Kamis, 14 Juli 2011

Mempertahankan Kemerdekaan di Tengah Kobaran Api

Pengantar :
           Garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan nama tokoh (kecuali Kapten Sudibyo) rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Pada bulan Maret 1947 satu peleton laskar rakyat dipimpin Kapten Sudibyo dikirim dari kota Tegal ke Semarang Barat. Orang-orang Tegal ini bertekad membantu rakyat Semarang mengusir penjajah Belanda dari kota itu. Laskar rakyat Tegal belum mengenal medan ketika pada suatu hari, jam lima pagi, mereka disergap oleh satu kompi tentara Belanda bersenjata lengkap.
           Serangan mendadak tentara Belanda membuat pejuang kita panik. Kapten Sudibyo berusaha keras agar formasi pasukannya tidak berantakan.
           “Barisan depan mundur, barisan belakang melindungi !” teriak Kapten Sudibyo. Berkat kecerdikannya ditambah semangat juang anak-anak buahnya mereka bisa bertahan. Bahkan laskar rakyat ini berhasil memukul balik tentara Belanda. Belanda makin gencar menyerang, demikian pula para pejuang republik. Pertempuran menjadi imbang.
           Beberapa prajurit Tegal merayap-rayap mendekati musuh. Setelah mendapat posisi yang menguntungkan, Saleh, salah seorang pejuang kita, menembaki tentara Belanda. Hal serupa dilakukan Udin. Keduanya menyerang Belanda dengan penuh semangat, bahkan terlalu bersemangat hingga mengabaikan keselamatan sendiri.
           “Mampus, kau !” maki Saleh ketika bidikannya tepat mengenai seorang tentara Belanda. Sementara itu di tempat yang terpisah agak jauh darinya, Udin tampak tersenyum-senyum. Rupanya ia gembira karena berhasil merobohkan beberapa orang Belanda dengan pelurunya.
           Sinar matahari bertambah terang sejalan dengan waktu. Medan perang yang semula remang-remang menjadi lebih jelas. Kapten Sudibyo mencermati keadaan sekelilingnya. Ilalang tumbuh lebat di mana-mana. Pasukannya memanfaatkan semak liar itu sebagai tempat persembunyian. Peluru-peluru berdesingan menerobos ilalang.
           Kapten Sudibyo merasakan keganjilan medan perang tersebut. Ilalang merupakan tempat persembunyian yang baik sekaligus berbahaya. Apalagi pada cuaca kering seperti hari itu. Api yang kecil sudah cukup untuk memicu kebakaran di tempat tersebut. Bagaimana bila Belanda membakar ilalang ? Menyadari kenyataan ini, ia berteriak sekeras-kerasnya, “Mundur semua ! Keluar dari ilalang !”
           Laskar rakyat mundur terburu-buru namun dengan gerakan yang teratur. Sayang mereka terlambat. Apa yang ditakutkan terjadi. Tentara Belanda membakar ilalang. Api dengan cepat merambat ke segala arah. Pasukan Indonesia terkepung api !
           Sungguh malang nasib pejuang-pejuang kita yang terlanjur terlalu dekat dengan musuh. Didorong oleh semangat juang yang berlebihan, Saleh dan Udin mendekati tentara Belanda. Semangat mereka makin menyala-nyala setelah berhasil merobohkan beberapa orang Belanda. Keduanya terlalu asyik hingga kurang mendengar aba-aba Kapten Sudibyo untuk mundur. Keadaan sudah terlambat ketika mereka hendak mundur. Keduanya terpana melihat kobaran api. Di depan mereka tentara Belanda yang siap menghabisinya, sedang di belakang mereka api yang ganas ! Dua pilihan yang sama-sama sulit. Manakah yang akan dipilih Saleh dan Udin ? Ditembus peluru Belanda atau dipanggang api ?
           Belanda menghamburkan peluru ke arah kobaran api. Pejuang Saleh membalas tembakan sambil menghindari amukan api. Ia melihat ada celah yang bisa diterobos karena tempat itu tidak terbakar. Sambil merunduk ia berlari ke tempat itu. Malang, gerakannya terlihat oleh Belanda. Hujan peluru berhamburan ke tubuh Saleh. Begitu mendengar suara rentetan senjata musuh, Saleh menjatuhkan dirinya ke bumi.
           “Aduh, kakiku sakit !” rintih Saleh. Ia memeriksa tubuhnya sendiri. Tak ada yang terluka kecuali kedua kakinya. Luka-luka pada kedua kakinya tersebut tidak memungkinkannya untuk berdiri, apalagi berjalan. Bagaimana aku bisa keluar dari kepungan api dengan kaki begini, pikir Saleh. Akankah Saleh hangus terpanggang ?
           Nasib sial juga dialami Udin. Ia sedang membidik Belanda ketika api menjalar di sekelilingnya. Ia mundur teratur mengikuti perintah komandannya. Asap pekat menyelubungi Udin hingga ia terbatuk-batuk. Matanya perih terkena asap panas. Tindakannya menggosok-gosok mata malah menambah parah.
           Asap pekat yang panas kembali menerpa wajah dan matanya. Pandangan mata Udin menjadi kabur. Berkali-kali ia mengedipkan mata dengan harapan penglihatannya menjadi normal lagi. Sayang, kenyataan tidak seperti yang diharapkan. Udin merasa sakit jika membuka mata.
           “Aku buta. Oh, Tuhan, tolong aku !” gumamnya.
           Tanpa bisa melihat Udin berusaha menyelamatkan diri dari api. Ia berjalan lurus menuju garis belakang. Namun tanpa disadarinya, ia berbelok-belok tanpa arah yang jelas. Udara panas memanggang tubuhnya. Beberapa kali ia menginjak api hingga pakaiannya terbakar. Dengan panik Udin mematikan api yang menjalari celana dan bajunya itu. Dapatkah Udin menghindari kematian yang siap menjemputnya ?
           Sementara itu api makin mendekati Saleh. Pemuda ini merayap-rayap menuju tempat yang kosong. Lama-lama di tempat ini ia merasakan hawa panas yang amat sangat. Lehernya seperti dicekik akibat kesulitan bernafas di tengah-tengah asap. Aku harus keluar dari kepungan api ini, batin Saleh.
           Saleh merayap-rayap lagi hingga tenaganya terkuras habis. Pakaiannya hangus di beberapa bagian. Di bagian-bagian tersebut kulitnya melepuh. Ia hampir menyerah ketika samar-samar dilihatnya Udin sedang berjalan dengan kedua tangan meraba-raba.
           Mengapa Udin melangkah ke arah tentara Belanda dan berjalan seperti orang buta, tanya Saleh pada dirinya sendiri. Udin tak bisa melihat, demikian kesimpulan Saleh.
           “Din, berhenti !” teriak Saleh sekuat tenaga. “Kalau maju terus kamu bisa ditangkap tentara Belanda.”
           “Aku tak bisa melihat ! Saleh, kamukah itu ?” tanya Udin. “Mengapa kamu di sini saja ? Mengapa kamu tidak mundur ?”
           “Kedua kakiku terluka”, balas Saleh. “Aku tak bisa berjalan.”
           Dengan mengikuti suara Saleh, Udin tiba di tempat sahabatnya itu. “Aku buta,” ujar Udin. Udin duduk di samping Saleh. “Aku sudah lelah. Aku merasa sudah berjalan cukup jauh namun ternyata hanya berputar-putar. Aku tak bisa melihat.”
           “Kita tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi”, ujar Saleh.
           “Tapi, bagaimana cara kita keluar dari neraka ini ?” tanya Udin pesimis.
           “Kamu bisa selamat jika berjalan lurus ke arah sana”, kata Saleh sambil menepuk tangan kiri Udin. “Berdirilah, nanti kutunjukkan arahnya !”
           “Ah, terima kasih ! Tapi aku tak bisa melihat. Aku khawatir tidak bisa berjalan lurus tanpa bantuan penglihatan”, ujar Udin.
           “Jangan putus asa dulu. Cobalah !” bujuk Saleh.
           “Bagaimana dengan kamu sendiri ?”
           “Aku tak bisa ke mana-mana. Kakiku terluka. Tinggalkan aku !”
           Udin mendesah, ia tidak bisa membiarkan sahabatnya mati terpanggang. Saat ia melamun seperti itu, Saleh membentaknya, “Cepat pergi sebelum apinya bertambah besar !”
           “Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Saleh, kita keluar bersama-sama dari api ini . Ayo, naiklah ke punggungku. Aku menggunakan kaki sedang kamu memakai matamu !” usul Udin. Ia segera menggendong Saleh.
           “Jalan ke kiri !” Saleh memberi petunjuk sambil memeluk leher Udin.
           “Terus lurus saja !”
           “Awas ada api, belok kanan !”
           Sambil menggendong sahabatnya, Udin berlari di antara kobaran api. Ia tidak takut salah jalan meski matanya tidak bisa melihat. Ia melihat melalui mata sahabatnya yang saat itu ada di punggungnya. Demikian pula Saleh. Semula ia tidak menyangka bisa keluar dari medan perang yang berbahaya itu. Saleh berlari dengan kedua kaki orang yang menggendongnya.
           Akhirnya dengan kerjasama yang bagus kedua pemuda itu tiba di garis belakang. Kawan-kawannya menyambut Saleh dan Udin dengan teriakan merdeka. Keduanya segera dilarikan ke pos kesehatan tentara Indonesia. Nasib mereka lebih baik dibandingkan empat orang pejuang yang hilang, dua orang tertangkap Belanda dan empat pemuda yang gugur dalam pertempuran ini.
           Berbeda dengan Kapten Sudibyo yang namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di kota Tegal, pejuang-pejuang yang tertangkap dan gugur itu menjadi pahlawan yang terlupakan. Nama-nama mereka boleh dilupakan, namun semoga jasa-jasanya selalu diingat oleh mereka-mereka yang menikmati hasil perjuangannya.

