Sabtu, 01 Maret 2014

Ketika Kebrutalan Berdalih Membela Diri

Suatu hari di bulan September 1947, tentara pendudukan Belanda melakukan operasi besar-besaran untuk menangkap ekstrimis/teroris (teroris yg dimaksud adalah pejuang). Mereka mengerahkan 87 truk penuh tentara untuk memblokade desa-desa di Kabupaten Tegal : Kesuben, Balaraden, Kambangan, Lebakgowak dll. Blokade diperkuat dengan kereta api. Ratusan militer Belanda mengobrak-abrik kampung mencari pejuang. Ratusan bahkan ribuan warga desa dikumpulkan sebagai tawanan. Di bawah ancaman senjata, warga desa dipaksa menunjukkan siapa di antara orang-orang yang dikumpulkan itu yang menjadi pejuang.
 

Ribuan warga desa, beberapa di antaranya merupakan pejuang, ditangkap oleh militer Belanda. Seorang pejuang diseret Belanda namun dilindungi oleh warga desa. “Meneer, dia bukan pejuang. Dia petani. Lihat saja kulitnya yang hitam legam karena dijemur terik matahari. Kalau dibunuh nanti desa kita kekurangan petani”, mungkin demikian salah satu alasan warga desa untuk menyelamatkan pejuang itu. Ketika seorang pejuang yang kulitnya tidak hitam hendak dibunuh, seorang kakek renta protes. “Meneer, ia pedagang. Kalau dibunuh nanti kami sulit memperoleh barang kebutuhan sehari-hari. Kalau ingin membunuh, tembak saja aku. Aku sudah tua, tidak berguna.” Bingunglah Belanda, berjam-jam tidak menemukan pejuang yang membaur dan dilindungi rakyat.
 

Sebenarnya Belanda sudah putus asa karena tidak menemukan pejuang di antara warga desa yang dipaksa kumpul itu. Sayang seorang lurah desa berkhianat. Ia memberi tahu siapa-siapa di antara warga desa yang sedang dikumpulkan itu yang diduga pejuang. Akibatnya, 18 pejuang ditangkap Belanda dan disuruh berjajar di jalan simpang tiga desa dan kemudian diberondong dengan senjata otomatis. Belanda tidak merasa melanggar HAM selama menjajah Indonesia. Bahkan kasus pembunuhan 18 orang terduga pejuang ini pun – menurut mereka – bukan pelanggaran HAM karena dilakukan untuk membela diri. Kalau Belanda membunuh orang Indonesia, itu namanya membela diri. Kalau pejuang Indonesia menembak tentara Belanda, itu namanya pelanggaran HAM.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.


Mati Satu Lari Semua

Ini kisah patroli Belanda. Biasalah, mereka pakai kendaraan biar aman. Tidak ada tentara Belanda yang mau berjalan paling depan saat patroli. Ya iya lah, yg berjalan paling depan itulah yang mati paling dulu. Entah kena ranjau atau kena peluru pejuang kita. Tak mengherankan jika tentara Belanda yang mendapat tugas berjalan paling depan minta naik motor. Begitu terdengar suara letusan senapan, ia bisa ngebut dengan motornya agar terhindar dari peluru. Begitulah, pada September 1947 jam 5 pagi seorang tentara Belanda naik motor di depan iring-iringan kendaraan Belanda. Ketika melewati jalan raya Banjaranyar, Tegal, terdengar letusan senjata. Belanda pengendara motor tsb segera tancap gas untuk menghindari peluru. Usahanya sia-sia karena penembaknya benar-benar jitu. Si Belanda tergeletak di samping motornya. Melihat kawannya mati, militer Belanda yang jumlahnya banyak segera lari begitu saja meninggalkan jenazah kawannya itu.

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.


Ketika Kebiadaban Berdalih Perang Yang Adil

Tanggal 12 September 1947 merupakan hari yang naas bagi warga desa Tigasari, Kabupaten Tegal. Pasukan Belanda dalam jumlah besar mengepung desa itu dengan tujuan menghabisi gerombolan pengacau keamanan pimpinan Sudirmo. Yang dimaksud “gerombolan pengacau keamanan” adalah pejuang Indonesia. (Regu pejuang pimpinan Sudirmo ini berhasil disergap Belanda namun lolos semua dengan cara yang heroik. Kisahnya bisa dibaca dalam tulisan berjudul “Penyergapan Sia-Sia”). Belanda frustasi karena tidak menemukan apa yang dicarinya. Mereka tidak tahu bahwa Sudirmo dkk telah lama meninggalkan desa itu. Sebagai pelampiasan kemarahan, Belanda menangkap 31 warga desa. Seperti membunuh nyamuk, Belanda memberondong orang-orang tak berdosa itu dengan senapan otomatis. Dari 31 orang hanya satu yang selamat, yaitu Rusdi, yang menjatuhkan diri sebelum peluru mengenai tubuhnya. Apakah tindakan Belanda tsb melanggar HAM ?
 

Hanya karena gagal mencari pejuang, penjajah Belanda membunuh secara biadab 31 orang warga sipil. Belanda tidak mengakui bahwa tindakan tsb melanggar HAM dengan alasan karena merupakan perang yang adil. Perang yang adil itu bagaimana ? Kalau Belanda menang berarti perangnya adil, jadi tidak melanggar HAM. Kalau Belanda kalah berarti perangnya tidak adil, jadi Belanda adalah korban pelanggaran HAM.
Ada juga yang berpendapat bahwa tindakan Belanda tsb tidak bisa disalahkan. Yang salah adalah pejuang karena bersembunyi di tengah-tengah warga. Kalau mau perang ya yang ksatria dong, jangan habis nyerang lalu sembunyi di ketiak warga desa. Jangan salahkan Belanda yang bermaksud menembak pejuang tapi yang kena warga desa. Demikian alasan pendukung penjajah. Lalu pejuang harus bersembunyi di mana ? Bersembunyilah di satu tempat sedemikian hingga dengan sekali bom pejuang mati semua !

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.