Selasa, 12 Juli 2011

Granat Bambu

Pengantar :
           Nama tokoh dan garis besar peristiwa dalam cerita ini adalah nyata, sedangkan rincian dan dialognya rekaan. Tidak ada maksud lain kecuali untuk menanamkan ke dalam dada generasi muda jiwa patriotisme dan nasionalisme seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan yang terlupakan.



           Dulu di Rangkasbitung, Banten, ada sebuah pabrik minyak kelapa yang cukup besar, namanya Mex Olie. Pabrik ini sangat berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia karena selain memproduksi minyak kelapa juga membuat senjata. Di tempat ini putra-putra Indonesia membuat senjata sendiri terutama jenis martir, granat, bom tarik dan ranjau darat. Kemampuan membuat senjata ini semakin baik setelah ada seorang wanita Indonesia pertama yang menjadi ahli kimia. Beliau mengajari pemuda-pemuda kita cara membuat senjata.
           Senjata yang dihasilkan Mex Olie belum sempurna karena keterbatasan teknologi dan peralatan. Namun demikian para pejuang merasa bangga bisa menggunakannya. Senjata-senjata buatan Banten ini ikut memompa semangat juang para pahlawan kita.
           Di antara senjata buatan sendiri itu di antaranya adalah granat bambu. Seharusnya granat dibungkus dengan logam, namun karena barang tambang ini sulit dicari maka dipakailah bambu sebagai penggantinya. Beberapa granat bambu itu menjadi senjata andalan salah seorang penjuang republik bernama Jaya. Dengan bangga Jaya memamerkan granat bambu kepada kawan-kawannya.
           “Granat seperti ini ?” tanya kawannya tidak percaya. “Kamu yakin benda ini granat bukannya bambu biasa ?”
           “Jangan-jangan cuma petasan besar. Belanda yang dilempari granat semacam ini pasti tertawa. Mana mungkin bambu kecil bisa menakuti mereka. Mereka lebih takut pada bambu runcing !” komentar kawannya yang lain.
           “Nah pada saat Belanda tertawa, tamat riwayat mereka akibat terkena ledakan granat bambu,” bela Jaya.
           Demikianlah, pada mulanya pejuang-pejuang kita tidak percaya bahwa granat bambu bisa menjadi senjata untuk mengusir Belanda. “Jaya, bagaimana kalau kamu mencoba satu untuk meyakinkan kita semua kehebatan granat bambu ini ?” usul salah seorang di antara mereka.
           “Kita tidak boleh membuang-buang granat dengan percuma,” tolak Jaya. “Granat bambu ini sudah diuji coba oleh Mayor Widagdo, Kepala Bagian Persenjataan Brigade Tirtayasa".
           “Mencoba satu saja supaya kita yakin,” bujuk temannya. Akhirnya setelah dibujuk-bujuk Jaya bersedia mencoba sebuah granat bambu. Sebagai pengganti serdadu Belanda, mereka menggunakan batang pohon pisang. Sepuluh batang pohon pisang diberdirikan di sebuah kebun kosong.
           “Sebelum granat dilemparkan, kalian harus bersembunyi dulu”, ujar Jaya kepada teman-temannya. “Saya tidak mau ada yang terluka.”
           “Siap teman-teman !” teriak Jaya setelah semua orang berlindung. Jaya mencabut sumbat granat bambu lalu melemparkannya ke tengah-tengah kumpulan batang pohon pisang. Kawan-kawannya memperhatikan dengan cermat dari tempat yang aman. Begitu granat mengenai batang pohon pisang, terdengar ledakan keras. Jaya terkejut ketika sebuah benda kecil berdesing di dekat telinganya. Benda tersebut menancap pada batang pohon di belakang Jaya.
           “Lidi kecil ?” gumam Jaya setelah mengamati benda itu. “Dari mana asalnya ?”
           Sementara itu batang pisang yang terkena granat menjadi hancur sedangkan sebagian besar batang pisang lainnya terpental atau roboh. Penonton bersorak-sorai menyaksikan kehebatan granat buatan sendiri itu. Belum puas, mereka memeriksa lebih teliti bekas-bekas ledakan.
           “Gila, batang pohon pisang bisa hancur begini !” komentar mereka.
           “Lihat batang pisang yang roboh ini !” seru Jaya. Mereka memperhatikan arah telunjuk Jaya dan menemukan puluhan serpihan bambu menancap pada batang pohon pisang yang roboh. Rupanya ketika granat meledak bambu pembungkusnya terpecah menjadi ratusan bahkan ribuan serpihan kecil yang melesat dengan cepat ke segala arah. Begitu cepatnya serpihan bambu ini melesat hingga dapat menembus batang pohon pisang sampai jauh ke dalam.
           “Ah, jadi lidi yang berdesing di dekat telingaku tadi berasal dari bambu pembungkus granat ini. Apa jadinya kalau lidi itu mengenai telingaku ? Aku yakin serpihan bambu granat bisa menembus pakaian tentara Belanda !” ujar Jaya.
           “Luar biasa !” kata Jaya dan kawan-kawannya kagum. “Ternyata hebat juga bangsa kita bisa membuat granat sedahsyat ini !”
           “Aku tidak sabar ingin mencoba granat ini pada tentara Belanda,” ujar Jaya menyatakan keinginannya.
           Jaya tidak perlu menunggu lama. Pada bulan Juli 1947, beberapa hari setelah Belanda melancarkan agresi militernya, ia ikut dalam serangan ke Parungpanjang, Banten. Penyerangan yang dipimpin Mayor Sachra tersebut berhasil menghancurkan jembatan kereta api di perbatasan wilayah yang dikuasai musuh. Prestasi ini sungguh membanggakan pasukan Indonesia.
           “Sekarang giliranku memberi hadiah istimewa untuk Belanda,” kata Jaya sambil menyiapkan granat bambu. Ia berpaling kepada seorang kawannya yang sedang sibuk mengisi peluru. “Aku mau mendekati pos Belanda. Lindungi aku dengan tembakan-tembakanmu !.”
           “Beres, tunjukkan kehebatan granat bambu kita !” jawab kawannya itu sebelum menembaki pos Belanda.
           Di antara desingan peluru Jaya merayap-rayap mendekati pos musuh. Dilihatnya beberapa orang tentara Belanda di tempat itu. Salah seorang di antaranya memberondongi pejuang-pejuang kita dengan senapan mesin. Jaya mengambil sebuah granat bambu. Pada saat yang tepat ia segera melemparkannya ke arah pos musuh…
           Sayang granat bambu tersebut meledak terlalu cepat. Lebih sial lagi, granat itu meledak ketika masih dipegang tangan Jaya. Kesadarannya hilang hampir bersamaan dengan suara ledakan granat. Ia rubuh dengan tubuh penuh darah. Bahkan seluruh wajahnya tertutup darah.
           Dua orang prajurit kesehatan bergegas menyelamatkan Jaya. Di bawah hujan peluru dan ledakan keras mereka mengungsikannya ke garis belakang.
           “Jaya, bangun !” teriak salah seorang di antara mereka. Ia menempelkan ibu jarinya ke pergelangan tangan Jaya untuk memeriksa denyut nadi.
           “Gugurkah dia ?” tanya yang lain dengan cemas.
           “Saya rasa Jaya hanya pingsan. Denyut jantungnya masih ada”.
           “Syukurlah. Cepat kita bawa ke dokter tentara !”
           “Pendarahannya parah. Bila terlambat, kita tidak bisa menolongnya !”
           Dalam keadaan pingsan Jaya dibawa ke rumah sakit tentara. Jangan bayangkan rumah sakit ini berupa bangunan. Tempat ini merupakan bekas gerbong kereta api yang telah diubah menjadi rumah sakit darurat. Walaupun demikian, rumah sakit darurat ini memiliki keuntungan. Ia bisa ditarik lokomotif dan dipindah-pindahkan dengan mudah mengikuti gerakan pejuang.
           Di rumah sakit tentara ini Jaya dioperasi oleh dokter Satrio (yang kelak di kemudian hari menjadi Mentri Kesehatan kita). Dokter Satrio terpaksa memotong tangan Jaya dan membuang sebuah bola matanya. Operasi berlangsung singkat tetapi yang lama adalah mencabuti puluhan serpihan bambu yang menancap di dalam tubuh dan mata Jaya. Serpihan-serpihan bambu yang menembus mata Jaya inilah yang menyebabkan bola matanya pecah.
           Jaya menjalani hari tuanya sebagai purnawirawan TNI dan tinggal di Batuceper, Tangerang. Beliau merasa gembira bisa menikmati kemerdekaan yang diperjuangkannya dengan mengorbankan sebelah tangan dan matanya itu. Semoga pengorbanannya - dan pengorbanan semua pejuang - tidak dilupakan oleh generasi muda yang hidup di alam kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar