah-tengah mereka. Akankah anak-anak dan wanita tak berdosa terjebak di tengah-tengah hujan peluru tentara Belanda ? Apa yang akan dilakukan tentara Belanda terhadap anak-anak dan wanita seandainya pejuang kalah dalam pertempuran itu ?

Atas perintah komandan, seorang pejuang memimpin anak-amak, wanita dan orang tua menjauhi kedudukan tentara Belanda. Setelah mengamankan anggota-angota keluarga, pejuang kita bergerak maju. Pertempuran berhadap-hadapan terjadi antara tentara Belanda yang masih segar-bugar melawan pejuang-pejuang Tegal yang kelelahan. Belanda dengan persenjataan canggih berhasil mendesak pejuang. Gerakan mundur pejuang bukanlah asal-asalan karena mereka menjauhkan tentara Belanda dari tempat persembunyian keluarga pejuang. Inilah pertempuran yang pertama kali antara pejuang Tegal melawan Belanda setelah Perang Kemerdekaan II.

Tentara Belanda terus mendesak pejuang-pejuang kita. Namun keunggulan Belanda hanya berlangsung sebentar. Tiba-tiba dari samping kanan dan kiri Belanda muncul sejumlah pejuang. Mereka menjepit Belanda dari tiga jurusan. Sebenarnya, sebelum perang dimulai pejuang Tegal dibagi menjadi tiga kelompok. Kompi I dan Kompi II diperintahkan langsung menghadapi Belanda, sedangkan Kompi III dan IV bergerak memutar. Ketika Kompi I dan II terdesak, Kompi III dan IV muncul dari samping kanan dan kiri tentara Belanda. Sekarang Belanda terdesak. Dengan rasa malu bercampur takut, tentara Belanda lari kocar-kacir meninggalkan medan perang. Seandainya tidak ada anak-anak dan wanita, ingin rasanya pejuangpejuang Tegal menghabisi tentara Belanda yang urang ajar itu. Cukuplah kemenangan tersebut memperkuat mental pejuang-pejuang Tegal. Meskipun pertempuran berlangsung sengit namun di pihak pejuang hanya gugur satu orang saja. Kopral Cholil gugur tertembak peluru jarak dekat seorang tentara Belanda keturunan Ambon. Semoga arwahnya diterima sebagai syuhada di sisi-Nya.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Hari Terpanjang di Tegal

Akibat Perjanjian Renville maka tidak ada pejuang di wilayah Tegal. Baru sekarang penjajah Belanda merasa aman. Selanjutnya Belanda mengadakan operasi besar-besaran di dalam kota dengan tujuan menangkap warga sipil yang tidak mendukung penjajah. Hari itu, Senin, tanggal 8 September 1948 merupakan hari terpanjang di kota Tegal. Hampir selama 24 jam ribuan warga sipil – dalam kondisi mengantuk, lelah dan lapar - dikumpulkan dan diinterogasi dengan cara-cara teror.

Hari terpanjang ini dimulai pukul 2 malam, hari Senin, 8 September 1948. Setiap jalan, bahkan setiap gang, dijaga tentara Belanda. Semua warga sipil laki-laki yang berusia 15 tahun ke atas diperintahkan keluar dari rumah dan digiring ke markas Belanda. Pedagang pinggir jalan, kusir dokar dan penunggang sepeda juga ditangkap. Barang dagangan dan dokar harus ditinggal begitu saja. Banyak warga yang hanya berkerudung sarung karena tidak diberi kesempatan untuk memakai baju. Belanda main pukul dan main tembak siapa saja yang berusaha lari. Mereka kemudian kumpulkan di markas polisi Belanda dan diinterogasi dengan cara-cara teror. Yang dicurigai dipenjara, sedang yang “bersih” dilepaskan setelah badannya diberi stempel-bakar bertuliskan MID. Interogasi baru selesai pada tengah malam ketika hari hampir menjadi Selasa dan selama itu mereka dibiarkan kelaparan, kehausan dan kelelahan.

Di antara mereka yang dilepaskan masih menghadapi masalah baru : banyak barang dagangan, dokar dan sepeda hilang. Siapa pencurinya ? Pada saat operasi pembersihan seperti itu mana ada warga sipil yang berani mencuri ? Resikonya sangat besar mengingat banyaknya tentara Belanda yang gampang main tembak. Pencurinya siapa lagi kalau bukan tentara Belanda dan antek-anteknya ! (Penjajah Belanda suka merampas bahan makanan milik rakyat, baca : Operasi Militer Menangkap “Teroris”).

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Sepasang Mata Bola

Berdasarkan Perjanjian Renville maka pejuang-pejuang Tegal harus meninggalkan daerah tersebut, sebuah peristiwa yang dikenal sebagai “hijrah”. Bagi Belanda, hijrah berarti bernafas lega karena orang-orang yang mereka takuti sudah pergi. Bagi pejuang, hijrah dimanfaatkan untuk mengkonsolidasi pasukan yang selama ini bercerai-berai. Ribuan pejuang Tegal meninggalkan kampung halaman, ada yang berjalan kaki, ada pula yang diangkut dengan truk Belanda. Sebagian pasukan hijrah naik kereta api menuju ibu kota Republik Indonesia, Jogjakarta. Kedatangan pejuang di kota ini mengilhami Ismail Marzuki dalam mengarang lagu “Sepasang Mata Bola” :
Hampir malam di Jogja, ketika keretaku tiba.
Remang-remang cuaca, terkejut aku tiba-tiba.
Dua mata memandang, seakan-akan dia berkata
Lindungi aku (bumi pertiwi) pahlawan, daripada si angkara murka (penjajah Belanda).

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Peringatan HUT RI Pada Jarak 9 Km dari Markas Belanda

Dasar wong Tegal tak kenal takut, mereka memilih tempat untuk upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-2 (tahun 1947) di lokasi yang berjarak hanya 9 km dari markas Belanda. Padahal kerumunan orang di tempat terbuka merupakan sasaran empuk pesawat tempur Belanda. Rupanya Belanda takut juga, jangan-jangan pejuang sudah menyiapkan jebakan jika diserang.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Menyerbu Markas Belanda di Pemalang

Pejuang kita di Pemalang biasanya main kucing-kucingan dengan Belanda : serang dan lari. Hasilnya lumayan : banyak tentara Belanda yang mati, sementara pejuang yang gugur hanya satu orang. Kali ini pejuang Pemalang tidak main kucing-kucingan : menyerang markas militer Belanda dan tak akan lari. Tanggal 15/11/1947, tepat pukul 00.00 markas Belanda diserang pejuang. Pertempuran berlangsung sampai fajar; di sini pejuang berhasil merampas beberapa pucuk senjata musuh, 25 tentara Belanda tewas sedangkan di pihak pejuang yang gugur hanya 1 orang, yaitu Sersan Rorong. Beliau adalah komandan pejuang yang menyerbu markas Belanda.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Rambo Beraksi di Brebes

Bila membaca sejarah perang kemerdekaan di Tegal dan Brebes, kita akan menemui seorang tokoh pejuang. Namanya Murdjan Komara, hobinya menghadang patroli Belanda. Sebagian anak buahnya ada yang merupakan bekas maling dan Murdjan Komara akan membunuhnya bila berani mencuri dari rakyat. Ia sangat membenci penghianat bangsa, di antaranya adalah pamannya sendiri dan seorang asisten wedana Brebes. Bagaikan Rambo ia beraksi menyusup ke rumah kedua pengkhianat itu dan membunuh mereka. Jangan pernah jadi pengkhianat bangsa, demikian pesannya.

Menara air minum merupakan bangunan tertinggi di Brebes pada jaman perang kemerdekaan. Di atas puncaknya, Belanda mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru ukuran besar. Bendera penjajah ini berkibar dengan sombongnya di ketinggian yang bisa dilihat oleh banyak penduduk Brebes. Sebagai obyek vital, menara air minum tersebut dijaga tentara Belanda. Suatu pagi tentara Belanda marah dan terpaksa memberondong bendera tersebut hingga robek-robek. Apa yang terjadi ? Bendera sombong itu telah kehilangan warna birunya; yang berkibar dengan gagah di atas sana adalah Merah-Putih ! Malam sebelumnya, pejuang kita Murdjan Komara beraksi bagaikan Rambo menyusup ke kompleks menara, melumpuhkan tentara Belanda dan merobek bagian bendera yang berwarna biru.

