Kamis, 24 November 2011

Pengepungan Dalam Pengepungan

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.


           Meskipun Indonesia sudah merdeka, Jepang masih menguasai Kota Tegal, Jawa Tengah. Bendera Jepang berkibar di banyak tempat di Tegal yang menunjukkan bahwa penjajah itu tidak mau melepaskan cengkeramannya pada kota tersebut. Beberapa pemuda dengan berani menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan Merah Putih. Namun keberanian tersebut harus ditebus dengan menghadapi kemarahan Jepang seperti yang dialami oleh seorang pemuda bernama M. Yakub Mangunkusumo.
           Ketika itu, tepatnya tanggal 27 Agustus 1945 pagi, Jepang mengadakan upacara pengibaran bendera Hinomaru di pelabuhan Tegal. Yakub merasa jengkel melihat bendera Jepang akan dikibarkan padahal Indonesia sudah merdeka. Saat itu masih banyak orang yang belum tahu bahwa Indonesia sudah merdeka, lagi pula Jepang berusaha menutupi berita tersebut.
           Pemuda Yakub ingin menunjukkan bahwa bendera Merah Putih harus berkibar di negaranya sendiri yang sudah merdeka. Demikianlah, Jepang tersentak kaget ketika melihat bahwa bendera yang dikibarkan dalam upacara itu adalah Merah Putih. Di dekat tiang bendera, pemuda Yakub berdiri tegak lalu menghormat ke arah Merah Putih. Ia memekikkan kata “merdeka” sebelum berlari secepat kemampuannya. Jepang terlambat mengepungnya dan berhari-hari pemuda Yakub diburu oleh kenpetai (poilisi militer Jepang).
           Kenekatan Yakub didorong oleh keberanian kawan-kawannya yang mengibarkan bendera Merah Putih di halaman penjara Jepang. Keberanian ini cepat menular di kalangan pemuda. Puncaknya, pada tanggal 10 September 1945 beberapa pemuda dipimpin oleh M. Yunus dan Ciptoarjo mengibarkan Merah Putih di atas bangunan termewah di Tegal saat itu, Gedung Biro.
           Seorang kenpetai memaksa pemuda menurunkan Merah Putih dari Gedung Biro. Ia mengacung-acungkan senjatanya ke arah para pemuda, namun yang diancam tidak merasa gentar.
           “Coba sendiri kalau berani !” tantang pemuda sambil mencabut golok. Kawan-kawannya menyambut ucapan itu dengan mengangkat bambu runcing, parang dan golok. Sang kenpetai ketakutan dan segera pergi menuju ke markasnya.
           Para pemuda kemudian mendatangi kantor-kantor pemerintah untuk mengibarkan bendera Indonesia. Orang-orang Jepang yang menjadi pegawai di kantor-kantor tersebut marah namun takut. Pemuda-pemuda Indonesia juga memasang Merah Putih di bangunan tertinggi yang ada di kota itu, yaitu gedung menara air. Dari atas menara air ini Merah Putih bisa dilihat oleh orang-orang Tegal yang ada di tempat yang sangat jauh.
           Komandan kenpetai sangat marah mendengar laporan anak buahnya. “Mereka sudah berani terhadap kita. Ini tidak bisa dibiarkan !” geramnya.
           Tak lama berselang seorang kenpetai melapor, “Ada berita baru masuk. Mereka saat ini sedang berkumpul di Markas Pemuda di Jalan Gilitugel (kini Jl. Jend. Sudirman).”
           “Bagus. Sekarang juga kita tangkap mereka. Sembilan orang dari kalian ambil senapan mesin dan ikuti aku !” perintahnya.
           Beberapa saat kemudian sebuah rombongan kendaran militer Jepang melaju kencang di jalan. Rakyat yang melihatnya menjadi cemas. Mereka yakin bahwa Jepang akan menangkap orang seperti yang sudah-sudah.
           “Ke mana polisi-polisi Jepang itu ?” tanya seorang penduduk.
           “Siapa yang mau ditangkap ?” tanya orang lain.
           “Ayo kita cari tahu !” ajak seseorang. Ketiga orang itu berjalan cepat menuju ke arah hilangnya mobil-mobil Jepang. Di sebuah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak kecil yang berlari kencang.
           “Hei, Nak. Ada apa ?”
           “Jepang mengepung Markas Pemuda,” jawab anak itu sambil terus berlari. Ia bermaksud segera memberitahu orang tuanya bahwa kakaknya hendak ditangkap Jepang. Saat itu kakaknya merupakan salah seorang yang sedang berkumpul di Markas Pemuda. Berita pengepungan ini menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut.
           Sementara itu puluhan orang berkumpul di gedung Komite Nasional Indonesia yang juga dikenal sebagai Markas Pemuda. Walaupun lelah karena berkeliling kota untuk mengibarkan Merah Putih, wajah mereka menunjukkan kegembiraan.
           “Apa yang akan kita lakukan besok ?” tanya seorang pemuda dengan suara lantang.
           “Bagaimana kalau meminta bapak Walikota agar mengumumkan secara terang-terangan bahwa kemerdekaan kita telah diproklamasikan ?” usul Citrosatmoko.
           “Saya setuju dengan usul Citro”, teriak beberapa kawannya.
           Setelah puas bertukar-pikiran, Citrosatmoko dan beberapa pemuda lainnya pulang. Belum sampai di tepi jalan, tiba-tiba sebuah mobil militer Jepang berhenti mendadak di depan mereka. Tiga orang Jepang berloncatan keluar dari mobil sambil mengacungkan senapan. Pemuda-pemuda kita berlari masuk kembali.
           Komandan kenpetai menghunus sangkur. Ia mendekati tiang bendera yang terbuat dari bambu kecil. Di atas sana Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Sekali tebas tiang bambu itu roboh bersama benderanya. Sangkur Jepang memang tajam dan ganas, apalagi sangkur milik komandan kenpetai itu.
           Di dalam gedung terjadi kepanikan. Pemuda-pemuda yang baru masuk segera menutup pintu rapat-rapat. Mereka berusaha kabur lewat pintu belakang. Namun mereka kecewa karena di belakang gedung ada tiga orang Jepang dengan senjata siap di tangan. “Kita terkepung !” gumam seorang pemuda.
           Terdengar rentetan senapan mesin. Peluru-pelurunya meninggalkan serpihan kayu di lantai, juga lubang-lubang di tembok. Komandan kenpetai berteriak lantang, “Keluar semua satu per satu. Kalian sudah dikepung. Siapa yang lari atau melawan akan ditembak !”
           Senapan mesin Jepang menyalak lagi. Sasarannya adalah pintu depan. Dari pintu ini terdengar suara keras. Brak ! Pintu depan terbuka disusul masuknya komandan kenpetai. “Keluar semua kalau tak mau ditembak!” ancamnya.
           “Indonesia sudah merdeka dan Jepang sudah kalah”, teriak Citrosatmoko dari ruang dalam. “Mengapa kami harus menyerah kepada bangsa yang sudah kalah perang ?”
           “Dasar bandel !” maki komandan itu. “Jangan tunggu kesabaranku habis !”
           Rasa panik mencekam pemuda-pemuda kita. Mereka tidak bisa memutuskan apakah akan melawan Jepang atau menyerah. Melawan adalah pilihan yang nekat karena bagaimana mungkin mereka yang tidak bersenjata mampu menghadapi senapan mesin Jepang. Pasti banyak memakan korban. “Tapi aku tidak mau menyerah !” tekad salah seorang di antara mereka yang kemudian disetujui oleh pemuda-pemuda lainnya.
           Komandan kenpetai gusar atas sikap para pemuda. Ia berseru lantang, “Citro, kamu keluarlah !”
           Citrosatmoko balas berteriak,”Aku akan keluar asalkan kalian tidak mengganggu kawan-kawanku !”
           Jawaban Citro membuat Jepang marah. “Jangan banyak omong ! Keluar cepat atau kamu dan semua kawanmu aku tembaki !”
           Tak disangka ancaman Jepang itu malah disambut dengan teriakan merdeka oleh para pemuda. Udara di dalam Markas Pemuda bergetar akibat hebatnya pekik merdeka.
           Teriakan merdeka juga terdengar di luar Markas Pemuda. Komandan kenpetai sebenarnya sudah melihat kerumunan orang-orang di sekeliling gedung namun ia mengira mereka hanya menonton. Benarkah orang-orang itu hanya menonton ?
           Ketika kerumunan orang masih sedikit Jepang tidak meperdulikannya. Kini setelah jumlahnya mencapai ratusan orang, serdadu-serdadu Jepang itu merasa cemas. Situasi ini segera dilaporkan kepada komandan kenpetai yang masih ada di dalam Markas Pemuda.
           Sang komandan memperhatikan orang-orang di sekeliling gedung. Ratusan orang itu meneriakkan pekik merdeka, bahkan ada yang berseru bunuh Jepang ! Mereka mengacung-acungkan bambu runcing dan golok, bahkan ada yang berani melempari serdadu Jepang dengan batu.
           “Kita terkepung !” gumam sang komandan.
           “Bagaimana komandan, apakah kita akan menghabisi mereka ?"
           “Goblok !” bentak komandan kenpetai. “Jarak mereka dengan kita sudah sangat dekat. Kita bisa saja menghabisi mereka dengan senapan mesin. Tetapi sebelum mereka mati semua kita sudah disate oleh bambu-bambu runcing itu.”
           Komandan kenpetai meninggalkan pemuda-pemuda yang masih bersikukuh tidak akan menyerah. Tiba di luar gedung teriakan merdeka terdengar makin jelas. Komandan kenpetai berdiri tegak. Ia menyapukan pandangannya ke arah ratusan orang yang mengelilingi Markas Pemuda. Pasukannya yang semula mengepung pemuda kini malah dikepung warga. Ia tersenyum kecut ketika melihat wajah-wajah marah yang ditunjukkan oleh orang-orang itu.
           Rakyat Tegal memperhatikan komandan kenpetai yang terkenal galak itu.Mereka bersiap menyerbu meskipun harus menghadapi senapan mesin Jepang. Namun mereka kaget ketika sang komandan kenpetai mengacungkan tangannya yang terkepal ke arah orang-orang sambil memekik, “Merdeka !”
           Komandan kenpetai memberi aba-aba kepada anak buahnya agar mengikuti. “Cepat pulang. Perang kita sudah selesai. Aku tak mau mati disate bambu runcing !”
           Semua sedadu Jepang segera pulang ke markasnya sendiri setelah dengan susah-payah menerobos kerumunan massa yang hiruk-pikuk itu. Sambil bergerak menerobos massa, Jepang-Jepang itu meneriakkan pekik merdeka. Warga membalas pekikan itu dengan lebih bersemangat sebelum memberi jalan agar Jepang bisa lewat. Wajah-wajah kenpetai yang biasanya menyeramkan kini pucat.
           Mengetahui Jepang lari ketakutan, para pemuda berhamburan keluar gedung. Citrosatmoko melihat Merah Putih tergeletak karena tiangnya disabet sangkur Jepang. Ia mengambil tiang yang roboh itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi lalu melambai-lambaikannya. Bendera Merah Putih terbentang lebar oleh tiupan angin.
           “Sekali merdeka tetap merdeka !” pekik Citro lantang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar