Selasa, 18 Oktober 2011

Tekad Baja Mengusir Penjajah

Pengantar :
           Garis besar peristiwa dalam cerpen ini adalah nyata, sedang nama tokohnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan.


           Di sebuah hari di bulan April 1946 sepucuk surat tiba di markas pejuang Tasikmalaya, Jawa Barat. Satu regu pasukan anti-tank diminta untuk dikirim ke Bandung Utara, demikian isi surat itu. Hari itu juga sebuah pengumuman singkat tertempel di dinding markas tersebut.
           “Pejuang yang bersedia dikirim ke Bandung harap menghubungi komandan markas, Letnan Encep”, ucap Ujang menirukan pengumuman itu. Tanpa membuang waktu ia mendaftarkan diri. Ternyata sudah banyak temannya yang terdaftar.
           Letnan Encep mengambil daftar nama pemuda tersebut. “Kurasa pendaftaran ini sudah bisa ditutup”, ujarnya setelah menghitung jumlah pendaftar. “Besok pemuda yang terdaftar akan diseleksi.”
           Ujang tidak menunggu esok. Hari itu juga ia melatih fisiknya. Puluhan kali ia mengitari lapangan di depan markas pejuang. Ia sengaja melakukannya agar dilihat oleh Letnan Encep. Di depan komandan markasnya itu ia lebih sungguh-sungguh berlatih.
           Ujang berharap dirinya terpilih. Ia mengikuti semua tahap seleksi dengan sebaik-baiknya. Ia memang memenuhi semua syarat untuk lolos seleksi, demikian pula dengan hampir semua peserta lainnya.
           Saat-saat menunggu pengumuman hasil seleksi merupakan masa yang menyiksa. Ujang lebih rajin berdoa. Ya Tuhanku, ijinkanlah aku berjuang membela negeriku, doanya.
           Ujang sekarang sering bersilaturahmi ke rumah komandan markasnya. Tak lupa ia membawa buah-buahan hasil kebunnya. “Terima kasih, Jang. Tetapi bila tujuanmu menyuap aku , jangan harap maksudmu tercapai”, komentar Letnan Encep.
           Ucapan Letnan Encep itu terbukti kemudian. Nama Ujang tidak tercantum dalam daftar pemuda yang lolos seleksi. Rasa kecewa mendorongnya untuk menghadap komandan markas. “Pak, apa kekurangan saya sehingga tidak terpilih ?”
           “Tidak ada. Kamu sama hebatnya dengan kawan-kawanmu yang terpilih. Tetapi markas membutuhkanmu di sini. Biarlah kawan-kawanmu yang menghadapi Belanda di Bandung sana”, jawab Letnan Encep.
           “Saya tidak mau berdiam diri di sini sementara kawan-kawanku mempertaruhkan nyawanya di medan perang”.
           Letnan Encep termenung. Setelah lama berpikir ia mengajukan saran. “Begini, Jang. Coba kamu bujuk salah satu temanmu yang terpilih. Siapa tahu ada di antara mereka yang mau digantikan olehmu.”
           “Siap, Pak !” serunya. Tanpa kenal lelah ia membujuk kawan-kawannya. Ujang mendekati Hari, seorang kawannya yang lolos seleksi. “Hari, ibumu sudah tua. Sebaiknya kamu di sini saja sambil merawat ibumu”.
           “Justru ibuku yang mendorongku untuk mengusir Belanda,” jawab Hari.
           Gagal membujuk Hari, Ujang merayu Ujang. “Jang, kudengar kamu sudah bertunangan. Sebaiknya kamu tidak usah berangkat ke Bandung, biar aku saja yang menggantikanmu”, bujuk Ujang.
           Ujang tersenyum mendengar rayuan Ujang. “Tunanganku tidak suka orang yang pengecut. Ia menginginkan suami yang berani, termasuk berani membela negerinya”, jawab Ujang kalem.
           Tak seorang pun di antara pemuda-pemuda yang lolos seleksi mau digantikan oleh Ujang. Mereka memiliki semangat juang yang berkobar-kobar sama seperti dirinya.
           Ujang tidak putus asa. Ia menemui kembali komandan markas. Para pemimpin markas melihat tekad baja pemuda itu untuk berjuang. Mereka akhirnya mengijinkan Ujang untuk berangkat ke Bandung.
           “Jang”, ujar Letnan Encep, ”Karena kamu sangat ingin berjuang , meski tidak lolos seleksi, terpaksa kami mengabulkan keinginanmu. Namun karena kondisi keuangan markas sedang seret kami hanya bisa membiayai kawan-kawannmu yang lolos seleksi, sedang untukmu sendiri kami tidak mempunyai dana. Jadi semua biaya harus ditangung kamu sendiri.”
           “Tidak masalah, Pak. Saya siap mengorbankan nyawa maupun harta untuk kemerdekaan”, jawab Ujang penuh semangat.
           Ujang segera pulang ke rumah untuk mengambil sepeda kesayangannya. Dengan sepeda itu ia menuju rumah Babah Lim, orang kaya di desanya. “Bah, aku mau menjual sepeda ini”, ujar Ujang.
           “Mengapa dijual, Jang ?”
           “Aku butuh uang untuk biaya pergi ke Bandung”, jawab Ujang. Ia menceritakan keinginannya untuk ikut mengusir Belanda dari Bandung. Dikatakannya pula bahwa semua biaya harus ditanggung sendiri. Mengetahui hal ini, Babah Lim membayar sepeda Ujang dengan harga tinggi. “Terima kasih, Bah !” ucap Ujang.
           Sebelum berangkat ke Bandung, Ujang dan kawan-kawannya menjalani latihan perang. Mitraliur 12,7 yang merupakan senjata andalan regu anti-tank ini diuji coba. Dengan senjata itu Letnan Encep bisa merobohkan sekelompok batang pisang - tiruan tentara Belanda – hanya dengan sekali gerakan tangan. Sorak-sorai bergemuruh mengiringi keberhasilan mereka.
           “Kita harus rajin merawat mitraliur ini agar tidak macet !” ujar Letnan Encep di depan semua anak buahnya. “Bila tidak digunakan, bersihkan kotoran dan jangan lupa diminyaki.”
           Pada bulan Mei 1946 rombongan pejuang Tasikmalaya tiba di Bandung Utara. Di kota ini sudah berkumpul pejuang-pejuang dari berbagai daerah, bahkan ada regu pejuang yang berasal dari luar Jawa Barat. Mereka bertekad mempertahankan Bandung dari ancaman penjajah Belanda.
           Pada hari Jumat Kliwon di bulan itu juga Belanda menyerang Bandung Utara. Pasukan Indonesia menyusun strategi menghadapi Belanda. Bersama beberapa regu pejuang dari daerah lain, Letnan Encep dan anak buahnya ditugaskan menyergap patroli Belanda.
           Penyergapan terhadap patroli Belanda berlangsung cepat. Pasukan Indonesia berhasil memaksa musuh mundur. Di luar dugaan secara mendadak bala bantuan Belanda dalam jumlah besar berdatangan seperti air bah. Belanda mengerahkan tentara yang sudah terlatih dan persenjataan yang canggih. Tentara penjajah itu tidak takut kehabisan peluru. Mereka menghambur-hamburkan peluru ke segala arah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian pejuang.
           Serangan besar-besaran yang dilancarkan Belanda tersebut membuat pertahanan pejuang kita berantakan. Pasukan Indonesia mundur tergesa-gesa. Komunikasi antar regu pejuang terputus. Akibatnya, satu regu pejuang tidak tahu bahwa mereka telah terkepung Belanda. Akibat yang lebih parah lagi harus ditanggung oleh regu Tasikmalaya karena tank-tank Belanda tiba-tiba sudah muncul di depan mereka.
           Dengan terburu-buru Letnan Encep menyiapkan senjata mitraliur 12,7. Ia tidak menyangka musuh akan muncul secepat itu. Jarak tank dengan tempat persembunyian pejuang tinggal 50 meter, artinya sudah masuk jarak tembak. Letnan Encep menembakkan senjata mitraliurnya. “Gawat, macet !” gumam Letnan Encep. Kedua tangannya sibuk mengotak-atik senjata itu. “Masih macet”, ujarnya panik.
           “Senjata ini tak bisa digunakan”, ujar Letnan Encep pada akhirnya. “Posisi kita telah diketahui Belanda. Semuanya mundur, biar aku melindungi kalian !” perintah Letnan Encep. Pejuang-pejuang kita mundur kecuali Ujang.
           “Pak, Bapak ikut mundur saja. Biar aku yang melindungi pasukan !” pintanya. “Cepat, Pak !”
           Ujang meloncat dari tempat persembunyiannya sambil menembaki tentara Belanda. Ia berlari menjauhi kawan-kawannya. Ujang bermaksud mengalihkan perhatian musuh dari kawan-kawannya yang sedang mundur. Peluru-peluru Belanda berhamburan ke arahnya. Ujang tidak memperdulikan luka-luka di tubuhnya akibat diterjang peluru Belanda. Ia terus menembaki musuh sampai akhirnya gugur. Semoga kawan-kawanku selamat, gumamnya sebelum melepas nyawa.
           Sayang, harapan Ujang tidak tercapai. Jarak Belanda yang terlalu dekat dengan pejuang menyebabkan gerakan mundur itu diketahui. Letnan Encep dan anak buahnya bertahan mati-matian. Peluru-peluru mereka berhamburan ke arah tentara penjajah. Sambil bersembunyi di balik tank, tentara Belanda menembakkan pelurunya secara membabi-buta. Dalam waktu singkat Belanda mengakhiri perjuangan pahlawan-pahlawan kita. Letnan Encep dan sepuluh anak buahnya menjadi korban tentara Berlanda dalam peristiwa ini.
           Sebelum gugur Letnan Encep membuang mitraliur milik pasukannya ke tengah semak-semak. Ia berharap suatu saat senjata itu bisa ditemukan oleh pejuang lain dan diperbaiki. Ia berharap senjata itu bisa digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sayang Belanda mengetahui maksudnya. Mereka mencari mitraliur tersebut dan menyitanya.
           Bagaimana pula dengan nasib satu regu pejuang yang terkepung tentara Belanda ? Penderitaan mereka selama terkepung musuh bisa dibaca dalam cerpen berjudul “Enam Belas Jam Terendam di Kolong Jembatan”.