Ulah Murdjan Komara memusingkan tentara Belanda yang menjajah Brebes. Belanda mengeluarkan sayembara yang isinya hadiah uang 12 ribu gulden bagi siapa saja yang bisa menangkapnya, hidup atau mati. Sayembara ini disambut antusias oleh seorang polisi Belanda asal Indonesia, Djamhari. Polisi ini mengerahkan anak buahnya untuk menangkap Murdjan Komara. Sebaliknya, Murdjan Komara berusaha menculik Djamhari. Usaha menculik Djamhari gagal karena ia selalu tidur di markas tentara Belanda yang dijaga ketat. Suatu siang mata-mata Belanda mengabarkan bahwa Murdjan Komara sedang makan di sebuah warung di daerah pendudukan Belanda. Djamhari tidak menyia-nyiakan kesempatan ini; bersama puluhan anak buahnya ia mengepung warung tersebut. Apakah ini akhir riwayat Rambo kita ?

Murdjan Komara yang sedang makan di warung dikepung polisi Belanda. Sekali lagi, Murdjan Komara menunjukkan aksi Rambo-nya dan berhasil lolos. Dalam pergumulan, dompet Murdjan Komara terjatuh. Belanda menyita dompet tersebut, siapa tahu ada informasi penting tentang lokasi persembunyian Murdjan Komara. Benar saja, sebuah surat penting yang ditanda tangani Murdjan Komara ditemukan dalam dompet itu. Namun Belanda terkejut karena surat itu berisi ucapan terima kasih atas pengiriman beberapa dus peluru bantuan dari Djamhari kepada pejuang Indonesia. Akibatnya, Djamhari dihukum tembak mati oleh militer Belanda.

Perstiwa pengepungan tsb sebenarnya sudah direncanakan oleh Murdjan Komara. Ia menuls surat palsu yang sengaja dijatuhkan. Berkat surat palsu itu ia bisa mengakhiri riwayat hidup Djamhari, si pengkhanat.

Banyak jasa yang dibuat Murdjan Komara dalam perjuangan kemerdekaan negeri kita. Namun, ia terjerumus ke dalam komunis PKI. Sewaktu G 30 S PKI meletus, tamatlah riwayat Rambo asal Brebes itu. Sayang seribu sayang.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Kapten Sudibyo Beraksi di Sarang Musuh

Suatu hari di penghujung tahun 1947 Kapten Sudibyo memerintahkan sejumlah kecil pejuang untuk membakar gardu listrik di Desa Kejambon, Tegal. “Usahakan selama mungkin menahan tentara Belanda di sana !” perintah Kapten Sudibyo. Pada malam harinya, sesuai waktu yang telah disepakati, mereka membakar gardu listrik. Aksi mereka tergolong nekat mengingat lokasinya yang dekat dengan markas tentara Belanda di Sekolah Kepandaian Putri (sekarang SMKK, jalan Kapten Ismail). Belanda marah. Siapa orangnya yang berani membuat onar di dekat markas ?, demikian pikiran Belanda. Sejumlah besar tentara Belanda diberangkatkan dari markas untuk mengepung pejuang.

Pembakaran gardu listrik di Desa Kejambon oleh pejuang membuat Belanda marah. Akibatnya, pejuang-pejuang yang hanya beberapa orang itu harus mempertaruhkan nyawa. Makin banyak tentara Belanda yang berdatangan sehingga pengepungan menjadi makin ketat. Sulit bagi pejuang untuk lolos. Mereka berdoa agar diberi selamat sehingga bisa punya kesempatan untuk berjuang lagi. Doa mereka terkabul, pengepungan bubar. Tentara Belanda yang sudah marah itu bertambah marah demi mendengar berita bahwa mereka telah terkecoh. Pembakaran gardu listrik adalah taktik pejuang agar Belanda meninggalkan markasnya. Buru-buru Belanda kembali untuk menyelamatkan markasnya yang sedang diserang Kapten Sudibyo dan kawan-kawan.

Ketika tentara Belanda kembali ke markas militernya, perang telah selesai. Mereka mendapati banyak kawan-kawannya tewas, markas rusak di sana-sini dan sejumlah besar senjata hilang. Dalam perang ini di pihak pejuang hanya gugur satu orang saja, yaitu prajurit Kurdi. Serangan ini berhasil mengangkat moril masyarakat Tegal yang ada di dalam kota. Sementara Belanda mulai berpikir : tidak ada tempat yang aman untuk berlindung, bahkan bersembunyi di dalam markas tentara pun bisa diserang pejuang.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.