Selasa, 12 Juli 2011

Menyelundupkan Obat Menembus Penjagaan Ketat

Pengantar :
           Latar belakang peristiwa dan nama tokoh dalam cerita ini adalah nyata, hal-hal lainnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan.



           Malaria tengah mengamuk. Penyakit yang dulu menggagalkan perjuangan Sultan Agung mengusir penjajah kini mengancam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Masalahnya, setelah melancarkan agresi militer pada bulan Juli 1947, Belanda memblokade Indonesia. Blokade ini menyulitkan gerak pasukan republik. Mereka tidak bisa memperoleh bantuan senjata dan makanan dari luar wilayahnya padahal persediaan makin menipis. Ketika malaria menyerang, mereka terancam kehabisan pil kina. Satu-satunya jalan untuk memperoleh obat malaria itu adalah mencarinya di wilayah yang diduduki Belanda. Tapi bagaimana cara menerobos blokade Belanda yang ketat itu ?
           Sementara itu Rumsiah, bekas pegawai Rumah Sakit Cigudeg, sedang memeriksa seorang anak yang sakit. “Anak ibu menderita malaria”, ujarnya. “Minum obat kina, ya !”
           “Dia tidak mau menelan obat itu”, jawab ibunya. “Pahit “.
           Anak sakit itu mengerang dan menggumamkan sesuatu. “Minta apa, Nak ?” tanya ibunya.
           “Getuk”, jawab si anak lirih. Getuk merupakan makanan tradisional terbuat dari singkong yang ditumbuk hingga lumat dan ditaburi parutan kelapa.
           “Anak ini memang suka makan getuk”, jelas ibunya.
           “Jangan lupa banyak makan buah dan sayur !” pesan Rumsiah sebelum berpamitan.
           Rumsiah kemudian ditugaskan untuk mencari obat kina di Jakarta yang sudah dikuasai Belanda. Itu artinya ia harus menerobos blokade musuh.
           “Melewati pos blokade Belanda tanpa membawa barang memang mudah. Mencari pil kina di palang merah Jakarta juga mudah. Tapi bagaimana caranya menyelundupkan obat dengan menerobos pos pemeriksaan Belanda ?” tanya Rumsiah.
           “Kamu bisa menyembunyikannya di bawah tumpukan sayuran atau apa saja,” jawab seorang pejuang.
           “Apa cara itu bisa berhasil ?” tanya Rumsiah ragu-ragu.
           “Itu tergantung pada kemampuanmu mengalihkan perhatian Belanda”, jawab pejuang itu lagi.
           “Misalnya ?”
           “Gampang, jangan panik dan ajak Belanda yang memeriksamu mengobrol ! Cara seperti ini sudah banyak dilakukan dan terbukti berhasil. Kamu dipilih karena kamu gadis pemberani, pintar bercanda dan pandai berbahasa Belanda”.
           Rumsiah tersenyum mendengar penjelasan itu. Namun dalam hatinya ia masih ragu. Apakah cara seperti itu akan berhasil ? Bila cara tersebut sering dilakukan, tidakkah lama-lama Belanda curiga ? Tidak adakah cara lain yang aman dan belum pernah dilakukan ?
           Meskipun takut, Rumsiah tetap berangkat menjalankan tugas. Aku tidak bisa berjuang di medan perang tapi aku bisa berjuang dengan menyelundupkan obat untuk pejuang, demikian pikir Rumsiah. Dari Parungpanjang, Banten, Rumsiah berjalan kaki melewati perbatasan wilayah Indonesia – Belanda. Karena tidak membawa apa-apa, petugas Belanda membiarkannya pergi. Gadis itu melanjutkan perjalanannya menuju stasiun kereta api Serpong.
           Di dalam kereta api jurusan Jakarta, Rumsiah berpikir bagaimana caranya menyelundupkan obat kina. Ia khawatir penjaga pos perbatasan Belanda akan menyita obat itu serta menahan dirinya.
           “Obat itu harus disembunyikan, tapi di mana ?” pikir Rumsiah memeras otak. Berbagai kemungkinan tempat persembunyian dipertimbangkannya, tetapi semuanya dibuang jauh-jauh. “Terlalu berbahaya,” pikirnya.
           Rasa lapar akhirnya menghentikan kerja otak gadis itu. Dilihatnya seorang ibu penjual makanan di dalam kereta dan di antara barang dagangan itu ada getuk. Rumsiah memilih sepotong getuk yang tampak bersih dan segera menyantapnya. Ia terkejut ketika merasakan benda keras tergigit giginya. Benda itu sebutir kerikil agak besar.
           “Aduh, Ibu. Mengapa berjualan getuk pakai kerikil ?” protes Rumsiah.
           Pedagang itu merasa serba salah. “Neng sendiri yang memilih”, bela ibu itu.
           Rumsiah terhenyak. Ia tidak curiga bahwa getuk bersih yang dipilihnya ternyata berisi kerikil. Otaknya berputar cepat mengolah kejadian ini.
           “Bagus !” seru Rumsiah girang. Tempat persembunyian pil kina telah aku temukan, katanya dalam hati. Ia menyodorkan uang kepada penjual getuk. “Ambil kembaliannya dan terima kasih atas kerikilnya. Tapi jangan coba-coba lagi memasukkan kerikil ke dalam getuk !”
           Rumsiah turun dari kereta dengan perasan lega. Tidak sulit baginya memperoleh pil kina dari palang merah di Jakarta. Pil-pil kina itu kemudian dibenamkannya ke dalam getuk. Setelah dirapikan kembali, getuk-getuk itu tampak wajar.
           Rumsiah pulang dari Jakarta dengan naik kereta api menuju Serpong. Dari sini ia berjalan kaki menuju pos perbatasan Belanda. Rumsiah berjalan santai sambil menggendong sebuah bakul penuh getuk yang disusun berlapis-lapis. Beberapa orang tampak antri menunggu giliran diperiksa. Rumsiah berdiri di belakang pria tua yang memikul dua keranjang sayur.
           Seorang serdadu Belanda mendekati Rumsiah. “Apa yang kau bawa ?” tanyanya.
           “Makanan, Tuan. Mau dijual”, jelas Rumsiah tenang.
           “Bongkar !” perintah Belanda itu singkat. Rumsiah membongkar getuknya selapis demi selapis di depan mata penjaga.
           “Sepertinya kamu orang baru. Makanan apa ini ?” celoteh Belanda itu dan tanpa bisa dicegah Rumsiah, ia mencomot sepotong getuk. Rumsiah khawatir jangan-jangan getuk yang diambil itu berisi pil kina. Untung, getuk yang dimakan Belanda itu kosong.
           “Lain kali getuk paling atas jangan dimasuki benda selundupan sehingga aku bisa memberikannya dengan aman kepada penjaga yang meminta”, pikir Rumsiah.
           Tentara Belanda yang meriksa Rumsiah asyik menikmati getuk. Rumsiah cemas bila barang bawaannya terlalu lama diperlihatkan nanti ada orang yang iseng mengambil getuk berisi pil kina.
           “Barang-barangku sudah boleh dikembalikan ke bakul ?” tanya Rumsiah.
           Belanda itu menganggukkan kepala sambil terus mengunyah. “Kamu sudah boleh lewat !“ ujarnya.
           “Ternyata tidak sulit mengelabui mata Belanda,” pikir Rumsiah sambil bergegas pergi. Tiba-tiba langkahnya dihentikan oleh sebuah teriakan.
           “Kamu berhenti !”
           Rumsiah berhenti dan menoleh. Dilihatnya beberapa tentara Belanda berlari ke arahnya. “Bagaimana ini, apakah aku harus lari ?” tanya gadis itu dalam hatinya. “Jangan lari, ada Belanda yang mengarahkan senjatanya kepadaku !” batin Rumsiah.
           Nasib baik berpihak pada Rumsiah karena yang menjadi sasaran Belanda bukan dirinya melainkan pria tua di depan gadis itu. Belanda menangkap orang malang itu.
           “Bongkar sayuranmu !” bentak Belanda.
           “Tadi ‘kan sudah,” tolak pria itu.
           “Kau pikir Belanda bodoh. Bongkar lagi !” tentara Belanda mengobrak-abrik sayuran yang dibawa orang itu. Sebutir sayur kol dibanting hingga berantakan. Tentara Belanda itu mengira ada surat yang disembunyikan di antara daun-daun kol. Namun tidak ada surat atau barang yang mencurigakan meskipun semua sayurannya diacak-acak.
           “Sekarang kamu boleh pergi !” ujar Belanda itu tanpa merasa bersalah. Pria tua itu memasukkan kembali sayuran-sayuran yang sudah berantakan ke dalam keranjang.
           Rumsiah memanfaatkan kejadian itu untuk pergi. Jantungnya masih berdetak kencang. “Benar dugaanku, cara yang dilakukan berulang-ulang akhirnya ketahuan. Menyembunyikan barang di bawah tumpukan sayur sekarang tidak aman. “
           Rumsiah kembali ke Parungpanjang dan menyerahkan pil-pil kina selundupan kepada petugas kesehatan tentara Indonesia. Rumsiah terkejut melihat pria tua pembawa sayur muncul di markas pejuang.
           “Bukankah Bapak orang yang sayurannya diobrak-abrik Belanda ?” tanyanya.
           “Benar. Belanda mengira aku menyembunyikan surat di dalam sayuran”, jawab orang itu.
           “Untung Bapak tidak menyelundupkan apapun,” komentar Rumsiah.
           Bapak tua itu tertawa mendengar komentar ini. “Sebenarnya aku menyelundupkan surat penting,” jelasnya.
           “Di mana Bapak menyembunyikan surat itu ? Bukankah Belanda telah memeriksanya dengan teliti bahkan sampai merusak sayuran Bapak ?” tanya Rumsiah.
           “Biasanya aku menyembunyikannya di bawah tumpukan sayur. Untung sebelum tiba di pos Belanda aku berubah pikiranr. Aku selipkan surat yang sudah dilipat-lipat ke dalam bambu anyaman keranjang”.
           “Ah, Bapak cerdik. Bapak bisa mengelabui Belanda !” puji Rumsiah. Ia berpikir barangkali cara pria tua itu menyembunyikan surat bisa ditirunya untuk menyelundupkan obat. Ternyata banyak cara untuk bisa menerobos blokade musuh.
           Setelah meminta beberapa butir pil kina Rumsiah kemudian menuju ke rumah anak yang sakit malaria. “Sudah sembuh ?” tanyanya begitu tiba di tempat tujuan.
           “Bagaimana bisa sembuh kalau ia tidak mau menelan pil kina”, keluh ibunya.
           Rumsiah mengambil sepotong getuk dan menyodorkannya kepada si anak. ”Adik manis, mau ini ?” tanya Rumsiah penuh kasih.
           Mata anak itu berbinar melihat makanan kesukaannya. Pelan-pelan dikunyahnya getuk dan ketika ia merasakan benda asing di dalam mulutnya, Rumsiah segera bertindak.
           “Telan saja, jangan dikunyah !” ujar Rumsiah sambil menyodorkan segelas air putih. Beberapa hari kemudian anak itu pun sembuh berkat ketekunan Rumsiah.
           Keberhasilan Rumsiah menyelundupkan pil kina menyebabkan ia diberi tugas yang sama lagi. Berkali-kali ia mengelabui mata Belanda yang memeriksa barang bawaannya. Blokade Belanda ternyata tidak mampu mematahkan perjuangan kemerdekaan bangsa kita.

Granat Bambu

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Dulu di Rangkasbitung, Banten, ada sebuah pabrik minyak kelapa yang cukup besar, namanya Mex Olie. Pabrik ini sangat berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia karena selain memproduksi minyak kelapa juga membuat senjata. Di tempat ini putra-putra Indonesia membuat senjata sendiri terutama jenis martir, granat, bom tarik dan ranjau darat. Kemampuan membuat senjata ini semakin baik setelah ada seorang wanita Indonesia pertama yang menjadi ahli kimia. Beliau mengajari pemuda-pemuda kita cara membuat senjata.
           Senjata yang dihasilkan Mex Olie belum sempurna karena keterbatasan teknologi dan peralatan. Namun demikian para pejuang merasa bangga bisa menggunakannya. Senjata-senjata buatan Banten ini ikut memompa semangat juang para pahlawan kita.
           Di antara senjata buatan sendiri itu di antaranya adalah granat bambu. Seharusnya granat dibungkus dengan logam, namun karena barang tambang ini sulit dicari maka dipakailah bambu sebagai penggantinya. Beberapa granat bambu itu menjadi senjata andalan salah seorang penjuang republik bernama Jaya. Dengan bangga Jaya memamerkan granat bambu kepada kawan-kawannya.
           “Granat seperti ini ?” tanya kawannya tidak percaya. “Kamu yakin benda ini granat bukannya bambu biasa ?”
           “Jangan-jangan cuma petasan besar. Belanda yang dilempari granat semacam ini pasti tertawa. Mana mungkin bambu kecil bisa menakuti mereka. Mereka lebih takut pada bambu runcing !” komentar kawannya yang lain.
           “Nah pada saat Belanda tertawa, tamat riwayat mereka akibat terkena ledakan granat bambu,” bela Jaya.
           Demikianlah, pada mulanya pejuang-pejuang kita tidak percaya bahwa granat bambu bisa menjadi senjata untuk mengusir Belanda. “Jaya, bagaimana kalau kamu mencoba satu untuk meyakinkan kita semua kehebatan granat bambu ini ?” usul salah seorang di antara mereka.
           “Kita tidak boleh membuang-buang granat dengan percuma,” tolak Jaya. “Granat bambu ini sudah diuji coba oleh Mayor Widagdo, Kepala Bagian Persenjataan Brigade Tirtayasa".
           “Mencoba satu saja supaya kita yakin,” bujuk temannya. Akhirnya setelah dibujuk-bujuk Jaya bersedia mencoba sebuah granat bambu. Sebagai pengganti serdadu Belanda, mereka menggunakan batang pohon pisang. Sepuluh batang pohon pisang diberdirikan di sebuah kebun kosong.
           “Sebelum granat dilemparkan, kalian harus bersembunyi dulu”, ujar Jaya kepada teman-temannya. “Saya tidak mau ada yang terluka.”
           “Siap teman-teman !” teriak Jaya setelah semua orang berlindung. Jaya mencabut sumbat granat bambu lalu melemparkannya ke tengah-tengah kumpulan batang pohon pisang. Kawan-kawannya memperhatikan dengan cermat dari tempat yang aman. Begitu granat mengenai batang pohon pisang, terdengar ledakan keras. Jaya terkejut ketika sebuah benda kecil berdesing di dekat telinganya. Benda tersebut menancap pada batang pohon di belakang Jaya.
           “Lidi kecil ?” gumam Jaya setelah mengamati benda itu. “Dari mana asalnya ?”
           Sementara itu batang pisang yang terkena granat menjadi hancur sedangkan sebagian besar batang pisang lainnya terpental atau roboh. Penonton bersorak-sorai menyaksikan kehebatan granat buatan sendiri itu. Belum puas, mereka memeriksa lebih teliti bekas-bekas ledakan.
           “Gila, batang pohon pisang bisa hancur begini !” komentar mereka.
           “Lihat batang pisang yang roboh ini !” seru Jaya. Mereka memperhatikan arah telunjuk Jaya dan menemukan puluhan serpihan bambu menancap pada batang pohon pisang yang roboh. Rupanya ketika granat meledak bambu pembungkusnya terpecah menjadi ratusan bahkan ribuan serpihan kecil yang melesat dengan cepat ke segala arah. Begitu cepatnya serpihan bambu ini melesat hingga dapat menembus batang pohon pisang sampai jauh ke dalam.
           “Ah, jadi lidi yang berdesing di dekat telingaku tadi berasal dari bambu pembungkus granat ini. Apa jadinya kalau lidi itu mengenai telingaku ? Aku yakin serpihan bambu granat bisa menembus pakaian tentara Belanda !” ujar Jaya.
           “Luar biasa !” kata Jaya dan kawan-kawannya kagum. “Ternyata hebat juga bangsa kita bisa membuat granat sedahsyat ini !”
           “Aku tidak sabar ingin mencoba granat ini pada tentara Belanda,” ujar Jaya menyatakan keinginannya.
           Jaya tidak perlu menunggu lama. Pada bulan Juli 1947, beberapa hari setelah Belanda melancarkan agresi militernya, ia ikut dalam serangan ke Parungpanjang, Banten. Penyerangan yang dipimpin Mayor Sachra tersebut berhasil menghancurkan jembatan kereta api di perbatasan wilayah yang dikuasai musuh. Prestasi ini sungguh membanggakan pasukan Indonesia.
           “Sekarang giliranku memberi hadiah istimewa untuk Belanda,” kata Jaya sambil menyiapkan granat bambu. Ia berpaling kepada seorang kawannya yang sedang sibuk mengisi peluru. “Aku mau mendekati pos Belanda. Lindungi aku dengan tembakan-tembakanmu !.”
           “Beres, tunjukkan kehebatan granat bambu kita !” jawab kawannya itu sebelum menembaki pos Belanda.
           Di antara desingan peluru Jaya merayap-rayap mendekati pos musuh. Dilihatnya beberapa orang tentara Belanda di tempat itu. Salah seorang di antaranya memberondongi pejuang-pejuang kita dengan senapan mesin. Jaya mengambil sebuah granat bambu. Pada saat yang tepat ia segera melemparkannya ke arah pos musuh…
           Sayang granat bambu tersebut meledak terlalu cepat. Lebih sial lagi, granat itu meledak ketika masih dipegang tangan Jaya. Kesadarannya hilang hampir bersamaan dengan suara ledakan granat. Ia rubuh dengan tubuh penuh darah. Bahkan seluruh wajahnya tertutup darah.
           Dua orang prajurit kesehatan bergegas menyelamatkan Jaya. Di bawah hujan peluru dan ledakan keras mereka mengungsikannya ke garis belakang.
           “Jaya, bangun !” teriak salah seorang di antara mereka. Ia menempelkan ibu jarinya ke pergelangan tangan Jaya untuk memeriksa denyut nadi.
           “Gugurkah dia ?” tanya yang lain dengan cemas.
           “Saya rasa Jaya hanya pingsan. Denyut jantungnya masih ada”.
           “Syukurlah. Cepat kita bawa ke dokter tentara !”
           “Pendarahannya parah. Bila terlambat, kita tidak bisa menolongnya !”
           Dalam keadaan pingsan Jaya dibawa ke rumah sakit tentara. Jangan bayangkan rumah sakit ini berupa bangunan. Tempat ini merupakan bekas gerbong kereta api yang telah diubah menjadi rumah sakit darurat. Walaupun demikian, rumah sakit darurat ini memiliki keuntungan. Ia bisa ditarik lokomotif dan dipindah-pindahkan dengan mudah mengikuti gerakan pejuang.
           Di rumah sakit tentara ini Jaya dioperasi oleh dokter Satrio (yang kelak di kemudian hari menjadi Mentri Kesehatan kita). Dokter Satrio terpaksa memotong tangan Jaya dan membuang sebuah bola matanya. Operasi berlangsung singkat tetapi yang lama adalah mencabuti puluhan serpihan bambu yang menancap di dalam tubuh dan mata Jaya. Serpihan-serpihan bambu yang menembus mata Jaya inilah yang menyebabkan bola matanya pecah.
           Jaya menjalani hari tuanya sebagai purnawirawan TNI dan tinggal di Batuceper, Tangerang. Beliau merasa gembira bisa menikmati kemerdekaan yang diperjuangkannya dengan mengorbankan sebelah tangan dan matanya itu. Semoga pengorbanannya - dan pengorbanan semua pejuang - tidak dilupakan oleh generasi muda yang hidup di alam kemerdekaan.

Senin, 11 Juli 2011

Senjatanya Hebat Tapi.....

Pengantar :

           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan. Kisah nyata yang melatarbelakangi cerpen ini berasal dari buku yang disusun oleh Bapak Matia Majiah. Kepada Beliau saya sampaikan rasa hormat yang setinggi-tingginya, di samping karena kerja kerasnya menyusun buku tersebut juga karena jasanya ikut mempertahankan kemerdekaan negara kita.





           Belum genap dua tahun Indonesia merdeka, Belanda melancarkan serangan besar-besaran untuk menjajah kembali negeri kita. Serangan yang terkenal sebagai Agresi Militer Belanda I ini dihadapi para pejuang kita dengan senjata seadanya. Beruntunglah mereka yang mendapat senjata rampasan Jepang, dan lebih beruntung lagi anggota Kompi Pionir yang dipimpin Kapten Umar Dipokusumo. Kompi ini memiliki bom yang bisa digunakan untuk menghancurkan gedung dan jembatan. Bom tarik namanya. Senjata ini diperoleh dari gudang senjata Jepang yang telah berhasil dirampas pemuda-pemuda Indonesia.


           Orang-orang yang tergabung dalam Kompi Pionir merasa bangga. Betapa tidak, sementara prajurit lain membawa senjata sederhana, mereka memegang bom berukuran besar. Bila pasukan republik berpawai maka rakyat memberi perhatian lebih kepada kompi ini. Rakyat sangat kagum melihat bom-bom besar milik Kompi Pionir.


           Pada tanggal 21 Juli 1947, setelah agresi militer, sektor Jakarta Barat/Tangerang mendapat perintah mendadak untuk mendahului menyerang Belanda. Komandan Brigade I Tirtayasa, Letkol. Sukanda Bratamanggala memerintahkan tiga kompi tentara untuk membantu serangan tersebut. Ketiga kompi ini adalah Kompi Umar Syarif dari Batalion Polisi Tentara, Kompi Garuda yang dipimpin Kapten Sabith dan Kompi Pionir.


           Anggota-anggota Kompi Pionir menyambut perintah ini dengan gembira. Mereka ingin menunjukkan kehebatan bom tarik miliknya. Bagaimanapun, perintah yang mendadak tersebut membuat kompi peledak menyiapkan peralatan dengan tergesa-gesa. Kapten Umar mengawasi anak buahnya yang sedang mengemas perlengkapan perang. Ia ingin memastikan agar dalam pertempuran nanti tidak kekurangan bom.


           Komandan sektor Mayor Jaelani sebagai pemimpin penyerbuan membagi tugas anak buahnya. Setiap regu berangkat menuju sasaran yang telah ditentukan. Mereka membawa senjata masing-masing. Anggota kompi Umar bekerja keras mengangkut peralatannya yang berat. Bom-bom tarik kebanggaan mereka ternyata cukup merepotkan, apalagi harus menempuh jarak yang jauh. Untunglah, kawan-kawan seperjuangan dari kompi lain ikut membantu.


           Mayor Jaelani memahami kesulitan tersebut. “Sepulang dari medan perang aku yakin banyak warga kampung yang mau membantu kalian mengangkut bom-bom tarik,” ujarnya membesarkan hati Kompi Pionir. Mayor Jaelani tidak merasakan firasat apapun bahwa kelak ia harus menarik kembali kata-katanya itu. Beliau tidak mengira bahwa nanti ia harus mengusir warga kampung yang hendak membantu Kompi Pionir.


           Dengan badan pegal-pegal Kompi Pionir akhirnya tiba di tempat tujuan. “Masih ada waktu sedikit untuk istirahat,” ujar Kapten Umar sambil melemaskan otot-ototnya yang kaku. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh semua anak buahnya. Namun belum puas mereka beristirahat, Kapten Umar menyuruh mereka segera memasang bom di dekat bangunan-bangunan yang akan diledakkan. Dengan hati-hati agar tidak diketahui musuh, mereka memasang bom tarik. Nanti bila pejuang republik berhasil menguasai gedung-gedung yang ditinggali Belanda, mereka akan menyiapkan bom di tempat-tempat itu juga.


           Sasaran utama yang harus diledakkan adalah jembatan. Bila jembatan putus maka Belanda tidak bisa mendatangkan bala bantuan. Beberapa pejuang menggotong bom tarik ke arah jembatan. Pekerjaan ini sulit karena mereka melakukannya sambil merunduk. Sesekali mereka harus berhenti sebentar untuk melihat-lihat keadaan. Setelah merasa aman Kapten Umar memberi isyarat dengan tangan agar mereka terus maju dan masuk ke kolong jembatan. Sesuai dengan rencana, mereka memasang bom-bom tarik di dekat tiang utama jembatan.


           Sementara itu semua pejuang telah siap di posisi masing-masing. Mayor Jaelani mempelajari keadaan sekeliling. Diperhatikannya musuh dengan cermat. Ia juga menerima laporan dari anak buahnya mengenai kondisi medan perang dan pasukan, baik pasukan republik maupun pasukan musuh.


           “Pasukan kita sudah siap, Mayor !” lapor anak buahnya.


           “Tidak ada tanda-tanda bahwa Belanda telah mengetahui keberadaan pasukan kita di sini,” lapor yang lain.


           “Bagus. Bagaimana dengan Kompi Pionir ?” tanya Mayor Jaelani.


           “Bom-bom sudah dipasang di lokasi-lokasi strategis”.


           Setelah dirasakannya siap, Mayor Jaelani memerintahkan semua pejuang untuk menyerang. Maka dini hari itu, saat kebanyakan tentara Belanda masih lelap tertidur, meletus pertempuran. Secara serentak pejuang-pejuang kita menyerang kedudukan Belanda di Sepatan, Cimone, Kelapa Dua dan Karawaci.


           Bom tarik sudah dipasang di bawah jembatan, tinggal diberi detonator. Detonator berukuran kecil bila dibandingkan dengan badan bom tarik yang besar itu. Walaupun kecil namun fungsinya sangat besar. Tanpa detonator bom tidak bisa diledakkan.


           “Cepat pasang detonator !” perintah Kapten Umar kepada anak buahnya. Anak buahnya ini bertanya kepada kawan-kawannya, “Mana detonatornya ?”


           Mereka mencari-cari alat itu di antara tumpukan peralatan. Kapten Umar merasa tidak sabar ,”Cepat sedikit !”


           Prajurit yang dari tadi mencari-cari akhirnya menjawab,”Kurasa saya tidak membawa detonator”.


           “Lalu siapa yang membawa?” tanya Kapten Umar. Orang yang ditanya memandang ke arah teman-temannya.


           “Bapak lihat sendiri. Saya mengangkut bagian bom yang berat. Saya pikir biarlah detonator dibawa prajurit yang lain saja,” jawab seorang di antaranya.


           “Dalam pertempuran yang sudah-sudah, saya tidak pernah membawa detonator”, jawab yang lain.


           ”Jangan-jangan….” keluh Kapten Umar sambil menepuk keningnya. “Geledah semua barang bawaan masing-masing !” perintahnya kemudian.


           Di tengah-tengah kesibukan mencari detonator datang seorang anggota Kompi Pionir lain. “Lapor, Pak ! Bom sudah dipasang di dekat tiang kabel telepon milik Belanda. Tetapi regu kami tidak membawa detonator. Saya datang ke sini untuk meminta detonator.”


           Kapten Umar memelototi prajurit tersebut. “Orang sebanyak ini tidak ada yang membawa detonator ? Waktu menyiapkan peralatan aku melihat banyak detonator di gudang senjata kita. Menyesal mengapa saat itu aku tidak mengambilnya. Ini akibat persiapan yang terburu-buru.”


           Kapten Umar melayangkan pandangan ke arah anak buahnya. “Ada yang menemukan detonator ?”


           Semua anak buahnya menggeleng. Kapten Umar mencabut pistol dari pinggangnya. “Tinggalkan semua bom tak berguna ini. Lupakan senjata hebat yang kita bangga-banggakan. Ambil bedil, pistol atau apa saja. Kita masih bisa berjuang walaupun tanpa bom !”, perintahnya.


           “Sayang sekali, padahal aku ingin melihat pos Belanda meledak oleh bom kita,” keluh seorang prajurit sebelum berlari mengikuti jejak komandannya.


           Pertempuran berkecamuk. Belanda menghujani pejuang-pejuang kita secara membabi-buta dengan senapan mesin. Berkali-kali Mayor Jaelani berteriak agar Kompi Pionir meledakkan jembatan. Mayor Jaelani menunggu suara ledakan. Namun apa yang ditunggu tidak juga terjadi.


           “Mana ledakannya ? Apa yang dilakukan Kompi Pionir ?” tanyanya. Mayor Jaelani marah ketika mendapat laporan bahwa bom-bom milik Kompi Pionir tidak bisa diledakan karena tidak ada detonator.


           “Keterlaluan !” makinya. “Bagaimana bisa detonator yang sangat penting sampai lupa tidak dibawa ?”


           Meskipun tidak bisa memanfaatkan bom-bom tarik, semangat tempur pejuang-pejuang kita tidak mengendur. Mayor Jaelani terpaksa mengubah strategi perang karena tidak bisa meledakkan bangunan-bangunan penting.


           Setelah bertempur seharian, pada petang hari Mayor Jaelani memerintahkan semua pasukan untuk pulang. Beliau menyuruh agar korban-korban yang gugur dan luka-luka diangkut.


           “Sudah cukup perang kita hari ini !” teriak Mayor Jaelani. “Kita sudah berhasil memberi pelajaran kepada Belanda. Kini mereka tahu, Indonesia tidak hancur oleh agresi militer Belanda.”


           “Sebenarnya hasil yang kita raih pasti lebih bagus seandainya Kompi Pionir bisa meledakkan bom-bomnya. Susah-payah diangkut, sampai di medan perang tak bisa dipakai !”


           “Kompi Pionir harus dihukum karena kelalaiannya,” ujar beliau. “Kalian harus membawa semua bom kembali ke markas. Anggota kompi lain dilarang membantu !”


           Kapten Umar memimpin anak buahnya pulang ke markas. Dengan lesu mereka mengangkut bom-bom besar. Senjata yang dibangga-banggakan sekarang menjadi beban. Sepanjang jalan warga kampung merasa iba melihat mereka kelelahan. Ketika akan membantu membawa bom, warga kampung dibentak oleh Mayor Jaelani.


           “Kalian bukannya tidak boleh membantu pejuang, tetapi mereka sedang dihukum”, jelas Mayor Jaelani kepada pemuda-pemuda kampung.


           Demikianlah, ketika semua prajurit telah sampai di tempat tujuan, Kompi Pionir masih harus berjuang mengangkut bom-bom berat yang mereka bangga-banggakan. Mereka akan mengenang hukuman ini agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Kamis, 07 Juli 2011

Pahlawan Yang Terlupakan


Saya membaca dua buah buku tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Buku pertama disusun oleh Bapak Achmad, seorang veteran asal Tegal. Buku ini merupakan kumpulan laporan perjuangan warga daerah tersebut mulai dari pengumuman proklamasi kemerdekaan, mengusir Jepang, menghadapi pemberontakan Tiga Daerah, pemberontakan DI/TII  sampai perang dengan Belanda. Bapak Achmad menutup laporannya dengan kembalinya para pejuang ke dalam kota Tegal yang semula diduduki Belanda.
            Awal ketertarikan pada buku ini adalah ketika pembacaan saya sampai pada peristiwa pencegatan kereta api oleh tentara Belanda. Warga sipil dan pejuang memenuhi kereta api meninggalkan kota Tegal yang hampir jatuh ke tangan Belanda. Sayang, di tengah jalan kereta api tersebut dicegat oleh pesawat tempur dan tank Belanda. Sungguh menarik upaya pejuang meloloskan diri dari kepungan Belanda sekaligus menyelamatkan warga sipil yang ada di dalam kereta. Sungguh menarik bila kisah pencegatan kereta api itu dinovelkan.
            Gagasan untuk menovelkan perjuangan kemerdekaan Indonesia membuat saya mencoba membuat cerita pendek berdasarkan peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam buku ini. Jadilah cerpen-cerpen sebagaimana yang dipublikasikan di dalam blog ini. Tujuan penulisan cerpen-cerpen ini adalah menggugah rasa nasionalisme dan patriotisme pada generasi muda. Karena sasarannya generasi muda (anak-anak) maka cerpennya pun dibuat pendek, bahkan cerita yang panjang saya jadikan dua atau tiga cerpen.
Untuk menyusun cerpen saya membaca buku ini berulang-ulang. Ternyata banyak kisah menarik yang dialami para pejuang kita dan menggugah saya untuk men-cerpen-kannya. Sebut saja misalnya cerita tentang satu regu pejuang dipimpin Sersan Achmad yang terkepung di tengah-tengah Belanda. Mereka terpaksa harus berendam di dalam sungai selama enam belas jam. Kisah lain yang menarik adalah macetnya senjata pada saat-saat genting, atau granat yang tidak meledak. Saya kagum dengan tekad ribuan orang yang berjalan empat hari empat malam dari Tegal ke Temanggung hanya untuk mencari bambu runcing. Saya bisa merasakan bagaimana kagetnya Belanda ketika mereka mendapati bendera yang berkibar di markasnya telah diganti menjadi merah putih !
Saya bisa merasakan bagaimana terharunya pejuang-pejuang kita saat berhasil merebut dan memasuki kembali kota Tegal yang sekian lama ditinggalkan. Saya juga bisa merasakan bagaimana gembiranya warga Tegal menyambut kedatangan pahlawan-pahlawan yang telah membebaskan kotanya dari cengkeraman Belanda. Kesedihan dan kebanggaan bercampur-baur pada mereka yang kehilangan orang-orang yang dicintainya akibat kekejaman perang.
Buku kedua yang tak kalah menariknya adalah buku yang disusun oleh Bapak Matia Majiah. Buku ini berisi sejarah prajurit kesehatan selama perang kemerdekaan di daerah Banten. Hampir setiap paragraf dalam buku ini bisa dikembangkan menjadi sebuah cerpen. .
Cerpen yang berlatar belakang perang kemerdekaan saat ini sangat jarang, apalagi  bila latar belakangnya adalah kisah nyata. Padahal dewasa ini tak bisa dipungkiri fakta bahwa jiwa patriotisme dan nasionalisme pada generasi muda  cenderung merosot. Lihat saja misalnya pada acara Agustusan.  Bisakah generasi muda menghayati perjuangan para pahlawan melalui lomba makan kerupuk dan lomba-lomba semacamnya? Nasionalisme macam apa yang bisa didapat dari lomba panjat pinang, balap karung atau tangkap belut ? Bagaimana perasaan para veteran melihat jerih-payah mereka diwujudkan (atau, lebih parah lagi disamakan) dengan lomba kelereng, lomba mengupas buah, atau lomba merias saat tujuh-belasan ? Lomba-lomba tujuh-belasan tersebut lebih bersifat hiburan daripada penghargaan kepada pahlawan ! Pembacaan puisi dan pementasan drama perjuangan lebih tepat untuk menggugah nasionalisme dan patriotisme, sayangnya  masyarakat kurang berminat.
Kembali ke buku susunan Bapak Matia Majiah, banyak fakta menarik yang diceritakan beliau. Tahukah pembaca bahwa ada seorang wanita yang menjadi sarjana (diploma) kimia pertama di Indonesia dan wanita ini mengajari pejuang bagaimana caranya membuat bom ? Saya ikut bangga dengan kemampuan pejuang membuat bom sendiri meskipun kadang bom tersebut meledak di tangan. Apa pendapat Anda mengenai seregu pejuang yang berangkat perang tetapi lupa membawa senjata penting ? Tidakkah pembaca tercengang atas kenekatan seorang pejuang yang menyerang tank Belanda dengan kelewang ?
Fakta lain yang menarik di dalam buku ini adalah upaya membangun rumah sakit tentara yang bisa dipindah-pindahkan. Rasa salut saya sampaikan kepada prajurit-prajurit kesehatan yang dengan cerdik berhasil mengubah bekas gerbong kereta api menjadi rumah sakit seperti yang dimaksud. Bagian yang paling menarik perhatian saya yang dilaporkan dalam buku ini adalah  ketika wabah cacar mengancam pejuang-pejuang kita. Mereka tidak bisa memperoleh vaksin karena diblokade oleh Belanda. Terpaksa pasukan kesehatan berusaha keras membuat vaksinnya sendiri. Adalah mengherankan bagaimana mereka berhasil membuat vaksin di tengah serba kekurangan sarana dan prasana akibat blokade Belanda ! Keberhasilan ini lebih mengherankan lagi mengingat pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pembuatan vaksin masih sangat minim !
Sebagai penutup, tidak lupa saya menyampaikan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada Bapak Achmad dan Bapak Matia Majiah. Jasa mereka berdua dalam mendokumentasikan perjuangan bangsa sungguh besar. Pengorbanan mereka berdua dalam ikut aktif mempertahankan kemerdekaan negeri ini tidak boleh dilupakan. Semoga tetesan darah dan keringat mereka berdua dan semua pejuang bangsa tidak dilupakan oleh generasi muda.