Selasa, 12 Juli 2011

Menyelundupkan Obat Menembus Penjagaan Ketat

Pengantar :
           Latar belakang peristiwa dan nama tokoh dalam cerita ini adalah nyata, hal-hal lainnya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan.



           Malaria tengah mengamuk. Penyakit yang dulu menggagalkan perjuangan Sultan Agung mengusir penjajah kini mengancam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Masalahnya, setelah melancarkan agresi militer pada bulan Juli 1947, Belanda memblokade Indonesia. Blokade ini menyulitkan gerak pasukan republik. Mereka tidak bisa memperoleh bantuan senjata dan makanan dari luar wilayahnya padahal persediaan makin menipis. Ketika malaria menyerang, mereka terancam kehabisan pil kina. Satu-satunya jalan untuk memperoleh obat malaria itu adalah mencarinya di wilayah yang diduduki Belanda. Tapi bagaimana cara menerobos blokade Belanda yang ketat itu ?
           Sementara itu Rumsiah, bekas pegawai Rumah Sakit Cigudeg, sedang memeriksa seorang anak yang sakit. “Anak ibu menderita malaria”, ujarnya. “Minum obat kina, ya !”
           “Dia tidak mau menelan obat itu”, jawab ibunya. “Pahit “.
           Anak sakit itu mengerang dan menggumamkan sesuatu. “Minta apa, Nak ?” tanya ibunya.
           “Getuk”, jawab si anak lirih. Getuk merupakan makanan tradisional terbuat dari singkong yang ditumbuk hingga lumat dan ditaburi parutan kelapa.
           “Anak ini memang suka makan getuk”, jelas ibunya.
           “Jangan lupa banyak makan buah dan sayur !” pesan Rumsiah sebelum berpamitan.
           Rumsiah kemudian ditugaskan untuk mencari obat kina di Jakarta yang sudah dikuasai Belanda. Itu artinya ia harus menerobos blokade musuh.
           “Melewati pos blokade Belanda tanpa membawa barang memang mudah. Mencari pil kina di palang merah Jakarta juga mudah. Tapi bagaimana caranya menyelundupkan obat dengan menerobos pos pemeriksaan Belanda ?” tanya Rumsiah.
           “Kamu bisa menyembunyikannya di bawah tumpukan sayuran atau apa saja,” jawab seorang pejuang.
           “Apa cara itu bisa berhasil ?” tanya Rumsiah ragu-ragu.
           “Itu tergantung pada kemampuanmu mengalihkan perhatian Belanda”, jawab pejuang itu lagi.
           “Misalnya ?”
           “Gampang, jangan panik dan ajak Belanda yang memeriksamu mengobrol ! Cara seperti ini sudah banyak dilakukan dan terbukti berhasil. Kamu dipilih karena kamu gadis pemberani, pintar bercanda dan pandai berbahasa Belanda”.
           Rumsiah tersenyum mendengar penjelasan itu. Namun dalam hatinya ia masih ragu. Apakah cara seperti itu akan berhasil ? Bila cara tersebut sering dilakukan, tidakkah lama-lama Belanda curiga ? Tidak adakah cara lain yang aman dan belum pernah dilakukan ?
           Meskipun takut, Rumsiah tetap berangkat menjalankan tugas. Aku tidak bisa berjuang di medan perang tapi aku bisa berjuang dengan menyelundupkan obat untuk pejuang, demikian pikir Rumsiah. Dari Parungpanjang, Banten, Rumsiah berjalan kaki melewati perbatasan wilayah Indonesia – Belanda. Karena tidak membawa apa-apa, petugas Belanda membiarkannya pergi. Gadis itu melanjutkan perjalanannya menuju stasiun kereta api Serpong.
           Di dalam kereta api jurusan Jakarta, Rumsiah berpikir bagaimana caranya menyelundupkan obat kina. Ia khawatir penjaga pos perbatasan Belanda akan menyita obat itu serta menahan dirinya.
           “Obat itu harus disembunyikan, tapi di mana ?” pikir Rumsiah memeras otak. Berbagai kemungkinan tempat persembunyian dipertimbangkannya, tetapi semuanya dibuang jauh-jauh. “Terlalu berbahaya,” pikirnya.
           Rasa lapar akhirnya menghentikan kerja otak gadis itu. Dilihatnya seorang ibu penjual makanan di dalam kereta dan di antara barang dagangan itu ada getuk. Rumsiah memilih sepotong getuk yang tampak bersih dan segera menyantapnya. Ia terkejut ketika merasakan benda keras tergigit giginya. Benda itu sebutir kerikil agak besar.
           “Aduh, Ibu. Mengapa berjualan getuk pakai kerikil ?” protes Rumsiah.
           Pedagang itu merasa serba salah. “Neng sendiri yang memilih”, bela ibu itu.
           Rumsiah terhenyak. Ia tidak curiga bahwa getuk bersih yang dipilihnya ternyata berisi kerikil. Otaknya berputar cepat mengolah kejadian ini.
           “Bagus !” seru Rumsiah girang. Tempat persembunyian pil kina telah aku temukan, katanya dalam hati. Ia menyodorkan uang kepada penjual getuk. “Ambil kembaliannya dan terima kasih atas kerikilnya. Tapi jangan coba-coba lagi memasukkan kerikil ke dalam getuk !”
           Rumsiah turun dari kereta dengan perasan lega. Tidak sulit baginya memperoleh pil kina dari palang merah di Jakarta. Pil-pil kina itu kemudian dibenamkannya ke dalam getuk. Setelah dirapikan kembali, getuk-getuk itu tampak wajar.
           Rumsiah pulang dari Jakarta dengan naik kereta api menuju Serpong. Dari sini ia berjalan kaki menuju pos perbatasan Belanda. Rumsiah berjalan santai sambil menggendong sebuah bakul penuh getuk yang disusun berlapis-lapis. Beberapa orang tampak antri menunggu giliran diperiksa. Rumsiah berdiri di belakang pria tua yang memikul dua keranjang sayur.
           Seorang serdadu Belanda mendekati Rumsiah. “Apa yang kau bawa ?” tanyanya.
           “Makanan, Tuan. Mau dijual”, jelas Rumsiah tenang.
           “Bongkar !” perintah Belanda itu singkat. Rumsiah membongkar getuknya selapis demi selapis di depan mata penjaga.
           “Sepertinya kamu orang baru. Makanan apa ini ?” celoteh Belanda itu dan tanpa bisa dicegah Rumsiah, ia mencomot sepotong getuk. Rumsiah khawatir jangan-jangan getuk yang diambil itu berisi pil kina. Untung, getuk yang dimakan Belanda itu kosong.
           “Lain kali getuk paling atas jangan dimasuki benda selundupan sehingga aku bisa memberikannya dengan aman kepada penjaga yang meminta”, pikir Rumsiah.
           Tentara Belanda yang meriksa Rumsiah asyik menikmati getuk. Rumsiah cemas bila barang bawaannya terlalu lama diperlihatkan nanti ada orang yang iseng mengambil getuk berisi pil kina.
           “Barang-barangku sudah boleh dikembalikan ke bakul ?” tanya Rumsiah.
           Belanda itu menganggukkan kepala sambil terus mengunyah. “Kamu sudah boleh lewat !“ ujarnya.
           “Ternyata tidak sulit mengelabui mata Belanda,” pikir Rumsiah sambil bergegas pergi. Tiba-tiba langkahnya dihentikan oleh sebuah teriakan.
           “Kamu berhenti !”
           Rumsiah berhenti dan menoleh. Dilihatnya beberapa tentara Belanda berlari ke arahnya. “Bagaimana ini, apakah aku harus lari ?” tanya gadis itu dalam hatinya. “Jangan lari, ada Belanda yang mengarahkan senjatanya kepadaku !” batin Rumsiah.
           Nasib baik berpihak pada Rumsiah karena yang menjadi sasaran Belanda bukan dirinya melainkan pria tua di depan gadis itu. Belanda menangkap orang malang itu.
           “Bongkar sayuranmu !” bentak Belanda.
           “Tadi ‘kan sudah,” tolak pria itu.
           “Kau pikir Belanda bodoh. Bongkar lagi !” tentara Belanda mengobrak-abrik sayuran yang dibawa orang itu. Sebutir sayur kol dibanting hingga berantakan. Tentara Belanda itu mengira ada surat yang disembunyikan di antara daun-daun kol. Namun tidak ada surat atau barang yang mencurigakan meskipun semua sayurannya diacak-acak.
           “Sekarang kamu boleh pergi !” ujar Belanda itu tanpa merasa bersalah. Pria tua itu memasukkan kembali sayuran-sayuran yang sudah berantakan ke dalam keranjang.
           Rumsiah memanfaatkan kejadian itu untuk pergi. Jantungnya masih berdetak kencang. “Benar dugaanku, cara yang dilakukan berulang-ulang akhirnya ketahuan. Menyembunyikan barang di bawah tumpukan sayur sekarang tidak aman. “
           Rumsiah kembali ke Parungpanjang dan menyerahkan pil-pil kina selundupan kepada petugas kesehatan tentara Indonesia. Rumsiah terkejut melihat pria tua pembawa sayur muncul di markas pejuang.
           “Bukankah Bapak orang yang sayurannya diobrak-abrik Belanda ?” tanyanya.
           “Benar. Belanda mengira aku menyembunyikan surat di dalam sayuran”, jawab orang itu.
           “Untung Bapak tidak menyelundupkan apapun,” komentar Rumsiah.
           Bapak tua itu tertawa mendengar komentar ini. “Sebenarnya aku menyelundupkan surat penting,” jelasnya.
           “Di mana Bapak menyembunyikan surat itu ? Bukankah Belanda telah memeriksanya dengan teliti bahkan sampai merusak sayuran Bapak ?” tanya Rumsiah.
           “Biasanya aku menyembunyikannya di bawah tumpukan sayur. Untung sebelum tiba di pos Belanda aku berubah pikiranr. Aku selipkan surat yang sudah dilipat-lipat ke dalam bambu anyaman keranjang”.
           “Ah, Bapak cerdik. Bapak bisa mengelabui Belanda !” puji Rumsiah. Ia berpikir barangkali cara pria tua itu menyembunyikan surat bisa ditirunya untuk menyelundupkan obat. Ternyata banyak cara untuk bisa menerobos blokade musuh.
           Setelah meminta beberapa butir pil kina Rumsiah kemudian menuju ke rumah anak yang sakit malaria. “Sudah sembuh ?” tanyanya begitu tiba di tempat tujuan.
           “Bagaimana bisa sembuh kalau ia tidak mau menelan pil kina”, keluh ibunya.
           Rumsiah mengambil sepotong getuk dan menyodorkannya kepada si anak. ”Adik manis, mau ini ?” tanya Rumsiah penuh kasih.
           Mata anak itu berbinar melihat makanan kesukaannya. Pelan-pelan dikunyahnya getuk dan ketika ia merasakan benda asing di dalam mulutnya, Rumsiah segera bertindak.
           “Telan saja, jangan dikunyah !” ujar Rumsiah sambil menyodorkan segelas air putih. Beberapa hari kemudian anak itu pun sembuh berkat ketekunan Rumsiah.
           Keberhasilan Rumsiah menyelundupkan pil kina menyebabkan ia diberi tugas yang sama lagi. Berkali-kali ia mengelabui mata Belanda yang memeriksa barang bawaannya. Blokade Belanda ternyata tidak mampu mematahkan perjuangan kemerdekaan bangsa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar