Senin, 11 Juli 2011

Senjatanya Hebat Tapi.....

Pengantar :

           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan. Kisah nyata yang melatarbelakangi cerpen ini berasal dari buku yang disusun oleh Bapak Matia Majiah. Kepada Beliau saya sampaikan rasa hormat yang setinggi-tingginya, di samping karena kerja kerasnya menyusun buku tersebut juga karena jasanya ikut mempertahankan kemerdekaan negara kita.





           Belum genap dua tahun Indonesia merdeka, Belanda melancarkan serangan besar-besaran untuk menjajah kembali negeri kita. Serangan yang terkenal sebagai Agresi Militer Belanda I ini dihadapi para pejuang kita dengan senjata seadanya. Beruntunglah mereka yang mendapat senjata rampasan Jepang, dan lebih beruntung lagi anggota Kompi Pionir yang dipimpin Kapten Umar Dipokusumo. Kompi ini memiliki bom yang bisa digunakan untuk menghancurkan gedung dan jembatan. Bom tarik namanya. Senjata ini diperoleh dari gudang senjata Jepang yang telah berhasil dirampas pemuda-pemuda Indonesia.


           Orang-orang yang tergabung dalam Kompi Pionir merasa bangga. Betapa tidak, sementara prajurit lain membawa senjata sederhana, mereka memegang bom berukuran besar. Bila pasukan republik berpawai maka rakyat memberi perhatian lebih kepada kompi ini. Rakyat sangat kagum melihat bom-bom besar milik Kompi Pionir.


           Pada tanggal 21 Juli 1947, setelah agresi militer, sektor Jakarta Barat/Tangerang mendapat perintah mendadak untuk mendahului menyerang Belanda. Komandan Brigade I Tirtayasa, Letkol. Sukanda Bratamanggala memerintahkan tiga kompi tentara untuk membantu serangan tersebut. Ketiga kompi ini adalah Kompi Umar Syarif dari Batalion Polisi Tentara, Kompi Garuda yang dipimpin Kapten Sabith dan Kompi Pionir.


           Anggota-anggota Kompi Pionir menyambut perintah ini dengan gembira. Mereka ingin menunjukkan kehebatan bom tarik miliknya. Bagaimanapun, perintah yang mendadak tersebut membuat kompi peledak menyiapkan peralatan dengan tergesa-gesa. Kapten Umar mengawasi anak buahnya yang sedang mengemas perlengkapan perang. Ia ingin memastikan agar dalam pertempuran nanti tidak kekurangan bom.


           Komandan sektor Mayor Jaelani sebagai pemimpin penyerbuan membagi tugas anak buahnya. Setiap regu berangkat menuju sasaran yang telah ditentukan. Mereka membawa senjata masing-masing. Anggota kompi Umar bekerja keras mengangkut peralatannya yang berat. Bom-bom tarik kebanggaan mereka ternyata cukup merepotkan, apalagi harus menempuh jarak yang jauh. Untunglah, kawan-kawan seperjuangan dari kompi lain ikut membantu.


           Mayor Jaelani memahami kesulitan tersebut. “Sepulang dari medan perang aku yakin banyak warga kampung yang mau membantu kalian mengangkut bom-bom tarik,” ujarnya membesarkan hati Kompi Pionir. Mayor Jaelani tidak merasakan firasat apapun bahwa kelak ia harus menarik kembali kata-katanya itu. Beliau tidak mengira bahwa nanti ia harus mengusir warga kampung yang hendak membantu Kompi Pionir.


           Dengan badan pegal-pegal Kompi Pionir akhirnya tiba di tempat tujuan. “Masih ada waktu sedikit untuk istirahat,” ujar Kapten Umar sambil melemaskan otot-ototnya yang kaku. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh semua anak buahnya. Namun belum puas mereka beristirahat, Kapten Umar menyuruh mereka segera memasang bom di dekat bangunan-bangunan yang akan diledakkan. Dengan hati-hati agar tidak diketahui musuh, mereka memasang bom tarik. Nanti bila pejuang republik berhasil menguasai gedung-gedung yang ditinggali Belanda, mereka akan menyiapkan bom di tempat-tempat itu juga.


           Sasaran utama yang harus diledakkan adalah jembatan. Bila jembatan putus maka Belanda tidak bisa mendatangkan bala bantuan. Beberapa pejuang menggotong bom tarik ke arah jembatan. Pekerjaan ini sulit karena mereka melakukannya sambil merunduk. Sesekali mereka harus berhenti sebentar untuk melihat-lihat keadaan. Setelah merasa aman Kapten Umar memberi isyarat dengan tangan agar mereka terus maju dan masuk ke kolong jembatan. Sesuai dengan rencana, mereka memasang bom-bom tarik di dekat tiang utama jembatan.


           Sementara itu semua pejuang telah siap di posisi masing-masing. Mayor Jaelani mempelajari keadaan sekeliling. Diperhatikannya musuh dengan cermat. Ia juga menerima laporan dari anak buahnya mengenai kondisi medan perang dan pasukan, baik pasukan republik maupun pasukan musuh.


           “Pasukan kita sudah siap, Mayor !” lapor anak buahnya.


           “Tidak ada tanda-tanda bahwa Belanda telah mengetahui keberadaan pasukan kita di sini,” lapor yang lain.


           “Bagus. Bagaimana dengan Kompi Pionir ?” tanya Mayor Jaelani.


           “Bom-bom sudah dipasang di lokasi-lokasi strategis”.


           Setelah dirasakannya siap, Mayor Jaelani memerintahkan semua pejuang untuk menyerang. Maka dini hari itu, saat kebanyakan tentara Belanda masih lelap tertidur, meletus pertempuran. Secara serentak pejuang-pejuang kita menyerang kedudukan Belanda di Sepatan, Cimone, Kelapa Dua dan Karawaci.


           Bom tarik sudah dipasang di bawah jembatan, tinggal diberi detonator. Detonator berukuran kecil bila dibandingkan dengan badan bom tarik yang besar itu. Walaupun kecil namun fungsinya sangat besar. Tanpa detonator bom tidak bisa diledakkan.


           “Cepat pasang detonator !” perintah Kapten Umar kepada anak buahnya. Anak buahnya ini bertanya kepada kawan-kawannya, “Mana detonatornya ?”


           Mereka mencari-cari alat itu di antara tumpukan peralatan. Kapten Umar merasa tidak sabar ,”Cepat sedikit !”


           Prajurit yang dari tadi mencari-cari akhirnya menjawab,”Kurasa saya tidak membawa detonator”.


           “Lalu siapa yang membawa?” tanya Kapten Umar. Orang yang ditanya memandang ke arah teman-temannya.


           “Bapak lihat sendiri. Saya mengangkut bagian bom yang berat. Saya pikir biarlah detonator dibawa prajurit yang lain saja,” jawab seorang di antaranya.


           “Dalam pertempuran yang sudah-sudah, saya tidak pernah membawa detonator”, jawab yang lain.


           ”Jangan-jangan….” keluh Kapten Umar sambil menepuk keningnya. “Geledah semua barang bawaan masing-masing !” perintahnya kemudian.


           Di tengah-tengah kesibukan mencari detonator datang seorang anggota Kompi Pionir lain. “Lapor, Pak ! Bom sudah dipasang di dekat tiang kabel telepon milik Belanda. Tetapi regu kami tidak membawa detonator. Saya datang ke sini untuk meminta detonator.”


           Kapten Umar memelototi prajurit tersebut. “Orang sebanyak ini tidak ada yang membawa detonator ? Waktu menyiapkan peralatan aku melihat banyak detonator di gudang senjata kita. Menyesal mengapa saat itu aku tidak mengambilnya. Ini akibat persiapan yang terburu-buru.”


           Kapten Umar melayangkan pandangan ke arah anak buahnya. “Ada yang menemukan detonator ?”


           Semua anak buahnya menggeleng. Kapten Umar mencabut pistol dari pinggangnya. “Tinggalkan semua bom tak berguna ini. Lupakan senjata hebat yang kita bangga-banggakan. Ambil bedil, pistol atau apa saja. Kita masih bisa berjuang walaupun tanpa bom !”, perintahnya.


           “Sayang sekali, padahal aku ingin melihat pos Belanda meledak oleh bom kita,” keluh seorang prajurit sebelum berlari mengikuti jejak komandannya.


           Pertempuran berkecamuk. Belanda menghujani pejuang-pejuang kita secara membabi-buta dengan senapan mesin. Berkali-kali Mayor Jaelani berteriak agar Kompi Pionir meledakkan jembatan. Mayor Jaelani menunggu suara ledakan. Namun apa yang ditunggu tidak juga terjadi.


           “Mana ledakannya ? Apa yang dilakukan Kompi Pionir ?” tanyanya. Mayor Jaelani marah ketika mendapat laporan bahwa bom-bom milik Kompi Pionir tidak bisa diledakan karena tidak ada detonator.


           “Keterlaluan !” makinya. “Bagaimana bisa detonator yang sangat penting sampai lupa tidak dibawa ?”


           Meskipun tidak bisa memanfaatkan bom-bom tarik, semangat tempur pejuang-pejuang kita tidak mengendur. Mayor Jaelani terpaksa mengubah strategi perang karena tidak bisa meledakkan bangunan-bangunan penting.


           Setelah bertempur seharian, pada petang hari Mayor Jaelani memerintahkan semua pasukan untuk pulang. Beliau menyuruh agar korban-korban yang gugur dan luka-luka diangkut.


           “Sudah cukup perang kita hari ini !” teriak Mayor Jaelani. “Kita sudah berhasil memberi pelajaran kepada Belanda. Kini mereka tahu, Indonesia tidak hancur oleh agresi militer Belanda.”


           “Sebenarnya hasil yang kita raih pasti lebih bagus seandainya Kompi Pionir bisa meledakkan bom-bomnya. Susah-payah diangkut, sampai di medan perang tak bisa dipakai !”


           “Kompi Pionir harus dihukum karena kelalaiannya,” ujar beliau. “Kalian harus membawa semua bom kembali ke markas. Anggota kompi lain dilarang membantu !”


           Kapten Umar memimpin anak buahnya pulang ke markas. Dengan lesu mereka mengangkut bom-bom besar. Senjata yang dibangga-banggakan sekarang menjadi beban. Sepanjang jalan warga kampung merasa iba melihat mereka kelelahan. Ketika akan membantu membawa bom, warga kampung dibentak oleh Mayor Jaelani.


           “Kalian bukannya tidak boleh membantu pejuang, tetapi mereka sedang dihukum”, jelas Mayor Jaelani kepada pemuda-pemuda kampung.


           Demikianlah, ketika semua prajurit telah sampai di tempat tujuan, Kompi Pionir masih harus berjuang mengangkut bom-bom berat yang mereka bangga-banggakan. Mereka akan mengenang hukuman ini agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar