Sabtu, 01 Maret 2014

Ketika Kebiadaban Berdalih Perang Yang Adil

Tanggal 12 September 1947 merupakan hari yang naas bagi warga desa Tigasari, Kabupaten Tegal. Pasukan Belanda dalam jumlah besar mengepung desa itu dengan tujuan menghabisi gerombolan pengacau keamanan pimpinan Sudirmo. Yang dimaksud “gerombolan pengacau keamanan” adalah pejuang Indonesia. (Regu pejuang pimpinan Sudirmo ini berhasil disergap Belanda namun lolos semua dengan cara yang heroik. Kisahnya bisa dibaca dalam tulisan berjudul “Penyergapan Sia-Sia”). Belanda frustasi karena tidak menemukan apa yang dicarinya. Mereka tidak tahu bahwa Sudirmo dkk telah lama meninggalkan desa itu. Sebagai pelampiasan kemarahan, Belanda menangkap 31 warga desa. Seperti membunuh nyamuk, Belanda memberondong orang-orang tak berdosa itu dengan senapan otomatis. Dari 31 orang hanya satu yang selamat, yaitu Rusdi, yang menjatuhkan diri sebelum peluru mengenai tubuhnya. Apakah tindakan Belanda tsb melanggar HAM ?
 

Hanya karena gagal mencari pejuang, penjajah Belanda membunuh secara biadab 31 orang warga sipil. Belanda tidak mengakui bahwa tindakan tsb melanggar HAM dengan alasan karena merupakan perang yang adil. Perang yang adil itu bagaimana ? Kalau Belanda menang berarti perangnya adil, jadi tidak melanggar HAM. Kalau Belanda kalah berarti perangnya tidak adil, jadi Belanda adalah korban pelanggaran HAM.
Ada juga yang berpendapat bahwa tindakan Belanda tsb tidak bisa disalahkan. Yang salah adalah pejuang karena bersembunyi di tengah-tengah warga. Kalau mau perang ya yang ksatria dong, jangan habis nyerang lalu sembunyi di ketiak warga desa. Jangan salahkan Belanda yang bermaksud menembak pejuang tapi yang kena warga desa. Demikian alasan pendukung penjajah. Lalu pejuang harus bersembunyi di mana ? Bersembunyilah di satu tempat sedemikian hingga dengan sekali bom pejuang mati semua !

Sumber tulisan : Achmad. 1986. Tegal Berjuang. Markas Cab. Legiun Veteran RI Kab/Kodya Tegal. 133 hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar