Senin, 05 Desember 2011

Berikan Yang Terbaik Untuk Negaramu !

Pengantar :
           Nama tokoh dan latar belakang peristiwa dalam cerita ini adalah nyata. Hal-hal lainnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.


           Proklamasi 17 Agustus 1945 telah dikumandangkan, namun Belanda tidak mau kehilangan negeri jajahan yang kekayaan alamnya melimpah ini. Bersama tentara Sekutu, Belanda kembali ke Indonesia dan mulai menduduki kota-kota penting, di antaranya Bandung. Negeri kita tidak rela melepaskan kota tersebut sehingga terjadi pertempuran melawan penjajah. Para pejuang dari kota-kota lain berdatangan termasuk dari kota Tegal, Jawa Tengah. Salah seorang pejuang asal Tegal yang dikirim untuk mempertahankan Bandung adalah prajurit Salim.
           Ketika dirinya terpilih untuk berangkat ke Bandung, Salim ragu-ragu. Bukan karena takut menghadapi peluru Belanda, namun ia mencemaskan keluarga yang akan ditinggalkannya. Bapak dan ibunya sudah renta. Kakaknya perempuan dan sudah menikah. Sayang, suami kakaknya ditangkap Jepang dan entah bagaimana nasibnya sekarang. Sejak suaminya ditangkap kakak perempuan Salim menderita sakt-sakitan.. Salim mempunyai seorang adik, namun cacat fisik. Kekurangan gizi yang berkepanjangan pada masa penjajahan Jepang selama ia masih balita menyebabkan anak malang itu lumpuh.
           “Lim , apa yang kau risaukan ?” tanya ibunya.
           “Aku bingung, Bu. Aku ingin berangkat ke Bandung, tetapi siapa nanti yang akan merawat Bapak, Ibu juga kakak dan adik?”
           Ibunya tersenyum. “Lim, tidak usah mencemaskan kami. Negara lebih membutuhkanmu daripada rumah ini. Berangkatlah ! Kamu berjuang untuk negara. Kami berjuang merawat diri kami sendiri. Seandainya kami tidak sanggup, Ibu yakin akan ada yang membantu kami.”
           “Iya, Lim. Tidak usah mengkhawatirkan keluarga di rumah”, tambah kakaknya yang sedang berbaring sakit. Ia bangkit dan duduk di tepi dipan. “Kamu lihat, sebentar lagi aku sembuh sehingga bisa merawat Ibu dan Bapak juga adik”.
           Salim tersenyum kecut. Ia merasa bahwa kakaknya itu memaksakan diri agar terlihat sehat. Ia tahu kakaknya berbohong karena tidak ada tanda-tanda penyakitnya akan sembuh. Salim juga tahu bahwa kakaknya berbuat seperti itu adalah untuk membesarkan hatinya.
           Salim tersadar dari lamunannya ketika merasa ada tangan kecil menarik-narik celananya. Adiknya yang lumpuh bersimpuh di dekat kaki Salim. Tangan anak itu menggoyang-goyang kaki Salim. Tampaknya ia ingin menarik perhatian Salim.
           “Kakak mau perang ? Oh, Kakak hebat !” ujar anak lumpuh itu. “Seandainya sudah bisa berjalan, boleh tidak saya ikut Kakak ?”
           Salim mengelus-elus rambut adiknya. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Tak ada harapan adikku bisa berjalan normal, keluh Salim dalam hati. Untuk menyembunyikan kesedihannya, Salim tersenyum. “Mau apa Adik ikut ?”
           “Mau mengusir Belanda !”
           “Boleh,” jawab Salim spontan. Hati adiknya berbunga-bunga.
           “Baiklah, saya akan berangkat dengan hati lapang,” ujar Salim sambil bangkit. “Hari ini kalian belum makan, bukan ? Saya keluar dulu mencari makanan”.
           Gajinya sebagai prajurit rendahan tidak seberapa sehingga tidak bisa diandalkan. Ia terpaksa mencari tambahan penghasilan. Salim melangkahkan kakinya ke pasar. Ia berharap ada orang yang memberinya pekerjaan seperti membongkar atau memuat barang. Namun ia melihat di tempat itu banyak orang yang juga mencari pekerjaan seperti dirinya. Ia melihat bagaimana mereka berebut pekerjaan. “Percuma mencari nafkah di sini”, ujarnya pada diri sendiri.
           Salim menujukkan pandangannya ke arah pelabuhan. “Barangkali di sana ada orang yang membutuhkan tenagaku”.
           Ketika ia tiba, pelabuhan sudah sepi. “Tak ada pekerjaan di sini”, keluh Salim. “Padahal hari ini juga aku harus memperoleh makanan”.
           Setelah lama berpikir-pikir akhirnya Salim memutuskan untuk meminta makanan pada kelurahan. Suatu hal yang sebenarnya sangat dihindari. Ia tidak mau meminta-minta. Baginya lebih baik lapar daripada meminta-minta. Akan tetapi bagaimana dengan kedua orang tua, kakak dan adiknya ? Salim tidak tega melihat mereka semua kelaparan.
           Di kelurahan banyak orang sedang mengantri dengan berbagai macam keperluan. Salim menunggu dengan sabar. Ketika gilirannya hampir tiba, Salim melihat orang yang paling ditakutinya. Ia seorang rentenir yang suka meminjamkan uang dengan bunga besar. Untuk membeli makanan bagi keluarganya Salim berhutang pada orang itu. Sudah lama Salim menunggak pembayaran hutang tersebut.
           “Celaka, mengapa lintah darat ini muncul pada saat aku tidak memiliki uang”, keluh Salim dalam hati. “Daripada berurusan dengan tukang-tukang pukulnya, lebih baik aku pergi dari sini. Padahal giliranku menemui Pak Lurah hampir tiba.”
           Rentenir melihat kepergian Salim. “Hai, Lim. Jangan lari !” teriaknya.
           Salim bersembunyi setelah berlari cukup jauh. Ia memperhatikan keadaan sekelilingnya. “Untung rentenir itu tidak mengejarku. Ah, aku tidak takut berperang melawan tentara Belanda tetapi mengapa aku takut pada orang yang akan menagih hutang ?” renung Salim.
           Salim kembali ke rumah dengan tangan kosong. Kelelahan membuat Salim tertidur. Dalam mimpi ia melihat ibu, bapak, kakak dan adiknya sedang menghadapi makanan lezat. Aroma masakan yang sedap itu masih tercium ketika ia terbangun.
           “Aneh, aku mimpi mempunyai makanan. Tetapi setelah bangun aroma makanannya masih ada”, katanya pada diri sendiri.
           “Kamu tidak sedang bermimpi, Nak !” ujar ibunya. Perempuan tua itu tersenyum geli melihat anaknya menggosok-gosok mata seolah tak percaya dengan pandangannya.
           “Dari mana Ibu mendapat makanan ini ?” tanya Salim heran setelah yakin bahwa ia tidak bermimpi..
           “Ketika kamu tidur, Pak Lurah datang. Beliau mengirim makanan ini untuk kita semua”, cerita ibunya. “Pak Lurah senang kamu terpilih untuk berangkat ke Bandung. Beliau pesan, kamu jangan merisaukan keluargamu selama kamu ada di sana. Berjuanglah untuk mempertahankan Bandung dari ancamaan Belanda. Kebutuhan hidup keluarga di sini akan dijamin Pak Lurah”.
           Hari keberangkatan pun tiba. Setelah berpamitan ia berjalan kaki menuju ke markas tentara Tegal. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang yang saat itu paling tidak ingin dilihatnya, Sang Rentenir.
           “Lim, jangan lari !” teriak rentenir itu sekeras-kerasnya. Salim memang tidak bisa lari lagi. Ia sudah disergap oleh dua orang tukang pukul rentenir.
           “Aku tadi ke rumahmu”, ujar orang yang dikenal sebagai rentenir itu. “Mengapa kamu selalu lari bila bertemu aku ?”
           “Maaf, Pak. Saya janji akan melunasi semua hutangku. Tapi ijinkan aku berangkat ke Bandung dulu !” pinta Salim memelas.
           “Dengar, Lim !” ujar Rentenir. “Sekarang semua hutangmu aku anggap lunas.”
           Salim terperangah. Ia tidak mempercayai pendengarannya.
           “Benar, lunas ! Bahkan aku tadi memberi uang kepada ibumu.”
           “Terima kasih, Pak !” ujar Salim terbata-bata.
           “Aku berbuat begini karena kamu akan mempertahankan kemerdekaan kita dari keserakahan penjajah. Aku hanya bisa memberikan sedikit hartaku untuk keluargamu yang ditinggalkan. Berjuanglah, Lim. Berikan yang terbaik untuk negaramu !”
           Dengan diantar rentenir dan kedua tukang pukulnya, Salim datang ke markas tentara Tegal. Saat itu bulan April 1946, markas tentara Tegal mengirimkan pasukannya ke front Bandung Utara, tepatnya di daerah Cikalong, dan dipimpin oleh Lettu Sumardi. Di sana kemudian terjadi pertempuran sengit melawan Belanda dari pagi sampai malam.
           Pejuang dari Tegal belum berpengalaman menghadapi perang. Bagi Salim dan kawan-kawannya, pertempuran di Cikalong adalah perang yang pertama kali dalam hidupnya. Mereka kurang terlatih dan senjatanya pun sederhana. Namun semua kekurangan itu tertutup oleh semangat juang yang berapi-api. Mereka tidak gentar menghadapi musuh yang lebih kuat dan senjatanya lebih modern. Musuh yang dihadapi pejuang Indonesia sudah berpengalaman di banyak medan pertempuran. Bahkan musuh tersebut adalah pemenang Perang Dunia II.
           Sungguh hebat perlawanan yang ditunjukkan oleh pejuang-pejuang kita dalam mengusir Belanda. Meskipun musuhnya sangat kuat, namun pejuang-pejuang kita bisa bertahan sampai malam. Lettu Sumardi melihat Salim melempar bedilnya.
           “Apa yang kamu lakukan, Lim ? Mengapa membuang senjata ?” tanya Lettu Sumardi. Saat itu pejuang sudah terdesak sehingga ia mengira Salim akan menyerah kepada Belanda.
           “Peluruku habis, tapi aku masih mempunyai kelewang”, jawab Salim sambil mencabut kelewang. Ternyata banyak pejuang lain yang juga kehabisan peluru. Mereka menyerbu ke tengah-tengah tentara Belanda sambil menghunus senjata tajam.. Di malam gelap itu terjadi perkelahian sengit satu lawan satu.
           Kenekatan Salim dan kawan-kawan harus ditebus mahal. Mereka memang berhasil membuat gentar tentara Belanda, namun di pihak pejuang banyak jatuh korban. Dari semua pejuang asal Tegal yang ikut dalam pertempuran ini, satu orang tertangkap musuh, sebelas pejuang hilang dan lima orang gugur. Pejuang yang gugur adalah prajurit Salim, Rustam, Afif, Kopral Harno dan Sersan Solihin.
           Berita gugurnya kelima pejuang itu dengan cepat sampai di Tegal. Keluarga korban berkumpul di markas pejuang Tegal. Hujan tangis menyambut kedatangan lima jenazah pahlawan yang kini terlupakan. Kedua orang tua Salim menangisi kepergian anaknya. Bagaimanapun bangganya atas keberanian Salim menghadapi penjajah Belanda namun mereka berdua sangat kehilangan anak tercintanya. Selamat jalan, Salim !